News

HIMPSI Imbau Maluku Utara Seriusi Kasus Bunuh Diri

Kasus bunuh diri di Maluku Utara, dari tahun ke tahun terus meningkat. Penyebabnya, menurut Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Maluku Utara, tidak sekadar tiba-tiba namun ada proses. Selain itu, dari hasil penelitian, pemicu bunuh diri terjadi karena narasi di media sosial maupun pemberitaan dari media, yang menulis secara terbuka tanpa mempertimbangkan panduan menulis kasus tersebut yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

“Hasil penelitian Hawton dan Heringen pada tahun 2006 membuktikan bahwa ketika ada berita tentang bunuh diri yang mendapat ekspos secara mencolok di media massa, media sosial,  maka esoknya akan ada orang yang melakukan perilaku bunuh diri,” kata Syaiful Bahry, Ketua HIMPSI Maluku Utara, kepada cermat, awal Januari 2025.

Syaiful bilang, bunuh diri pada dasarnya adalah sebuah proses, tidak ada tindakan tiba-tiba yang mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri, kecuali yang bersangkutan memiliki gangguan kepribadian.  Apa yang tampak ‘menjadi sebab’ seringkali hanya merupakan trigger atau pemicu.

“Mungkin kita pernah membaca atau mendengar dari media bahwa seorang mahasiswa bunuh diri karena orangtuanya  tidak mampu membayar biaya kuliah, seorang oknum aparat menembakkan pistol ke dirinya ketika mendapati istrinya selingkuh. Seorang perempuan yang terjun dari lantai lima mall setelah diputuskan pacarnya dan berbagai informasi kasus bunuh diri lainnya. Namun, dari hasil telaah lebih lanjut, ternyata apa yang diberitakan bukanlah sebab tunggal yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku bunuh diri,” ujar Syaiful.

Menurutnya, bunuh diri bisa “menular” karena bunuh diri dapat di pelajari. Menurut Psikolog, Ramainya pemberitaan tentang bunuh diri di media massa pada kurun waktu tahun 2010, membuat semakin banyak orang yang kemudian juga melakukan bunuh diri.

Upaya Kesehatan Mental

Sebagai organisasi profesi, HIMPSI Malut selalu berperan untuk memberikan informasi penting tentang kesehatan mental, HIMPSI Malut sering sekali membuat kegiatan  psikoedukasi kesehatan mental. Sebab itu, Himpsi Malut mengajak Pemerintah agar ada program khusus dalam penanganan kasus bunuh diri di Maluku Utara. HIMPSI juga meyediakan akses layanan  HIMPSI hotline (119 ext 8) untuk konsultasi masalah kesehatan mental.

Saat ini, kata Syaiful, HIMPSI Malut memiliki SDM Psikolog dan Ilmuwan Psikologi kurang lebih 70an yang aktif keanggotaannya.

“Saya mengimbau agar semua masyarakat mari kita peduli dengan kasus bunuh diri yang telah terjadi di Malut. Pemerintah daerah dapat membuat program peduli kesehatan mental, selanjutnya merekrut tenaga-tenaga psikolog untuk didistribusikan ke puskesmas yang ada di seluruh kabupaten kota, agar dapat melayani dan mengedukasi masyarakat akan pentingnya kesehatan mental,” ujarnya.

Selain itu, Syaiful juga meminta agar media tidak terang-terangan dan hati-hati saat memuat berita terkait kasus tersebut. Dan lebih memberikan edukasi.

“Untuk teman-teman media mohon kiranya jangan terlalu terang-terangan memberitakan kasus bunuh diri. Sudah saatnya para wartawan melakukan edukasi ke masyarakat melalui pemberitaannya. Para jurnalis dapat membantu masyarakat dengan memberikan pemberitaan yang positif dengan cara memberitakan tips-tips mencegah masalah agar tidak mengalami stress maupun depresi,” tutupnya.

