Oleh: Wawan Ilyas*
Akademisi dan peneliti Indonesia dibuat “mati kutu” ketika terjadi peleburan lembaga-lembaga ilmiah independen ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), termasuk pengucilan lembaga Eijkman yang merupakan prasasti sejarah sejarah ilmu pengetahuan di Indonesia. Peleburan ini dikritik banyak ilmuan, termasuk dari Guru Besar Antropologi Hukum FHUI, Sulistyowati Irianti (Opini Kompas, 7 Januari 2022).
Kebijakan keliru pemerintah mengelola riset dan sains melucuti minat dan iklim kebebasan akademik, termasuk membebani kerja akademis dengan urusan administrasi hingga lupa yang substantif. Bukan saja pada lembaga riset luar kampus non-pemerintah, melainkan merongrong hingga ke ruang-ruang fakultas di Indonesia. Karena situasi tersebut, Sulistyowati menilai bangsa ini menuai kematian masyarakat ilmiah.
Kebijakan itu menambah nilai negatif dinamika Pendidikan Tinggi yang tak pernah sepi dari problem etika akademik, yang sudah lama “terkooptasi rezim birokrasi dan regulasi berlebihan.” Kampus sebagai arena konstruksi pikiran dan diseminasi ilmu pengetahuan serta moral mengalami penurunan serius. Kerja Universitas pada akhirnya melahirkan “wajah” ganda.
Ketika kita bersepakat pada aktualisasi sepenuhnya Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai tanggungjawab insan pembelajar di dalamnya, justru cermin kenyataan mengaksentuasi dimensi yang lain. Di lain kesempatan wajah ganda universitas dapat diamati melalui tulisan-tulisan dalam buku yang disunting Rahmat R. Wali dan Syaiful Bahry; Kejahatan Dunia Intelektual; Perdebatan Seputar Intelektualitas dan Etika Akademik (2022).
Meskipun berlatar “praktek” pendidikan di UMMU, diskursus serta perdebatan para penulis memberi sinyal keras betapa dunia intelektual Indonesia dan Maluku Utara semakin memprihatinkan. Buku ini memotret di antara media 2013-2016 penyimpangan struktural kampus, tetapi juga menyinggung aspek relasional yang memungkinkan penyimpangan terjadi.
Sebagai buku kumpulan tulisan, suatu tesis dasar terlalu peyoratif disampaikan. Tetapi sorotan masalah paling tajam yang saya temukan dalam kumpulan 23 tulisan ini adalah 1) plagiarisme, dan 2) pembuatan proposal/skripsi oleh oknum dosen, disertai imbalan uang yang mencekik leher mahasiswa. Akumulasi dari bentuk kritik, kecewa, geram, sedih dan kehendak untuk merubah realitas seperti itu, yang mendorong buku setebal 166 halaman ini ada.
Sorotan Masalah Kejahatan
Tulisan Gunawan Tidore, Krisis Intelektual, secara terang-benderang menceritakan praktek pembuatan tugas akhir oleh dosen (hal, 107-111). Seorang mahasiswa di salah satu Fakultas bisa lulus menjadi sarjana walaupun tidak mengikuti Kuliah Kerja Sosial (KKS), tidak mengikuti ujian proposal dan skripsi. Dekan dan pihak program studi meminta imbalan uang senilai Rp10.000.000, tetapi mahasiswa itu sanggup membayar Rp7.000.000. Angka yang fantastik. Buku ini menyebutnya bagian dari kejahatan dunia intelektual.
Lucunya, seorang pejabat kampus, kepala Bagian Administrasi Umum (BAU), menelpon dengan nada kasar di nomor yang salah, meminta orang lain (Sarfan Tidore) memberi klarifikasi terhadap tulisan Gunawan Tidore. Sang dosen tak ingin nama baik kampus tercemar dan melarang kritik disampaikan secara publik. Sarfan kaget dan geram, karena dirinya bukan penulis Krisis Intelektual, selain kegeramannya bersumber dari kekosongan dialogis dalam membaca problem di pihak institusi. Ia kemudian mengisahkan kasus itu dalam tulisan bertemakan Salam Rindu Buat Rektor (hal, 125-131).
Karena di saat yang sama Rektor terlibat dalam momentum politik pemilihan kepala daerah, maka Sarfan memberi catatan seharusnya rektor lebih serius memerhatikan masalah-masalah kampus, dari pada menjerumuskan dirinya pada altar politik praktis. Rektor harus membentuk Majelis Kode Etik (MKE) untuk memberantas akar masalah proyek transaksi proposal/skripsi di kampus UMMU.
