Praktisi Hukum, Muhammad Tabrani Mutalib. Foto: Istimewa
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib
SEJAK merdeka, kita percaya bahwa berdasarkan UUD 1945, Indonesia adalah sebuah Republik–Demokrasi, lebih tepatnya demokrasi konstitusional berlandaskan kedaulatan rakyat yang didasari oleh nilai-nilai pancasila. Artinya daulat rakyat dijamin oleh konstitusi untuk mencegah kekuasaan dihimpun dan menumpuk di satu orang atau kelompok (oligarki) yang memanipulasinya. Terlebih lagi, dalam berbagai forum, kita juga kerap mendengar para pakar mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi, ada Pemilu, partai politik, dan ruang kebebasan berpendapat menjadi simbol-simbol dari sistem itu.
Namun jika kita jujur mengamati praktik politik yang berlangsung, baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk di Maluku Utara, tampak bahwa arah kebijakan publik seringkali tidak lahir dari suara rakyat, melainkan ditentukan oleh segelintir elite. Ambil contoh, kebijakan pemindahan warga Desa Kawasi di Pulau Obi, yang direncanakan untuk direlokasi karena wilayah tersebut dijadikan kawasan industri nikel oleh korporasi. Warga diminta pindah ke kawasan pemukiman baru yang telah dibangun oleh korporasi. Kebijakan ini lebih banyak ditentukan oleh kesepakatan antara pemerintah daerah, kementerian teknis, dan pihak korporasi.
Aspirasi warga desa yang sebagian besar masih ingin tetap tinggal di kampung leluhurnya—sering kali diabaikan atau ditekan secara halus. Proses partisipasi bersifat formalitas dan tidak menunjukkan daya tawar warga terhadap kebijakan relokasi. Keputusan Negara bukan lahir hasil dari aspirasi kolektif masyarakat Kawasi. Atau contoh lain, Pilkada di berbagai daerah termasuk di Maluku Utara, calon kepala daerah ditentukan oleh elite partai politik di pusat. Nama-nama yang diusulkan dari bawah atau kader lokal potensial dapat tersingkir karena tidak memiliki akses elite, logistik, atau kedekatan politik dengan pimpinan partai. Elite partai menjadi penentu utama dalam memberikan rekomendasi atau surat tugas, bahkan sebelum dilakukan survei atau uji publik. Dalam praktiknya, rakyat hanya diberi pilihan di akhir (saat pencoblosan), bukan dalam proses seleksi awal. Hal itu menunjukkan bahwa sistem demokrasi elektoral sejatinya dikontrol dari awal oleh oligarki partai.
Keadaan nyata yang dialami rakyat itu, membuktikan bahwa kepercayaan kita atas sistem demokrasi harus ditinjau ulang, sebab faktanya “kekuasaan nyata” tidak berada di tangan rakyat, melainkan ditangan elite birokrasi, politik, dan ekonomi. partisipasi masyarakat seringkali hanya bersifat prosedural, bukan substantif. Olehnya itu, teori elite sangat relevan untuk menganalisis realitas ini, di mana kekuasaan mengalir dari atas (top-down), dan arah kebijakan ditentukan oleh sedikit orang yang memiliki akses terhadap alat-alat kekuasaan. Inilah yang disebut bentuk “demokrasi kosmetik” yang bertentangan dengan semangat partisipasi.
Tentu tidak semua bentuk kekuasaan elite selalu buruk. Dalam sejarah, elite yang visioner juga bisa membawa perubahan positif. Sejak zaman Yunani Kuno, pertanyaan tentang apakah pemerintahan yang egaliter benar-benar mungkin diwujudkan, ataukah dominasi elite adalah keniscayaan struktural dalam masyarakat.
Salah satu pemikir awal yang secara tajam mengkritik bentuk-bentuk pemerintahan yang ada termasuk demokrasi adalah Plato. Melalui karyanya Republic, ia menguraikan kelemahan mendasar dalam sistem politik seperti monarki, oligarki, dan demokrasi. Baginya, ketiga bentuk pemerintahan tersebut tidak hanya rapuh, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi tirani dalam jangka panjang. Siklus ini oleh Polybius (abad ke-2 SM) disebut “anacyclosis”.
