Demokrasi di Era New Normal

Penulis, Rahmat R. Souwakil.

Oleh: Rahmat R. Souwakil

Serambi PILAS Institute

 

SETELAH pandemi Covid-19 ditetapkan sebagai endemi, semua proses kehidupan kembali normal. Tanpa harus memperhatikan protokol kesehatan seperti jaga jarak, cuci tangan dan sederet protokol kesehatan yang harus dijalani masyarakat ketika beraktivitas di ruang publik. Protokol kesehatan kini menjadi kenangan. Satu-satu yang tersisa dan masih diterapkan adalah kerja jarak jauh melalui aplikasi dan istilah Era “New Normal”.

Semua hal berubah. Dunia politik juga tak sepi dari perubahan. Jika pada 2020, kontestasi dalam melakukan rotasi kekuasaan di daerah dilakukan melalui Pilkada 2020 yang “diharuskan” terlaksana ditengah badai pandemi Covid-19, di tengah permintaan untuk Pilkada ditunda tak diaminkan pemerintah. Pemerintah bersemangat agar melaksanakan Pilkada tetap berjalan bisa jadi menjadi ‘’pintu pertama’’ yang harus dibuka agar melanggengkan jalan mulus segelintir orang mencapai kuasa.

Setalah pesta demokrasi di masa pandemi tersebut, kini panggung demokrasi untuk rotasi kekuasaan secara nasional akan dilaksanakan. Dan seperti pesta demokrasi sebelum-sebelumnya, pemilihan umum untuk memilih pemimpin masa depan di 2024, juga tersandera dengan upaya-upaya jahat namun sah untuk memuluskan jalan anak dan keluarga untuk memperoleh kuasa lewat pemilu 2024.

Di sisa waktu masyarakat yang akan menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pemilu 2024, suhu politik mulai panas. Partai politik sebagai peserta pemilu yang memiliki legitimasi untuk mencalonkan pemimpin masa depan kini tengah kontestasi, saling sindir dan saling menuding antar partai politik yang dilakukan demi memenuhi keinginan berkuasa. Kontestasi dan sindiran partai politik menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia di desa-desa, sebab muda diakses melalui media massa.

Joget-joget dan saling sindir partai politik kini menjadi sajian gratis yang dilahap masyarakat tanpa berpikir kritis terkait semuanya. Sebab seperti diketahui bahwa, janji-janji manis calon pemimpin pada kontestasi pemilu 2024 yang disampaikan di panggung depan hanya basa-basi yang lazim diungkapkan agar bisa merebut simpati masyarakat agar bias dipilih-terpilih kembali, sedangkan di panggung belakang calon pemimpin harus berkompromi dengan kuasa dan uang dalam menjalankan pemerintahannya. Dan ketika pemilu selesai masyarakat kembali mengubah posisinya dari pemegang daulat penuh di bangsa-negara menjadi “peminta-minta” pada pemerintah yang pada dasarnya menerima mandat dari masyarakat.

Baca Juga:  Falda: Lembut Pada Tari, Memaknai Teater dan Teguh Pada Karate

Diskon Terbatas untuk Anak Muda

Pemilu 2024 menjadi pemilu serentak kedua yang dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, setelah pemilu serentak pertama dilaksanakan 2019 lalu. Pemilu 2019 menjadi bahan evaluasi masyarakat untuk ‘’belajar’’ dari pengalaman bagaimana mandat yang diberikan digunakan pemimpin yang terpilih yang kini menjabat hampir lima tahun. Pemilu 2024 merupakan kesempatan penting masyarakat agar bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa masyarakat Indonesia menuju pelabuhan kesejahteraan sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Kini janji manis di panggung depan untuk membawa masyarakat ke pelabuhan kesejahteraan dijual, kini masyarakat yang memenuhi syarat konstitusi memilih bertarung untuk merebut-meributkan suara masyarakat agar memperoleh kuasa. Tak hanya masyarakat yang telah memenuhi syarat bisa berkompetisi untuk memamerkan janji-janji politik, masyarakat yang belum memenuhi syarat tak ketinggalan menggunakan instrument hukum agar bisa berkompetisi pada panggung pemilu 2024.