Tentang MKE sebelumnya disinggung dalam opini Dominasi Kejahatan Intelektual, oleh Yahya Alhaddad, dosen di lingkungan Fisipol. Sama seperti cerita Gunawan Tidore. Teman Yahya memberi keterangan dosen “merampok” mahasiswa kelas pegawai dengan ganjaran satu proposal/skripsi dengan harga 2,5 juta rupiah, bahkan lebih (hal, 26).
Dari sini tawaran membentuk MKE dibicarakan. Termasuk keharusan adanya tim menginvestigasi untuk membongkar, menelusuri masalah dari bawah (hal, 45-46, 54 ).
Hampir semua tulisan memberi penekanan pada solusi struktural dan sistemik berupa sanksi institusi kepada dosen dalam rangka mengembalikan marwah intelektual dan akademik secara jujur, transparan dan egaliter.
Sepanjang buku ini, saya tidak menemukan komitmen kampus melakukan apa yang dibicarakan, buat tim investigasi dan bentuk MKE. Hingga akhir 2021 lalu, saya sendiri mendapati pertanyaan seorang mahasiswa semester akhir UMMU, berapa biasanya harga skripsi/proposal? Karena mahasiswa bersangkutan sudah diwajibkan bayar senilai Rp4.000.000. Saya juga bercakap dan melihat kekesalan seorang dosen pada awal bulan Maret 2022, karena nilai mata kuliahnya dibayarkan (SP) pihak prodi tanpa sepengetahuannya.
Akademisi semakin brutal melakukan apa yang disebut Herman Usman (hal. 1) sebagai Praktek Kejahatan (di) Dunia Akademik. Dapat berarti terhitung 8 tahun sejak 2013 ketika Agus SB menulis surat kepada Rektor untuk membenahi kerja-kerja akademik (hal, 151-157), kampus yang dipermasalahkan buku ini tidak pernah sungguh-sungguh merubah sistem dan budaya akademik. Proposal/skripsi masih menjadi proyek “multiyeras” para dosen dan ketimpangan struktural berkembang-biak secara sistematis.
Menemukan perdebatan
Dari 166 halaman, sebanyak 64 halaman (47-92) berisi “perdebatan intelektualitas” antar dosen dan mahasiswa. Bagi saya, buku ini lebih menarik pada bagian ini. Yahya mengakhiri tulisan dengan statemen jika kampus tidak bergegas cepat memutuskan kran penghianatan dosen, maka setiap yang berstatus sebagai insan akademik di UMMU akan menanggung dosa bersama sebagai Intelektual Amatir dalam istilah Edward W. Said (hal,47).
Ini ditentang Souwakil lewat tulisan Kaum Amatir. Menurutnya, menanggung dosa bersama dalam pemahaman Yahya kurang tepat, untuk disematkan pada pengertian amatir Edward Said. Amatir berarti “aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit”(hal, 53).
Maka, kebebasan bersuara seorang intelektual amatir boleh dilakukan tanpa terikat dengan spesialisasi dan tugas sempit yang diemban. Tanpa harus menanggung sanksi moral dan dosa sosial dalam urusan menyelesaikan siapa dosen pembuat proposal/skripsi.
Aji Deni, dosen Ilmu Politik, merespons secara serius tulisan-tulisan sebelumnya yang menurut beliau kurang mencerminkan hakikat pengetahuan.
Dalam narasi beliau, kata intelektual terlalu berat dan luas tanggungjawabnya dan tak pantas buru-buru menjustifikasi dosen pembuat skripsi sebagai tidak intelektual, disamping tidak berani menyebut mahasiswa bodoh karena sudah membayar dosen.
Ia sendiri malu menyebut dirinya dosen yang intelektual (hal, 56). Untuk keluar dari stigmatisasi ini, Aji Deni menyebut mereka (dosen) sebagai Pekerja Sosial Kampus (PSK), bukan intelektual (hal,57-58).
Tulisannya punya pesan eksplisit dimana membuat proposal/skripsi bisa terbebas dari stigma kejahatan dan penghianatan akademik. Asalkan satu, jangan sebut dosen intelektual, sebut saja PSK. Maka ada pembenaran moralistik dari ancaman kekufuran sosial, bahwa dosen membuat proposal/skripsi karena tekanan penghidupan anak dan istri di rumah (hal. 57).
Rahmat Souwakil membalas Aji Deni. Kali ini melalui opini Dosen Itu Intelektual (hal, 64-69). Mahasiswa Hukum ini bertanya kenapa Aji Deni tidak menyebut dosen sebagai intelektual? Untuk mendukung argumennya, Rahmat Souwakil menelisik jauh pada peristiwa ketika kata intelektual pertama kali dipakai di Perancis oleh Clemenceau pada 1898. Berpijak dari kasus Dreyfus, seorang tentara Yahudi yang dituduh menjual rahasia militer ke Jerman, menyebabkan dirinya dihukum penjara seumur hidup.
