Bobato Adat Kesultanan Ternate di Pulau Taliabu, Maluku Utara memalang akses jalan di areal perusahaan tambang bijih besi PT Adidaya Tangguh (ADT) di Desa Tolong, Kecamatan Lede, Taliabu, pada Minggu, 28 April 2024. Aksi itu diawali dengan surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Sangaji Pulau Taliabu, Gafur Sangaji.
“Ini awal mulanya,” ungkap Kapolres Pulau Taliabu, AKBP Totok Handoyo kepada cermat pada Senin (29/4) ketika mengirim selembar surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Sangaji Pulau Taliabu, Gafur Sangaji pada Kamis (18/4).
Lembaran surat itu tertulis; “dengan ini kami Bobato Adat Pulau Taliabu (Kesultanan Ternate) meminta kepada pihak kepolisian untuk menahan oknum-oknum yang menjual material yang ada di hak ulayat Kesultanan Ternate, berdasarkan Undang-undang Nomor 05 Tahun 1960 yang mengakui dengan adanya hak ulayat.”
Menurut Totok, hak ulayat harus dilaporkan secara berjenjang di tingkat pemerintah desa, kabupaten, provinsi hingga pusat. Nantinya, masing-masing pemerintahan di tiap tingkatan akan menerbitkan peraturan bupati, gubernur, sampai peraturan presiden atau peraturan pemerintahan. Bahkan undang-undang sebagai bentuk pengakuan atas hak ulayat.
“Setelah dilaporkan, akan diukur dan dipetakan oleh Badan Pertanahan. Masalahnya, selama ini kemana aja Kesultanan Ternate, terus tiba-tiba mengklaim setelah ada tambang,” cetus Totok.
Totok menegaskan, PT ADT tercatat sebagai objek vital nasional atau Obvitnas yang harus steril dari segala bentuk kegiatan, terutama yang berkaitan dengan aksi-aksi tertentu.
“Mereka (Bobato Adat Taliabu) main palang dan demo di seputaran Obvitnas tanpa pemberitahuan dari polres, itu sudah melanggar aturan. Masih untung dimediasi, harusnya dibubarkan dan diamankan,” katanya.
Saat ini, kata Totok, situasi di lokasi sudah kondusif. Namun tetap dalam pengawalan polisi. “Sementara aman kondusif dan dikawal anggota dari Ditpamobvit Polda Maluku Utara yang PAM di PT ADT dan PT BMI,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Tuli Lamo Kesultanan Ternate, Irwan Abdul Gani mengaku aksi pemalangan jalan tersebut atas perintahnya. “Saya (sementara berada) di Taliabu, kegiatan kemarin (memalang akses jalan) perintah saya,” ungkap Irwan kepada cermat.
Irwan menjelaskan, PT ADT beroperasi di Pulau Taliabu kurang lebih 10 tahun. Di dalam undang-undang pertambangan, ada satu klausul yang menyebut kehadiran perusahaan tambang di suatu wilayah harus mensejahterakan masyarakat sekitar. Namun, hal itu belum dirasakan sepenuhnya sejak PT ADT hadir.
“Justru saat ini masyarakat Pulau Taliabu itu dirugikan dengan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT ADT. Ribuan cengkeh, ribuan pala, ribuan cokelat, ribuan kelapa, bahkan tanaman lain itu mengalami kematian,” ujarnya.
Dulu, kata Irwan, sungai Samada, sungai Fango, hingga sungai Balohang selalu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi, mencuci, hingga konsumsi. Kini sudah tidak lagi karena kondisinya tercemar. Masyarakat terpaksa beralih ke air sumur.
“Itu sudah tercemar semua, (sekarang masyarakat menggunakan) air sumur. Jangan sampai air sumur juga sudah terkontaminasi,” katanya.
Menurut Irwan, luas tanah ulayat Kesultanan Ternate mencakup seluruh daratan Pulau Taliabu, Pulau Mangoli, hingga Kepulauan Sula, termasuk areal konsesi PT ADT saat ini. Tapi pihak kesultanan tidak pernah menyatakan hak milik yang hanya dikelola secara sepihak.