Plato mengemukakan kritik terhadap demokrasi secara unik. Ia menilai bahwa sistem ini mendorong kebebasan yang berlebihan hingga membuka jalan bagi individu paling manipulatif dan egois untuk merebut kekuasaan. Dalam alegori terkenal tentang “kapal orang bodoh (ship of fools),” Plato menggambarkan negara sebagai kapal yang dikendalikan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan navigasi, hanya karena ia paling pandai berbicara dan membujuk massa.
Dalam Republic, Plato menggambarkan negara ideal sebagai negara yang dipimpin oleh ‘Guardians’—sebuah kelas elite yang mengatur urusan negara atas nama rakyat. Mereka adalah sekelompok “raja filsuf”, yang tugas utamanya adalah memerintah negara. Namun ada syarat penting—guardians-nya Plato tidak memiliki kekuasaan absolut karena mereka dilarang memiliki harta pribadi. Mereka berbagi sumber daya dan hidup secara komunal dengan rakyat, sehingga keserakahan dan korupsi tidak bisa memengaruhi keputusan mereka. Plato percaya bahwa setiap masyarakat yang terorganisir pasti membutuhkan bentuk kekuasaan yang terkonsentrasi.
Gagasan Plato meskipun bersifat utopis tapi selaras dengan kerangka berpikir yang kemudian dikenal sebagai teori elite. Inti dari teori ini adalah bahwa kekuasaan dalam masyarakat luas hampir selalu terpusat pada kelompok kecil, yang memegang kendali atas sumber daya, pengambilan keputusan, dan arah kebijakan publik. Konsep ini memperoleh bentuk lebih sistematis dalam pemikiran Vilfredo Pareto dan Robert Michels—sosiolog dari The Italian School of Elitism pada awal abad ke-20.
Pareto yang dikenal dengan “Pareto Principle” (aturan 80/20) menyatakan bahwa sekitar 20% populasi menghasilkan sebagian besar hasil atau produktivitas di masyarakat, sedangkan 80% sisanya berperan pasif. Ia juga menolak pandangan bahwa perubahan politik adalah hasil gerakan massa. Menurutnya, yang terjadi sesungguhnya adalah proses sirkulasi elite—pergantian kekuasaan dari satu kelompok elite ke elite lainnya, sementara masyarakat umum hanya menjadi objek mobilisasi.
Michels melengkapi kerangka ini dengan apa yang ia sebut sebagai hukum besi oligarki (iron law of oligarchy). Dalam bukunya Political Parties (1911), ia menyatakan bahwa dalam organisasi besar, termasuk partai politik dan pemerintahan, kekuasaan akan selalu mengalami sentralisasi karena tuntutan efisiensi dan teknis organisasi. Bahkan dalam sistem demokrasi pun, kekuasaan akan berujung pada dominasi segelintir individu atau kelompok karena struktur organisasi tidak memungkinkan pelaksanaan demokrasi langsung secara penuh.
Keberadaan oligarki adalah konsekuensi logis dari adanya struktur organisasi. begitu suatu organisasi terbentuk, maka kendali cenderung berpindah dari anggota biasa kepada pemimpin yang mengatur arah organisasi. Kekuasaan ini diperkuat melalui kontrol informasi, penguasaan mekanisme prosedural, dan kemampuan untuk memberikan penghargaan politik.