Kasus ini mendorong Emile Zola menulis sebuah surat yang intinya mengatakan dinas ketentaraan Perancis merekayasa bukti dan menutup-nutupi fakta kasus ini. Surat itu kemudian dikenal sebagai “manifesto para intelektual,” dan kata intelektual mendunia hingga kini menyebut setiap kelompok yang memperjuangkan, mencari, menelusuri kebenaran.
Dosen adalah kelompok dalam kategori intelektual karena bertugas mengajarkan, mendakwahkan kebenaran. Selain pengertian Gramsci dan Said yang dikutip, Rahmat menyentil penggalan syair Mars UMMU; “berwatak patriot wujud nyatakan, intelektual muslim” (hal,67). Dari sini posisi dosen sebagai intelektual tidak dapat dinafikan Aji Deni.
Lepas dari apakah ia bekerja atau tidak memperjuangkan kebenaran. Lepas dari betulkah seorang dosen telah mengajarkan kebodohan karena dibayar oleh mahasiswa studi akhir. Persoalan menghidupi anak dan istri yang ditanyakan Aji Deni justru dijawab Rahmat secara gamblang bahwa dengan alasan apapun, seorang dosen yang intelektual jangan mencederai nurani dan merusak nilai-nilai akademik. Dengan begitu, Aji Deni tak dapat membangun argumen tandingan atas Rahmat Souwakil pada halaman-halaman berikut perdebatan buku ini.
Tulisan balasannya tentang Salah Asuhan Akademik (hal. 81-92) lebih pada merespons tulisan Sarfan Tidore, Paradoks Pekerja Sosial Kampus (hal, 71-80). Sarfan menilai argumen Aji Deni paradoks, karena tidak konsisten menempatkan diri sebagai dosen. Di satu sisi malu mengatakan sebagai intelektual, di sisi lain mengakui PSK adalah intelektual (hal. 74), yang, melakukan kejahatan akademik.
Keduanya mendebat pada wilayah ini. Sarfan menekankan dosen atau intelektual harus siap hidup dalam kondisi pas-pasan sekalipun. Aji Deni menolak dengan menyebut intelektual butuh memperhitungkan dimensi kontekstual relasi akademik. Sarfan bilang tak ada ilmu pengetahuan yang merusak. Aji Deni bilang dalam kenyataan sejarah pengetahuan turut merusak tatanan manusia.
Namun, suatu pengetahuan bernilai baik atau tidak tergantung pada bagaimana dan dimana keberpihakan manusia memanfaatkan posisi ontologis pengetahuan. Kesalahan bukan tentang apa pengetahuannya, tetapi di wilayah mana pengetahuan diarahkan. Untuk melegitimasi perdebatan tentang ini, Aji Deni mengutip karya Thomas Khun yang mewakili pengetahuan “tak bebas nilai” dan karya Karl Popper yang mewakili pengetahuan “bebas nilai” (hal,89).
Sepanjang dikotomi ini pada akhirnya berpulang pada sisi moralitas akademik yang sama-sama dipertimbangkan, supaya dikemudian hari salah asuhan akademik tak berkepanjangan di dunia kampus.
Belajar dari Kritik Internal Mahasiswa
Dalam kultur akademik di Maluku Utara yang anti-kritik, anti-kritisisme, anti-hak asasi manusia, saya beri apresiasi mendalam kepada sejumlah penulis buku, khususnya yang masih berstatus mahasiswa. Perlu memelajari dua hal penting dari mereka; pertama, anak-anak muda ini berani membangun argumen logis, membongkar “wajah” kampus yang tak semua mahasiswa dan dosen lakukan.
Jika Weber pernah menyeru perihal the etics of responsibility, saya kira mahasiswa-mahasiswa ini menunjukkan pertanggungjawaban itu lewat tulisan di buku ini. Mereka percaya daya pukul gerakan ide (tulisan) dari kebanyakan mahasiswa pengagum megafon dan soudsystem. Suatu pemandangan yang jarang kita lihat di negeri ini.
Kedua, mereka semua mahasiswa UMMU dan mengkritik kampusnya sendiri. Dapat berarti langkah ini adalah bentuk kritik internal yang bernilai publik. Dalam teori dialektika Hegelian, perubahan tidak akan datang dari luar, perubahan diciptakan dari negasi internal berupa tesa ke antitesa menjadi sintesa. Para mahasiswa itu mengajak insan akademik supaya membentuk kesadaran mengantitesa dari dalam.
Harus jujur, ini merupakan “babak baru” dalam sejarah pergerakan aktivis kampus di Maluku Utara, dimana mahasiswa berdebat dengan dosen di ruang publik menggunakan tulisan secara sistematis. Tanpa ada asap hitam, tanpa sewa truk, tanpa teriak-teriak hingga kerongkongan gatal.