“Karena kesultanan sadar, bahwa kesultanan yang dititipkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa ini untuk menjaga itu, masyarakat kelola untuk nikmati hasilnya. Tanah ulayat tidak diperjualbelikan,” jelasnya.
Irwan menjelaskan, Kesultanan Ternate bersama Bobato Adat Pulau Taliabu dan kuasa hukum sempat melayangkan somasi ke PT ADT pada 8 – 28 Maret 2024. Namun, langkah hukum tersebut tak digubris oleh pihak ADT.
“Sampai hari ini ADT tidak pernah melakukan komunikasi balik, sehingga Bobato Adat Taliabu selaku garda terdepan turun membela masyarakat yang tertimpa masalah lingkungan ini. Tapi kan diabaikan, jadi bisa divonis ADT ini kurang ajar,” katanya.
Menanggapi pernyataan kapolres yang mempertanyakan keberadaan kesultanan hingga kenapa saling klaim setelah perusahaan hadir, ditegaskan Irwan, pihak kesultanan tidak pernah tahu kehadiran PT ADT di Pulau Taliabu. Selain itu, masyarakat yang terdampak memohon perlindungan ke kesultanan karena selaku pemilik hak ulayat.
“Jadi bukan ada perusahaan baru kesultanan masuk cari untung, tarada (tidak ada). Kesultanan tara (tidak) pernah cari untung di ADT, bilang di pak kapolres begitu,” tegas Irwan.
Menurut Irwan, kapolres tidak pernah tahu bahwa 8 Sangaji di bawah kepemimpinan Salahakan Ahmad Hidayat Mus yang diangkat oleh Sultan Ternate ke 48, bertanggung jawab untuk menjaga Kepulauan Sula, Pulau Taliabu, hingga Pulau Mangoli. “Jika bilang di pak kapolres, ke sini menghadap saya di Desa Todoli, sekarang,” cetusnya.
Irwan menjelaskan, persoalan mendasar yang terjadi sejak dimekarkan pada 14 Desember 2012, Pemerintah Kabupaten Pulau Taliabu sangat tertutup dan tidak pernah membuka diri. Bahkan, hampir sebagian besar proyek-proyek di Taliabu bermasalah, termasuk kerusakan lingkungan.
“Setelah dimekarkan, Pemerintah Daerah Pulau Taliabu itu sangat tertutup, tidak pernah membuka diri. Ini saya kasih tahu, seluruh proyek-proyek di Pulau Taliabu ini bermasalah. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Taliabu ini tidak pernah diekspose keluar, orang luar tidak pernah tahu penderitaan masyarakat Taliabu,” beber Irwan.
Menurutnya, masyarakat yang terdampak kegiatan perusahaan tidak menuntut banyak. “Masyarakat hanya minta ganti rugi lahan yang rusak. Ini saya kasih tahu, ada orang punya lahan kebun cengkeh yang kalau kasih turun (panen) satu pohon saja itu, bisa dapat 60 sampai 70 kilo cengkeh, sekarang hampir ratusan pohon mati semua,” ujarnya.
Irwan menilai, dalam beberapa tahun ke depan masyarakat tidak akan lagi menikmati hasil alam, lantaran semua tanaman perkebunan kolaps. Padahal, tanpa investasi di sektor pertambangan pun masyarakat di Pulau Taliabu masih bisa hidup.
“Bisa (hidup tanpa tambang). Ya Allah, cengkeh punya hasil ini kalau dorang (mereka) jual itu bisa dapat Rp 100 juta dalam satu tahun, itu dorang so tara (tidak) berpikir lain-lain. Tapi keadaan seperti ini, dorang hidup menderita. Tapi kenapa dorang diam? Karena dorang takut ditekan, takut diintimidasi, makanya dorang diam,” pungkas Irwan.
—-
Penulis: Olhis
Editor: Ghalim Umabaihi