Ombudsman cermat, Muhammad Tabrani Mutalib. Foto: Istimewa
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*
DI republik ini, pejabat publik seolah memiliki mantra sakti: minta maaf. Kalimat itu meluncur lancar setiap kali lidah terpeleset, kebijakan amburadul, atau data keliru diucapkan. Dan setelahnya? Tidak ada konsekuensi berarti. Seolah-olah kata maaf adalah tombol reset yang menghapus semua jejak kesalahan tanpa ada konsekuensi etika publik.
Bahkan budaya minta maaf kerap menjadi tiket bebas dari tekanan publik, seolah satu kalimat sakti dapat menghapus kelalaian, kesalahan, blunder-blunder yang tidak perlu, bahkan kejahatan. Apa yang salah?
Pasti ada yang tidak beres dalam pandangan dunia (worldview) kita dalam menafsirkan kehidupan bernegara (publik). Kata “re publica” yang berarti “demi kepentingan publik” tak punya konsekuensi apapun. Padahal kata itu telah kita sepakati untuk menyebut bentuk pemerintahan kita yakni Republik Indonesia.
Apakah kata “Republik” hanya sekadar nama tanpa makna? Apakah kita hidup dalam sebuah Republik tanpa memahami konsekuensi-pilihan kesepakatan bersama? Tapi realitasnya kita bernegara dengan konsep Republik rasa “Kerajaan”. Apa sebabnya?
Bilamana ditelisik lebih dalam, ternyata fenomena pejabat Indonesia yang dengan enteng mengucapkan “mohon maaf” setiap kali “blunder”, tidak sekedar masalah perilaku individu (etika privat). Melainkan dipengaruhi faktor tradisi-budaya.
Dalam tradisi masyarakat lama nusantara, terutama yang berlandaskan nilai harmoni dan rukun, meminta maaf sering dianggap puncak penyelesaian konflik. Maaf di sini bermakna menghindari permusuhan, bukan menuntut ganti rugi. Tetapi pada saat itu belum ada worldview tentang pemisahan antara etika privat dalam relasi kekerabatan dengan etika publik bernegara (dalam makna modern). Dan celakanya, nilai ini kemudian dibajak pejabat untuk menutup kasus tanpa akuntabilitas nyata. Publik dibuai oleh simbol kesopanan, bukan substansi perbaikan.
Feodalisme dalam budaya kita berakibat pada kultur institusi modern seperti republik. Akibatnya dalam penegakan hukum misalnya, permintaan maaf sering kali direspons dengan pencabutan tuntutan sosial dan minimnya proses hukum. Atau Kultur feodal dalam birokrasi, dimana jarang menuntut pertanggungjawaban atasan. Atasan minta maaf, semua dianggap selesai.
Selain itu, kurangnya peran “wachtdog” media kita yang cepat puas, di mana pernyataan maaf sering diberitakan besar-besaran, sementara proses hukum atau reformasi kebijakan yang seharusnya menyusul malah tenggelam. Akhirnya itu semua menjadi kebiasaan yang kita normalisasi. Kata maaf menjadi semacam “cheat code” politik pencitraan, dijadikan bagian dari strategi komunikasi politik, bukan bentuk penyesalan yang tulus.
Penormalan perilaku menyimpang itu bermuara pada satu hipotesa bahwa “maaf” di ruang publik Indonesia mengalami degradasi makna. Kata itu bukan lagi ekspresi moral untuk menebus kesalahan, melainkan perisai retoris untuk melindungi posisi dan citra. Pejabat juga akhirnya belajar satu hal: ketika terpojok, bukan transparansi atau reformasi yang dibutuhkan, tapi kamera dan mikrofon untuk mengucap “maaf”.
Kasus terbaru Menteri ATR/BPN Nusron Wahid adalah contoh yang telanjang. Pernyataan blunder-nya tentang “semua tanah milik negara” viral dan menimbulkan bermacam-macam reaksi publik. Lalu saat kritik memuncak, tinggal tampil di depan kamera, menyebut ucapannya hanya “candaan” lalu meminta maaf. Episode selesai tanpa tindakan korektif yang substantif.
Sebenarnya, dalam ruang pribadi, permintaan maaf mengandung nilai mulia. Tetapi di ruang publik, nilai ini selalu dibajak menjadi alat pengalihan tanggung jawab. Ditambah struktur kekuasaan yang permisif. Last but not least, masyarakat yang sengaja tidak dididik bernalar “kritis” oleh kurikulum negara, punya daya ingat ikan cupang. Marahnya tiga hari, lalu lupa. Besoknya, kita sudah sibuk membahas gosip artis atau skor bola. Dan para pejabat tahu benar kelemahan ini. “Badai” di sosial media itu ibarat badai dalam secangkir kopi, cukup diaduk lalu gelap.
Akumulasi dari semua itu berdampak serius. Publik menjadi apatis, krisis kepercayaan pada institusi makin dalam, dan pejabat belajar bahwa krisis bisa diselesaikan dengan retorika, bukan reformasi. Dari skandal tanah hingga kebijakan pandemi, siklusnya sama: salah kemudian minta maaf lalu lupa dan ulangi lagi. Seperti lingkaran setan.
Ada pepatah latin menyatakan “errare humanum est, perseverare diabolicum” artinya berbuat kesalahan adalah suatu hal manusiawi, mengulangi kesalahan adalah perbuatan iblis. Oleh karena itu, jika kita sadar akan bahaya dari normalisasi pejabat minta maaf berkonsekuensi buruk pada nilai-nilai republik. Maka publik perlu berhenti memberi diskon pada kesalahan pejabat. Kita harus menuntut akuntabilitas, tidak puas dengan klarifikasi basa-basi. Saatnya maaf harus dibayar tunai dan tuntas. Publik harus galak tanpa menunggu ketegasan struktur kekuasaan.
Karena jika tidak begitu, kita seperti hidup di sebuah negara “lebaran” atau Republik maaf-maafan saja. Kita dengan sikap mental husnudzon selalu memaafkan para pejabat tapi yang kita tidak sadari bahwa ternyata yang kita beri maaf itu bukan manusia bermental manusiawi tapi manusia durjana-berperilaku iblis yang terus melakukan siklus kesalahan.
—–
*Penulis merupakan praktisi hukum sekaligus pengajar di Unkhair Ternate
Pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, berinisial AH (27) ditetapkan sebagai…
Tim Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polsek Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, memeriksa istri tersangka…
Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, resmi menggelar Musrenbang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)…
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerima penghargaan Popular Government Institution 2025 dari…
Setelah lebih dari 20 tahun beroperasi di Halmahera Timur, Maluku Utara, PT Aneka Tambang (Antam)…
PT Apollu Nusa Konstruksi melayangkan surat tagihan dan somasi kepada PT Hapsari Nusantara Gemilang untuk…