Perspektif

Epistemologi Buruh

Oleh: Herman Oesman*

 

“Kerja adalah aktualisasi kehidupan
(Karl Marx, 1844/1964)

Hari ini, 1 Mei, bukan sekadar tanggal dalam kalender. Ia merupakan gema dari sejarah panjang perlawanan manusia terhadap ketidakadilan. Suara buruh yang bergema dari lorong-lorong pabrik berdebu hingga ke jalan-jalan raya kota besar dan kota kecil. Hari Buruh—May Day—merupakan hari tatkala keringat, darah, dan air mata para pekerja dijadikan narasi perjuangan menuju dunia yang lebih adil.

Sejarah Hari Buruh yang hari ini dirayakan, bermula dan diawali dari peristiwa besar di Amerika Serikat akhir Abad XIX, di mana tuntutan utama para buruh saat itu, amat sederhana namun revolusioner : “kerja delapan jam sehari.” Dan pada 1 Mei 1886, ratusan ribu buruh di Chicago merangsek, melakukan mogok massal, menggemakan seruan: “Delapan jam kerja, delapan jam istirahat, delapan jam untuk apa yang kita kehendaki” (lihat, Foner, 1986 : 63). Namun, demonstrasi damai ini berujung tragis di Haymarket Square pada 4 Mei 1886, tatkala sebuah ledakan bom menyebabkan kekacauan dan kematian, menodai gerakan buruh dengan darah dan luka.

Pantik dari peristiwa Haymarket kemudian melahirkan gelombang dan menjadi simbol dunia, perlawanan kelas pekerja. Perlawanan kaum buruh. Buruh merupakan sosok yang melahirkan dunia modern, tetapi sekaligus sosok yang acapkali diasingkan dari dunia yang ia bangun. Buruh tidak sekadar bekerja—ia berpikir, merasakan, memahami. Maka lahirlah satu bentuk pengetahuan yang khas : epistemologi buruh.

Dalam setiap tarikan napas beratnya, buruh menyusun satu bentuk kognisi yang berbeda dari akademisi atau penguasa. Epistemologi buruh merupakan pengetahuan yang lahir dari kerja, dari pengalaman tubuh yang bergulat dengan alat, dengan alam, dan dengan tatanan sosial yang menindas. Tentang hal ini, Karl Marx (1844/1964) menyatakan : kerja adalah “aktualisasi kehidupan”. Tetapi dalam kapitalisme, kerja menjadi sesuatu yang terasing.

Buruh kemudian menghasilkan dunia yang semakin jauh dari dirinya. Dalam proses ini, pengalaman buruh menjadi sumber pengetahuan yang khas: tentang rasa keterasingan, tentang waktu yang dicuri, tentang nilai yang diambil dari keringatnya. Buruh, memiliki kapasitas untuk memahami dunia melalui, meminjam ungkapan Paulo Freire, “kesadaran kritis”.

Kesadaran ini bukan datang dari kehidupan yang nyaman, melainkan dari pengalaman hidup yang nyata: berjuang melawan upah murah, jam kerja yang panjang, dan rasa tidak aman yang terus-menerus menggedor pikiran dan jiwa.

Buruh kemudian belajar dari tubuh mereka sendiri. Setiap luka di tangan merupakan pelajaran tentang kerasnya dunia. Setiap lembur tanpa upah yang layak adalah teks terbuka tentang ketidakadilan struktural. Mereka, dengan kata lain, buruh adalah subjek epistemic : pencipta sekaligus penjaga pengetahuan yang terlahir dari praksis hidup.

Buruh tahu di mana letak ruang-ruang resistensi; mereka tahu bagaimana logistik kerja berjalan; dan mereka tahu bagaimana sistem bisa dilumpuhkan—pengetahuan yang acapkali tak tercatat dalam buku, tetapi melekat dalam tubuh dan jaringan solidaritas mereka.

Namun, dalam dunia modern, dan dalam pandangan pragmatis, pengetahuan buruh kerap dianggap “rendahan” atau bahkan “tidak ilmiah”. Dengan kata lain, dunia pengetahuan telah dikolonisasi oleh apa yang ia sebut “epistemicide”—pemusnahan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif, termasuk pengetahuan buruh (lihat, Santos, 2014).

Dalam konteks inilah, epistemologi buruh menjadi perlawanan. Ia menantang monopoli pengetahuan yang diklaim oleh segelintir elit. Ia mengatakan: kami tahu dunia ini, karena kami yang membangunnya. Dengan demikian, berbicara tentang epistemologi buruh bukan sekadar soal mengenali hak-hak mereka atas upah yang layak atau kondisi kerja yang manusiawi. Ini merupakan pengakuan atas hak mereka untuk didefinisikan sebagai produsen pengetahuan sejati. Dalam peluh mereka, dunia berpijak. Dalam pengalaman mereka, dunia bisa dipahami ulang.

Di pabrik-pabrik yang bising, di pelabuhan-pelabuhan yang panas, di ladang-ladang luas yang berdebu, di dunia pendidikan, para buruh, setiap hari, membangun satu filsafat diam-diam: filsafat tentang dunia, tentang ketidakadilan, dan tentang harapan. Mengenali epistemologi buruh merupakan penegasan bahwa dunia ini bukan hanya dibangun oleh tangan buruh, tetapi juga oleh pikiran mereka. Dunia yang adil hanya bisa lahir dari pengakuan penuh atas hak buruh untuk tidak sekadar bekerja, tetapi juga untuk berpikir, berbicara, dan bermimpi.

Karena itu, Hari Buruh bukan sekadar seremoni tahunan. Ia merupakan pengingat abadi bahwa kerja adalah dasar dari peradaban, dan karenanya, pekerja layak mendapat keadilan. Di tengah gemuruh dunia digital, di mana pekerjaan menjadi semakin fleksibel tapi rapuh, suara-suara buruh harus lebih keras didengar.

1 Mei merupakan narasi kolektif manusia yang menolak dilupakan. Ia hidup dalam spanduk-spanduk usang, dalam orasi-orasi berani, dalam langkah kaki di aspal jalanan, bahkan dalam klik-klik pekerja lepas di sudut sunyi dunia maya. Selama ketidakadilan masih bernafas, Hari Buruh akan tetap menjadi hari perjuangan. Selamat Hari Buruh. []

——

*Penulis merupakan Dosen Sosiologi FISIP UMMU

cermat

Share
Published by
cermat

Recent Posts

Ini Pesan Piet-Kasman untuk 97 CJH Halmahera Utara

Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…

2 jam ago

Duo Sayuri Lapor Sejumlah Pemilik Akun Penebar Rasisme ke Polda Malut

Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…

2 jam ago

Menteri ATR/BPN Lantik 31 Pejabat Struktural, Tegaskan Pentingnya Rotasi Berkala

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…

10 jam ago

Polres Halmahera Utara Kembali Bongkar Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Kecamatan Malifut

Polsek Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, kembali mengungkap praktik pengolahan emas ilegal yang berlokasi…

11 jam ago

Aliong Mus Minta Masyarakat Hargai Putusan MK Soal Hasil PSU Taliabu

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pulau Taliabu, Maluku Utara resmi berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK)…

21 jam ago

Sejumlah Lurah di Ternate Belum Serahkan Data Penerima Subsidi BBM

Sejumlah lurah di Ternate, Maluku Utara, hingga saat ini belum menyerahkan data penerima subidi BBM…

22 jam ago