Dalam istilah Michael Foucault, mahasiswa ini menjadi aktor Parhesia. Parhesia itu soal kesadaran dan “keterusterangan dalam berbicara kebenaran” (Foucault, 2018).
Mereka sadar watak birokrat kampus anti-kebebasan-seperti Iron Cage-dalam istilah Max Weber. Bahwa jika menulis mengkritik kampus, mereka akan menerima konsekuensi berupa “sanksi, teguran dan ancaman” bermacam-macam. Tetapi mereka melampaui ketakutan tentang sanksi itu, lalu berterus-terang mengampanyekan ide kebenaran secara terbuka. Bagi Foucault, Kebenaran harus disampaikan, sekalipun mengancam diri kita sendiri. Sejumlah mahasiswa dalam buku ini menunjukkan mentalitas itu ke semua pihak.
Refleksi Isi Buku; Menampar “Wajah” Intelektual.
Tak ada buku yang sepenuhnya sempurna. Pertama, buku ini cenderung menyerang sistem. Ini terlihat dari mengentalnya tawaran membentuk MKE di beberapa tulisan ketika praktek gelap pembuatan proposal/skripsi mencuat di UMMU. Ini mengingatkan saya pada dikotomi aktor dan struktur dalam perkembangan teori sosiologi.
Buku ini menekankan struktur harus melarang aktor melanggar statuta akademik. Tetapi harus diingat, aktor dapat melampaui struktur dalam bentuk komunikasi interpersonal antar dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan aktor intelektual di luar kampus. Apalagi di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini. Plagiarisme sangat mudah terjadi.
Bukan tidak mungkin ini menyediakan relasi yang berujung pada ketidaksiapan mahasiswa menulis proposal dan skripsi pada saat studi akhir. Baik aktor maupun struktur sama-sama harus dibenahi, supaya kita tidak menggunakan satu determinan tunggal ketika memberantas masalah akademik.
Kedua, agar tepat pada nilai “continue”, idealnya tulisan Sarfan Tidore di halaman (125) ditaruh sesudah tulisan Gunawan Tidore (hal. 107), karena Sarfan mengisahkan lebih lanjut peristiwa yang diceritakan Gunawan. Kemudian ada tulisan (hal. 21) perlu diperhatikan lebih lanjut karena belum jelas apa dimaksudkan penulis dengan dilema intelektual.
Ketiga, baiknya dibuat per-bab dalam daftar isi buku. Mengingat ada tulisan-tulisan yang membahas langsung masalah proposal/skripsi, selain melibatkan permasalahan intelektual dan akademik secara umum.
Pertanyaannya, adakah bentuk kejahatan intelektual itu terjadi di luar kampus dengan praktek dan modus yang berbeda?
Buku ini tidak memberi keterangan jelas dan serius tentang itu. Tetapi, makna sebuah buku dapat dibaca di luar “teks.” Hasil pembacaan buku ini mendorong saya meluaskan cakupan konteks “kejahatan intelektual.” Belakangan negeri kita ditempa fenomena pembungkaman aktivis pejuang Hak Asasi Manusia, aktivis lingkungan dan aktivis perempuan. Yang paling segar diingatan ketika Universitas Khairun men-drop-out 4 orang mahasiswa hanya karena mereka menyuarakan kebebasan warga Papua, dan menganggap mereka tidak patuh pada negara.
Tanpa kecuali negara merangkul kekuatan intelektual bekerja di lingkaran kekuasaan nasional dan lokal menghilangkan kritisisme, termasuk bagaimana intelektual terlibat melegitimasi relasi oligarki (birokrat-penguasa-pengusaha). Kita butuh meminjam ide-ide Dauvergne dan Lebaron (2014) untuk menganalisa kondisi hari ini ketika kekuatan-kekuatan sosial seperti lembaga non-pemerintah tak lagi jadi kekuatan dalam aktivitas perlawanan global, nasional maupun lokal, karena aktivis dijinakkan oleh korporasi pengejar laba dan negara.
Jaringan dan struktur kesempatan politik pasca reformasi justru melemahkan posisi kaum intelektual. Jika kita percaya kejahatan intelektual merupakan masalah kita bersama (di dalam dan luar kampus) yang perlu dibicarakan, maka sebetulnya buku “Kejahatan Dunia Intelektual” ini memberi tamparan keras di wajah semua orang yang mengaku diri intelektual, aktivis, dosen, mahasiswa, staf ahli, jurnalis, pemerhati, dan lain sebagainya. Saatnya bersatu, LAWAN.!!!
——
Tulisan ini pernah terbit di laman Jalamalut.com pada tahun 2022. Diterbitkan ulang demi tujuan pembelajaran
*Penulis adalah alumnus Prodi Sosiologi UMMU.