Data Kasus Bunuh Diri di Maluku Utara

Data HIMPSI Maluku Utara yang dihimpun dari berbagai media, mengungkapkansejak 2016 hingga tahun 2021, kasus bunuh diri di Malut sebanyak 90 Kasus:

  • Halmahera Utara: Sebanyak 62 kasus (Tahun 2019-2021)
  • Kota Ternate: 9 kasus (Tahun 2020-2021)
  • Halmahera Barat: 7 Kasus (Tahun 2016-2021)
  • Halmahera Selatan: 8 Kasus (Tahun 2018-2021)
  • Halmahera Timur: 3 Kasus (Tahun2019-2021)
  • Kota Tidore Kepulauan: 1 Kasus (Tahun 2021)
  • Morotai: 3 Kasus (Tahun 2020)
  • Kepulauan Sula: 2 Kasus (Tahun 2020)
  • Taliabu: 1 Kasus (Tahu2020).

Dewan Pers sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 pada tahun 2019 tentang  Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri tersebut antara lain:

  1. Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalau pun berita dibuat, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi orang yang bunuh diri yang sekaligus adalah korban, bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.
  2. Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.
  3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.
  4. Wartawan menghindari pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.
  5. Wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri sesorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
  6. Wartawan menghindari penyebutan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.
  7. Dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, wartawan harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.
  8. Dalam mempublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar, foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) dimana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis, atau tokoh idola.
  9. Wartawan menghindari ekspos gambar, foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.
  10. Wartawan pers penyiaran menghindari siaran langsung terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.
  11. Wartawan menghindari penyiaran secara detil modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detil informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.
  12. Wartawan menghindari pengambilan bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, suara maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.
  13. Wartawan menghindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
  14. Wartawan menghindari pemberitaan yang menggambarkan perilaku bunuh diri sebagai respons “alami” atau “yang dapat dipahami” terhadap masalah, misalnya, kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan. Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, kekayaan.
  15. Pers menghindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.
  16. Wartawan menggunakan secara hati-hati diksi serta istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik, harus diperlakukan hati-hati, dengan sumber yang jelas.
  17. Pers menghindari pemuatan atau penayangan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal.
  18. Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita lebih detil dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
  19. Dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti referensi kepada kelompok, alamat, dan nomer kontak lembaga dimana orang-orang yang mengalami keputusasaan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan. Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.
  20. Pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib, takhyul atau mistis.

Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri ini diselesaikan oleh Dewan Pers.

Sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

cermat

Recent Posts

Beredar Surat Penipuan Berkedok Penawaran Kerja Sama, Catut Nama PT NHM

PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) mengeluarkan pernyataan tegas terkait dugaan penipuan yang mencatut nama perusahaan…

5 menit ago

Tanam Pohon di Area Kerja, PT SGM Yakin Wujudkan Lingkungan Hijau

PT Sumber Graha Maluku (SGM) menyatakan komitmennya dalam mewujudkan penghijauan lingkungan melalui program penanaman pohon…

33 menit ago

PSM Vs Malut United: Imran Minta Anak Asuhnya Tak Jemawa soal Klasemen

Malut United FC bakal melawat ke kandang PSM Makassar di Stadion Gelora BJ Habibie, Kota…

1 jam ago

Ekspedisi Senggamau Kayoa 2025 Usung Pengenalan Hewan Purba

Menjelajahi dan mengenal hewan purba menjadi event menarik dalam Ekspedisi Senggamau Kayoa 2025 yang ditukangi…

2 jam ago

Kesiapan Festival Budaya Morotai Dinilai Gagal

Gelaran festival budaya oleh Dinas Pariwisata (Dispar) Pulau Morotai, Maluku Utara, pada Juli 2025 mendatang…

3 jam ago

Berstatus DPO, Gugatan 5 Tersangka Mantan Karyawan PT ARA di PN Ternate Ditolak

Pengadilan Negeri (PN) Ternate menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh lima tersangka dugaan penggelapan dana…

6 jam ago