Perspektif

Sekolah Tinggi, Pikiran Rendah

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*

 

KITA berlomba menambah huruf di depan atau belakang nama, seakan panjangnya gelar berarti dalamnya pikiran. Padahal, banyak yang mabuk gelar tapi tetap lapar pengetahuan.

Ijazah kini bukan sekadar bukti belajar, tapi candu yang membuat banyak orang mengejarnya demi gengsi dan kompensasi ekonomi. Pendidikan pun kian jauh dari maknanya: membebaskan! Kampus semakin menjamur, gelar semakin panjang, tapi kualitas berpikir kritis justru semakin menyusut. Kita sibuk sekolah tinggi, tapi pikiran tetap rendah.

Setiap tahun ajaran baru, pemandangan antrean orang tua di sekolah favorit selalu sama: berdesakan, panik, berharap anaknya diterima di lembaga pendidikan yang dianggap “terbaik”. Dari TK hingga perguruan tinggi, sekolah seolah satu-satunya jalan menuju masa depan. Ijazah dipuja bak tiket emas menuju hidup layak.

Namun, Roem Topatimasang dalam buku Sekolah Itu Candu mengingatkan kita bahwa pendidikan formal bisa menjadi jebakan. Roem menyebut sekolah sebagai “candu”: meninabobokan, memabukkan, membuat kita percaya hanya ada satu jalan untuk belajar, padahal kenyataannya bisa sebaliknya.

Kritiknya memang keras. Tapi mari kita jujur: berapa banyak dari kita yang masih mengukur kecerdasan dari rapor, ijazah, bahkan panjangnya gelar di belakang nama?

Candu Bernama Ijazah

Roem menyoroti bagaimana sekolah formal kehilangan makna awalnya sebagai ruang pembebasan. Alih-alih melahirkan manusia merdeka-berfikir, ia justru mencetak pekerja patuh, sesuai kebutuhan pasar. Anak-anak bukan lagi individu unik, melainkan produk massal pabrik bernama sekolah.

Kritik itu tidak asing. Paulo Freire, filsuf sekaligus pendidik asal Brasil dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menyebutnya “pendidikan gaya bank”: guru menabungkan informasi, murid menyimpannya. Di Indonesia, praktik itu terlihat setiap hari. Anak dijejali hafalan rumus dan definisi, seolah belajar hanya soal mengingat, bukan memahami. Ujian nasional dulu adalah puncaknya: mengukur keberhasilan lewat lembar jawaban pilihan ganda.

Di sinilah candunya. Kita terbuai bahwa semakin tinggi sekolah, semakin tinggi nilai diri kita. Padahal, berapa banyak sarjana yang menganggur? Berapa banyak lulusan terbaik yang kebingungan menata hidup? berapa banyak sarjana tak tahu jalan hidup kreatif manusia merdeka?

Fenomena paling kentara hari ini adalah perburuan gelar akademik. S1 dianggap “standar minimal”. S2 untuk “naik kelas”. Dan kini, S3 seakan-akan menjadi puncak gengsi. Banyak orang merasa baru terpandang jika sudah menyandang gelar doktor, bahkan ketika motivasi intelektualnya tipis, penalaran menemukan “problem solving” masyarakat minim.

Tak sedikit orang mengejar S3 bukan karena passion riset, melainkan sekadar demi status sosial, peluang jabatan, atau penghasilan. Di birokrasi dan dunia kampus, gelar memang kerap berbanding lurus dengan tunjangan dan posisi. Akibatnya, pendidikan tinggi berubah jadi pasar ijazah. Perguruan tinggi pun berlomba membuka program pascasarjana dengan biaya selangit, sementara mutu riset sering dipertanyakan.

Inilah versi terbaru dari candu yang dibicarakan Roem. Kalau dulu sekolah dasar sampai SMA cukup untuk mengikat masyarakat dalam sistem, kini candu itu naik level. Kita bukan hanya memuja sekolah, tapi juga mendewakan gelar.

Lebih serius lagi, sekolah tidak pernah netral. Kurikulum selalu jadi perpanjangan tangan kekuasaan. Di masa Orde Baru, misalnya, sejarah 1965 diajarkan dalam satu versi resmi. Anak-anak dipaksa percaya tanpa ruang untuk bertanya.

Hingga kini, sekolah masih menjadi ruang penjinakan. Dari model seragam, potongan rambut, sampai cara duduk di kelas, semuanya diatur demi “disiplin”. Padahal yang dilatih sebenarnya kepatuhan. Murid terbiasa tunduk pada otoritas, kehilangan keberanian bertanya.

Ketika masuk perguruan tinggi, pola ini berulang. Banyak kampus merasa mata kuliah “pengantar logika” penting! Padahal itu diajarkan di level perguruan tinggi sebenarnya cukup terlambat. Atau masih sibuk dengan hierarki dosen–mahasiswa. Bukan kebetulan jika penelitian yang lahir sering lebih berorientasi pada angka kredit ketimbang menjawab masalah nyata di masyarakat.

