Graal Taliawo anggota DPD-RI dari Maluku Utara saat Rapat Dengar Pendapat dengan Kemenhut dan KLH di Gedung DPD-RI pada Rabu 14 Mei 2025. Foto: Istimewa
Graal Taliawo anggota DPD-RI dari Maluku Utara mengungkapkan kondisi warga beberapa daerah di pulau Halmahera kesulitan mengakses ruang hidup akibat dampak dari industri petambangan. Sebab itu, ia mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) segera melakukan mitigasi kerusakan lingkungan.
Hal itu mengemuka saat Komite II DPD-RI melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Kemenhut dan KLH di Gedung DPD-RI pada Rabu 14 Mei 2025.
Rapat itu dihadiri organisasi non-pemerintah yakni WALHI dan ICEL yang membahas sejumlah isu strategis mengenai pengelolaan hutan, perlindungan lingkungan, dan kebijakan terkait perubahan iklim di Indonesia.
Pada rapat itu, Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si mengajukan sejumlah pertanyaan dan penyataan penting terkait masalah-masalah yang dihadapi Maluku Utara dalam bidang kehutanan dan lingkungan hidup.
Dr. Graal pun menyoroti perkembangan kehidupan masyarakat dengan area kawasan hutan. “Penetapan kawasan hutan di Maluku Utara ini tahun 2013 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 302/Menhut-II/2013. Selama 12 tahun berjalan, kehidupan masyarakat sudah berkembang. Populasi bertambah mengikuti kebutuhan pemukiman, perkebunan, dan lainnya yang juga meningkat,” kata Graal, dalam keterangan tertulis kepada cermat, Selasa 20 Mei 2025.
“Ketika saya turun lapangan waktu lalu, warga sampaikan bahwa mereka tidak leluasa memanfaatkan area hutan karena kerap didatangi penegak hukum. Misalnya di Desa Pintatu (Halmahera Timur), Desa Bukit Durian, Desa Gosale (Tidore Kepulauan), dan desa lainnya Atas dasar itu, kami meminta ada revisi atau penyesuaian regulasi dengan kondisi di lapangan sekarang ini, dengan tentu tidak mengurangi kelestarian kawasan hutan primer,” tambah doktor ilmu politik ini.
Minimnya pengawasan aktivitas pertambangan
Laki-laki kelahiran Wayaua, Bacan ini mencermati aktivitas pertambangan di Maluku Utara telah menimbulkan krisis ekologi berupa pencemaran air, udara, dan tanah, khususnya di area lingkar tambang (Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan), serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Pemerintah Pusat mendapat kritik keras dari warga terkait isu lingkungan ini. Ikan di Teluk Obi, Teluk Weda, dan Teluk Buli sudah tidak bisa dimakan karena tercemar logam berat,” ungkapnya.
Menurut Dr. Graal, hal ini muncul karena, salah satunya, fungsi pengawasan dari Pemerintah Pusat atas aktivitas pertambangan belum berjalan optimal.
“Pemerintah Pusat dinilai belum cukup melakukan mitigasi terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Inspektur Tambang (di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) belum bekerja optimal, pun polisi hutan (di bawah Kementerian Kehutanan) yang tidak sebanding dengan luasan hutan yang mesti diawasi. Ketidakseimbangan antara luas wilayah yang harus diawasi dan jumlah personel yang ada membuat pengawasan menjadi tidak efektif dan memperparah kondisi hutan yang sudah kritis. Kami tidak antiinvestasi, tapi dampak lingkungan harus dimitigasi,” jelasnya.
Mangrove menurun, penyerapan karbon menurun
Lebih lanjut Dr. Graal yang dikenal juga sebagai pegiat Politik Gagasan ini menyampaikan bahwa daerah kepulauan dan daerah pesisir rentan terhadap ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.
“Hari ini sejak 10 tahun lalu ekspansi tambang luar biasa. Kalau berbicara dampak langsung dari pamanasan global dan perubahan iklim, Maluku Utara sebagai daerah kepulauan dan daerah pesisir begitu terdampak. Rentan abrasi, penyerapan karbon menurun yang berujung pada rentan ketahanan pangan, serta populasi satwa endemik burung mamoa yang terancam. Kami meminta bahwa perlu ada penggalakkan reboisasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove di pesisir Maluku Utara.”
Respons positif Kemenhut dan KLH
Direktur Jenderal Planologi Kemehut merespons pernyataan dan pertanyaan Dr. Graal. “Luasan hutan tidak bertambah justru menyusut, sedangkan desakan ekonomi masyarakat tidak dipungkiri bertambah. Terkait hal itu, ada dua mekanisme dari Kemenhut mengenai persetujuan penggunaan Kawasan hutan di luar fungsi kehutanan (Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021). Pertama, penggunaan kawasan hutan dengan tidak mengubah fungsi. Kedua, perubahan peruntukkan kawasan hutan. Pemerintah Daerah bisa mengajukan ke kami (Kementerian Kehutanan) terkait hal tersebut,” jelas Ade Tri Ajikusumah, S.E., M.Sc.
KLH melalui Dr. Drs. Ignatius Wahyu Marjaka, M.Eng. (Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon) juga menanggapi keresahan Dr. Graal. Ia menyampaikan bahwa penegakan hukum terkait lingkungan hidup di Maluku Utara berhadapan dengan pertambangan diakui sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Atas itu, KLH membutuhkan dan menekankan pentingnya kolaborasi intensif di tingkat lokal serta pembaruan data dan penegakan hukum yang lebih konsisten dalam menangani konflik tersebut.
Skuad Laskar Kie Raha mengakhiri laga dengan skor 0-0 setelah memberikan perlawanan sengit di hadapan…
Bupati dan Wakil Bupati Pulau Taliabu terpilih Sashabila Widya L Mus dan La Ode Yasir…
Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, mengklaim terus mendorong pemerataan akses telekomunikasi di seluruh wilayah…
Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara resmi menetapkan Desa Wewemo sebagai wakil kabupaten dalam Lomba…
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Unipas Bergerak Pulau Morotai menggelar aksi solidaritas sebagai dukungan…
Satuan Reserse Narkoba (Satnarkoba) Polres Halmahera Utara berhasil mengungkap kasus peredaran narkotika golongan I jenis…