Adapun sejarawan Arnold Toynbee berpendapat sering kali kelompok kecil individu dengan tingkat inisiatif tinggi (high-agency) justru menjadi kekuatan inovatif di balik pencapaian besar peradaban. ia mengatakan bahwa budaya berkembang dari suku-suku primitif menjadi peradaban kompleks melalui aksi dari kelas elite pemecah masalah yang mampu merespons tantangan masyarakat. kelompok ini sebagai ‘minoritas kreatif’, menginspirasi massa untuk mengikuti jejak inovatif mereka melalui suatu proses yang disebut “mimesis” (peniruan). Massa peniru tidak mampu memecahkan masalah sendiri, tetapi tetap berguna selama minoritas kreatif masih efektif.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Oswald Spengler, dalam karyanya Decline of the West menjelaskan bahwa kemajuan sejarah ditentukan oleh minoritas yang memiliki kemampuan dan kendali atas kekuasaan. Ia mencontohkan era Renaisans Karolingian—revitalisasi budaya Eropa oleh Charlemagne yang dijuluki The Father of Europe. Raja Charlemagne mengumpulkan para tokoh agama dan cendekiawan terbesar dari seluruh Eropa, ia menciptakan lingkaran cendekiawan istana—suatu kelas “intelektual” yang membantu menjalankan reformasi budaya dari atas ke bawah, akhirnya tercipta fondasi renaisans eropa.
Sejarah telah menunjukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat tidak selalu menjadi realitas politik. Demokrasi perwakilan membuat rakyat tidak terlibat langsung, parlemen lebih loyal ke partai daripada konstituen, demokrasi bisa dimanipulasi lewat politik uang, hoaks dan ketimpangan akses media et cetere. Dalam konteks Indonesia, kata Jeffrey Winters, Demokrasi kita dibajak oleh elite. Itulah mungkin yang mendasari Herbert Marcuse dan Noam Chomsky menyatakan demokrasi liberal sering kali hanya ilusi dalam pelaksanaannya.
Maka, pertanyaan yang relevan untuk diajukan saat ini bukanlah sekadar “benarkah demokrasi kita ditentukan oleh elite?”, melainkan “bagaimana memastikan bahwa elite tidak menjelma menjadi tirani, melainkan berfungsi sebagai lokomotif kemajuan bersama?” sebab para elite juga bisa mengalami stagnasi. Ketika mereka tidak lagi mampu berinovasi atau terlalu terikat pada prestasi-feodalisme masa lalu, elite kehilangan relevansinya. Kemunduran ini dapat memicu disintegrasi sosial dan kemerosotan peradaban.
Oleh karena itu, tetap diperlukan mekanisme pengawasan, etika kepemimpinan, dan kesadaran kolektif untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak melenceng dari fungsi sosialnya, agar elite dapat berperan sebagai penggerak transformasi positif bahkan reformasi sosial. Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya digunakan untuk mempertahankan dominasi, tetapi juga untuk membangun dan memperluas kapasitas kolektif masyarakat melalui mimesis.
Untuk memastikan elite tidak memonopoli kebenaran, memanipulasi informasi, dan menutup akses rakyat untuk turut serta mengontrol arah pembangunan, yang menjadikan demokrasi kita rapuh—tidak dari luar, tetapi dari dalam. Maka Sudah saatnya kita menuntut demokrasi yang lebih substantif. Rakyat bukan hanya butuh kotak suara untuk memilih, tapi juga ruang untuk bersuara dan didengar sejak proses awal kebijakan dirancang. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam sistem yang hanya demokratis secara prosedural, namun oligarki–otoriter secara praktik.
Kritik terhadap dominasi elite bukan berarti menolak kepemimpinan. Tetapi kita perlu memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk melayani, bukan mengendalikan. Bahwa pembangunan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang, tetapi benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat. Demokrasi bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling mendengar.*
*Penulis merupakan Akademisi Unkhair Ternate
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kota Ternate pada sektor retribusi daerah di akhir kuartal kedua…
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib "A man can do all things if he will."— Leon…
Pemutaran film dokumenter Yang Mengalir di Kawasi produksi TV Tempo di Studio XXI Jatiland Mall,…
Pemerintah Daerah (Pemda) Pulau Taliabu, Maluku Utara, mengakui meraknya aktivitas penambangan galian C dilakukan tanpa…
Pemerintah Kota Ternate resmi menggelar rapat konsultasi Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS)…
Polda Maluku Utara melaksanakan Operasi Patuh Kie Raha 2025 di sejumlah titik di Kota Ternate.…