Ilusi Gelar dan Jalan Alternatif

Budaya gelar ini memperkuat ilusi lama: selembar ijazah menentukan masa depan. Dari lowongan kerja hingga perjodohan, ijazah sering menjadi tolok ukur utama. “Minimal sarjana,” begitu syarat umum. Gelar semakin panjang, gengsi semakin tinggi.

Padahal, realitas tidak sesederhana itu. Di dunia kerja, kemampuan praktis sering lebih menentukan daripada gelar. Banyak lulusan S3 justru kesulitan menyesuaikan diri karena merasa “terlalu akademis” untuk pekerjaan praktis. Sementara anak muda yang belajar secara otodidak lewat internet bisa lebih cepat beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Teknisi di bengkel lebih memahami solusi problem mesin ketimbang seorang dosen bergelar S3 Teknik Mesin di kampus.

Lagi-lagi, candu ijazah membuat kita lupa pada esensi belajar. Kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun, mengeluarkan biaya besar, bahkan mengorbankan kesehatan demi mengejar gelar. Tapi di ujungnya, banyak yang mendapati hidup tidak otomatis membaik.

Jika sekolah itu candu, apakah solusinya berhenti sekolah? Tentu tidak sesederhana itu. Roem tidak sedang mengajak kita menutup sekolah, melainkan mengajak membongkar persepsi kita. Belajar tidak identik dengan sekolah formal. Pendidikan seharusnya lebih luas, lebih membebaskan.

Contohnya bisa kita lihat pada sekolah komunitas di kampung-kampung, gerakan literasi di ruang publik, hingga kelas online gratis di dunia digital. Semuanya menunjukkan bahwa belajar bisa hadir dengan cara yang menyenangkan, kontekstual, dan membebaskan.

Khusus soal gelar, kita butuh keberanian untuk mengubah mindset. Gelar doktor bukan ukuran kecerdasan. Profesor bukan simbol kemuliaan mutlak. Gelar hanya tanda pernah menempuh jalur akademik, bukan jaminan lebih bijak atau lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Membongkar Candunya

Meskipun Sekolah Itu Candu berlatar konteks Indonesia tahun 1980-an, namun membacanya membuat kita merenung: apakah kita masih menelan candu sekolah dan candu gelar tanpa sadar? Apakah kita mengejar S3 demi pengetahuan, atau sekadar demi gengsi dan penghasilan?

Kritik Roem tidak berarti merendahkan sekolah atau perguruan tinggi. Justru sebaliknya, ini ajakan untuk menata ulang pendidikan agar kembali ke hakikatnya: memerdekakan manusia. Pendidikan yang melatih anak untuk bertanya, bukan hanya menjawab. yang membentuk keberanian berpikir, bukan sekadar kepatuhan.

Selama kita masih terjebak pada fetisisme ijazah, pendidikan akan terus jadi candu. Dan candu itu akan membuat kita mabuk gelar, tapi minim pengetahuan.

——

*Penulis: Praktisi hukum dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate 

cermat

Recent Posts

Strategi Hendri Susilo Berhasil Redam Serangan Bhayangkara, Yakob Jadi Kunci Kemenangan

Laga yang berlangsung di Stadion PKOR Sumpah Pemuda, Bandar Lampung, berakhir dengan skor 1-0 untuk…

22 menit ago

Kerjakan RSUD Bobong Tanpa IMB, PT Wika Kena Ultimatum DPRD

DPRD Pulau Taliabu, Maluku Utara, resmi memberikan ultimatum terhadap PT. Wijaya Karya (Wika) atas pekerjaan…

9 jam ago

Penerapan MPS Dikritik, Kadishub Ternate: Bukan Tidak Jalan

Penerapan Mobile Parking System (MPS) yang sebelumnya diuji coba oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Ternate,…

11 jam ago

Kasus Korupsi Jadi Sorotan dalam Diskusi Publik di Jailolo, Halmahera Barat

Isu korupsi menjadi sorotan utama dalam Diskusi Publik bertajuk "Membangun Halmahera Barat, Antara Harapan Pembangunan…

12 jam ago

Jaksa: Tersangka Pembunuhan Pegawai BPS Haltim Terancam Hukuman Mati

Kejaksaan Negeri (Kejari) Halmahera Timur, Maluku Utara, menyebut Aditya Nahafi (27), tersangka kasus pembunuhan terhadap…

16 jam ago

MoU dengan PT Antam dan BPVP Ternate, Kejati Malut Dorong Pendampingan Hukum di Sektor Pertambangan

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Aneka Tambang (Antam) dan…

18 jam ago