JHON WAYNE barangkali bukan satu-satunya aktor yang berlebihan, dengan memerankan diri sebagai tokoh koboi, yang dalam banyak catatan perfilman, dia mungkin tokoh paling berpengaruh selain tokoh-tokoh hebat lainnya. Namun, kisah-kisah heroik ini tidak hanya dikenal di daratan Amerika—bahkan di seantero Italia pun, muncul aktor kalem seperti Franco Nero, sosok jagoan tembak dalam film Django pada tahun 1966.
Belajar dari analisa-analisa film, tokoh-tokoh ini sejatinya sedang berusaha menyelamatkan perkampungan dan menumpaskan kejahatan yang terjadi di suatu wilayah. Kendati demikian, mereka mafhum, perjuangan-perjuangan itu tentu membutuhkan keahlian-keahlian khusus, seperti halnya menembak, dan menjinakkan kuda. Lalu, bagaimana bila kisah-kisah hebat ini—kita hubungkan dengan semangat membangun, juga memperjuangkan suatu Negara, Indonesia, misalnya.
Kita tidak perlu berlagak seperti Jhon Wayne, dengan menggunakan topi-topi koboi untuk membangun Indonesia. Kita juga tidak perlu repot-repot masuk perkampungan dan memberontak sembarangan, seolah-olah kita datang laiknya jagoan seperti Franco Nero. Membangun Indonesia, pada dasarnya tidak melulu soal senjata—yang dalam catatan sejarah kita—alat yang satu ini digunakan untuk merebut kekuasaan. Indonesia sekarang lebih cerah. Kita membutuhkan kecerdasan, skil, dan kemampuan yang mumpuni berdasarkan basic keilmuan untuk membangun Indonesia.
Membangun Indonesia tentu memiliki semangat yang sama seperti dalam film-film tersebut—kita harus bisa menampilkan semangat berjuang di desa-desa, mengambil peran sebagai aktor-aktor untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan yang terjadi di tingkat desa.
Tidak semua urusan pembangunan selalu berkaitan dengan kekuasaan birokrasi yang dituntut memiliki kewenangan agar bisa membuat kebijakan-kebijakan. Ada yang luput dari perhatian kita, Indonesia sejatinya harus memakmurkan desa-desa, barulah bangga dengan kegemilangan kota-kota yang telah tumbuh pesat. Kalau kota-kota kita tumbuh cerah dengan semarak arsitektur yang menggoda, bukan berarti desa-desa kita telah sejahtera.
Banyak ruang di desa-desa yang terabaikan. Pemberdayaan masyarakatnya, seperti minimnya koperasi desa, lembaga-lembaga swadaya, kelompok-kelompok usaha, dan pemanfaatan potensi-potensi desa, membuat pembangunan kita berjalan dengan kaki sebelah. Saya percaya, desa itu lokomotif perubahan, kalau-kalau desa makmur, maka lihatlah, sumber-sumber ekonomi itu akan tergarap dengan sendirinya.
Tidak bisa dilupakan, dalam banyak kesempatan, desa menjadi penggerak pertumbuhan suatu pembangunan. Hal ini ditandai dengan adanya pemanfaatan yang terarah dan berdasarkan standar-standar pembangunan, semacam pertanian unggulan, lahan-lahan kosong yang digarap dengan menanam tanaman bulanan, dan ikut mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif.
Miris memang, saat banyak pelaku intelektual menganggap kota yang memicu nyala pembangunan, padahal stok pangan dan tenaga kerja lebih banyak berdatangan dari pedesaan. Desa harus mendapat tempat yang ideal dalam kepala akademisi, politisi, birokrat, maupun masyarakat umum—bahwa dengan menumbuhkembangkan sumberdaya unggulan di wilayah pedesaan tentu telah ikut menyumbang kemajuan Indonesia.
Saya percaya, kalau kita ikut mengambil peran dengan memakmurkan desa (tentu harus berdasarkan skill) semacam terjun di tengah masyarakat—sekali lagi tidak harus “lebay” seperi Jhon Wayne—dengan membentuk desa binaan, membangun opini mandiri di tengah-tengah masyarakat, mengajak mereka untuk keluar dari kemiskinan, pengangguran, dan konflik-konflik kepentingan lainnya, maka boleh disebut kita tidak sia-sia mengeyam pendidikan.
Di beberapa daerah, anak-anak mereka yang lanjut sekolah memanfaatkan potensi diri mereka. Sepulang sekolah dan mendapat gelar-gelar terbaik, mereka tidak langsung beriming-iming mendapatkan jabatan strategis, atau diterima sebagai seorang pegawai negeri. Kemampuan dan pengalaman-pengalaman mereka digarap untuk keluarga-keluarga dan teman-teman mereka yang lama “nganggur” di desa. Taruhlah, seorang sarjana perikanan, maka tugasnya membentuk lembaga usaha, memanfaatkan pekarangan, atau danau untuk dijadikan tambak dan lahan budidaya. Mereka memberi pengertian, sekaligus ikut mengarahkan, bagaimana membudidayakan ikan yang baik dan benar. Dalam soal lain, seorang sarjana seperti ini, juga harus rajin bersosialisasi kepada masyarakat, bahwa penggunaan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan merusak ekosistem, dan membahayakan populasi sumberdaya laut. Semangat ini juga harus melekat pada pelaku intelektual lainnya, seperti pertanian dan peternakan.
Peran-peran tersebutlah yang banyak diabaikan dalam ruang pembangunan. Maka tidak berlebihan, kalau saya katakan Indonesia membutuhkan desa yang maju. Desa yang berisi orang-orang yang berani dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip intelektual. Apalah arti gelar kita—seperti halnya gelar koboi dalam heroisme Franco Nero—tapi banyak hal yang belum diperjuangkan untuk Indonesia. (*)
Penulis: Sulasmi, S.Pt
Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Peternakan IPB