Keinginan masyarakat atau segelintir orang yang belum memenuhi syarat dan menggunakan instrument hukum untuk bisa diikutsertakan menjadi wacana yang menarik belakangan ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden, pada putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023, yang diajukan Almas Tsaqibbirry Re A, MK mengabulkan sebagian permohonannya dengan menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi “berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Putusan Mahkamah itu sontak membuat diskursus soal pemilu, dinasti politik dan anak muda menjadi isu yang selalu dibicarakan di media massa maupun media sosial seperti WhatsApp. Putusan ini dinilai aneh, sebab putusan ini menjadi ‘’karpet merah’’ untuk Gibran Rakabuming Raka, agar bisa dicalonkan menjadi wakil presiden oleh koalisi partai politik tertentu. Pada akhirnya terbukti, gabungan partai politik telah mengusulkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah pasangan Anies Rasyid Baswedan–Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo–Moh. Mahfud MD.

Baca Juga:  Kampus: Otoritarianisme dan Kuburan Intelektual

Kehadiran Putusan Mahkamah disambut dengan argumentasi terkait dengan “Anak Muda” dalam kontestasi politik. Bagi sekelompok orang putusan MK menjadi ‘’diskon’’ untuk anak muda yang belum berumur 40 tahun bisa dicalonkan menjadi calon presiden-wakil presiden, asalkan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Namun yang (sengaja) dilupakan, bahwa calon Presiden-calon Wakil Presiden harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, artinya bahwa syarat usia 40 tahun masih jadi syarat konstitusional calon presiden dan wakil presiden (Capres dan Cawapres), jadi anak muda yang belum berusia 40 tahun belum bisa menjadi Capres dan Cawapres jika belum menduduki jabatan yang dipilih lewat pemilu-pemilihan dan tak seenaknya jadi Capres-Cawapres jika tak ada partai politik yang mengusulkannya. Maka yang jadi pertanyaan adalah anak muda siapa yang bisa berkompetisi pada Pilpres 2024 selain Gibran? Bisa dipastikan tak ada poros keempat yang bisa mengusulkan capres-cawapres dari anak-anak muda pada pemilu 2024. Maka diskon untuk anak muda menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden bisa ditafsirkan hanya berlaku bagi orang-orang tertentu saja.

Anak muda kini menjadi narasi yang selalu dijual partai politik. Hal ini beralasan karena pemilih muda pada pemilu 2024 hampir 50 persen dari semua jumlah pemilih. Maka anak muda kini manjadi ‘’jualan’’ yang selalu dijual kemana-mana oleh partai politik. Maka atas nama anak muda, beberapa partai politik mengajukan pengujian materil undang-undang atas Undang-Undang Dasar terkait dengan syarat usia capres 40 tahun dan semuanya ditolak, kecuali permohonan Almas Tsaqibbirry Re A.

Telah terjadi kontradiksi yang sulit dipahami dari keputusan partai politik. Dimana partai politik gencar “menjual nama anak muda” di panggung politik, namun yang menjadi tontonan dari partai politik adalah memilih ketua maupun pengusulan calon pemimpinnya anak-anak muda yang berasal dari luar partai politik. Bukankah partai politik sebagai organisasi kaderisasi mempunyai generasi muda yang matang, mampu dan layak dimajukan menjadi ketua umum partai politik atau calon pemimpin daripada mengusulkan dan memilih anak muda lain dari luar partai politik.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Bahasa Ibu di Kampung Sendiri

***
Potret demokrasi di era “new normal” ditandai dengan begitu mudahnya partai politik memilih orang-orang yang bukan “anak didiknya” untuk mengisi jabatan-jabatan penting di partai politik dan mencalonkannya pada posisi-posisi strategis hanya bermodalkan relasi dengan kekuasaan. Demokrasi di era “new normal” kini harus memelihara dinasti politik yang menjadi musuh “besar reformasi”. Kini dinasti politik dianggap-dilihat sebagai sesuatu yang banal di era demokrasi “new normal” saat ini.

Dengan adanya ‘’upaya” memberikan jalan mulus untuk orang-orang yang memiliki kuasa-uang dalam demokrasi saat ini, maka upaya reformasi agar terciptanya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme semakin sulit diwujudkan. Sebab korupsi, kolusi dan nepotisme kini hidup kembali dan sulit dihajar. Reformasi yang diharapkan melahirkan demokrasi yang menjunjung hukum dan etika dalam berkompetisi, harus dipukul mundur dengan nafsu kuasa bermodalkan relasi kuasa yang tak bisa dibendung hukum dan etika bernegara. Kini harapan kurang lebih 277 juta jiwa masyarakat akan masa depan bangsa-negara akan ditentukan di 17 Februari 2024 dengan memilih pemimpin yang sudah pasti akan tersandera dengan kepentingan oligarki dan relasi kuasa. Tabea.