Perspektif

Meneguhkan Peran Cendikiawan di Era Disrupsi

Oleh: Wajo, AR.*

 

“Cendikiawan itu tidak netral atau bebas nilai, sebaliknya mereka harus berpihak, berpihak pada kelompok lemah yang tidak terwakili.” (Edward Said)

Apresiasi dan Terimakasih

Akhir pekan, Sabtu 25 Oktober 2025, bertempat di Kafe Syamatira Ternate, Saya dilibatkan sebagai salah satu pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pemuda Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Maluku Utara, bertajuk “Peran Cendikiawan Muslim dalam Dakwah dan Transformasi Sosial di Era Digital”.

Meskipun kehadiran saya sebagai pembicara inferior yang dadakan dan penuh keterbatasan, namun diskusi ini merupakan ruang penting bagi para intelektual muda untuk mengkaji peran cendekiawan dalam menjawab tantangan zaman.

Buku antologi yang diterbitkan oleh KMB Sastrabook Indonesia ini menghimpun gagasan sembilan cendekiawan muslim—sebut di antaranya Prof. M. Djidin, Herman Oersman, dan Adiayana Adam dkk., yang secara tematik mengulas delapan topik utama seputar dakwah dan relevansinya dengan digitalisasi kehidupan masyarakat.

Sebagai karya kolektif, buku ini patut diapresiasi karena berupaya menjembatani ruang antara agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi digital, tiga unsur yang saling berkelindan dalam kehidupan umat.

Apresiasi dan terimakasih juga kepada kawan-kawan Pengurus Pemuda ICMI Maluku Utara yang telah menginisiasi diskusi buku ini, sebagai wujud kecendikiawanan Pemuda ICMI dalam membaca realitas kebutuhan akademik para pembelajar di Maluku Utara.

Catatan Bacaan Konten Buku

Membaca konten buku ini secara general, dapat ditemukan beberapa uraian penting (core description), antara lain, Pertama; pada bagian pengantar, Kasman Hi Ahmad, mengurai disrupsi tatanan kehidupan sosial yang terus dinamis, termasuk di dalamnya perkembangan informasi dan tekhnologi berbasis digital, mendorong terciptanya transformasi masyarakat pada berbagai aspek kehidupan.

Meskipun pada bagian lain, kemajuan teknologi yang menawarkan berbagai platform digital seperti Youtube, Instagram, TikTok, juga Kecerdasan Buatan (AI) dan Big Data, menjadi problematik, karena ditemukan sejumlah fenomena sosial yang cenderung mendistorsi nilai etik dan spirit ajaran Islam lainnya dalam kehidupan ummat. Akan tetapi dalam konteks dakwah, perkembangan tekhnologi digital adalah realitas hidup yang tidak dapat dihindari, justru sebaliknya umat Islam dituntut untuk terus beradaptasi dan bertumbuh melalui inovasi dan kreativitasnya, hingga puncaknya menjadi khairu ummah.

Mempertimbangkan alas pikir tersebutlah, para penulis menawarkan gagasan-gagasan ideal yang perlu dilakukan oleh setiap cendikiawan muslim dalam mengimplementasikan perannya sebagai penerus risalah kenabian melalui adaptasi pemanfaatan teknologi digital.

Pertama, mengapa harus cendikia? Sebab cendikia secara akademik merupakan kelompok cerdik pandai yang memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni, dan pada bagian lainnya mengemban amanah sosial bagi tumbuh kembangnya tatanan kehidupan umat. Antonio Gramsci menyebut dengan bijak bahwa “semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektualnya”.

Fungsi intelektual dimaksud oleh Garamsci sebagai dikutip oleh Herman Oesman dalam buku ini adalah “traditional intellectuals (cendikiawan tradisional)” yang cenderung mempertahankan status quo dalam struktur sosial dan “organic intelellectuals (cendikiawan organik)” yang berperan mempertahankan atau menentang hegemoni kelas dominan.

Dalam hal dakwah, peran cendikiawan organik menjadi penting dalam menjalankan dual fungsionalnya, yakni melahirkan gagasan konstruktif bagi kebutuhan pengetahuan agama (dakwah bil lisan) sekaligus berpartisipasi aktif dalam advokasi sosial, penafsir realitas, termasuk menjadi tauladan (ushwah) di tengah-tengah distorsi moral umat. Sehingga tidak berlebihan penegasan Edward Said, “cendikiawan tidaklah berada di menara gading, sebaliknya mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan”.

Kedua, oleh karena teknologi digital menyisakan sederet tantangan etika yang serius, maka peran cendikia dalam meningkatkan kualitas dan efektivitas dakwah di era modern menjadi urgen. Prof Djidin, dalam hal ini berpendapat, para cendikiawan dapat berperan sebagai pembaharu dan penggerak perubahan dalam konteks dakwah, dengan memadukan pengetahuan akademik dan pemahaman agama yang mendalam.

Demikian pula Darma dan Sholihin, menginginkan pertingnya para cendikiawan menjadikan dakwah Rasulullah SAW sebagai ushwah (tauladan), berperan meneguhkan ketauhidan, mendidik dan mencerahkan ummat, menjadi katalisator perubahan budaya, serta menjadi tauladan dan moral bagi dirinya.

Ketiga, dalam hal transformasi sosial melalui layanan digitalisasi yang demikian massif, Muhammad Rachmat menawarkan pentingnya peran cendikiawan dalam beradaptasi tanpa harus kehilangan arah tujuan, melalui 3 hal yakni: kemampuan berpikir kritis terkait informasi yang diterima; kemampuan beradaptasi menggunakan informasi yang berguna; dan kemampuan menggunakan informasi yang berguna tersebut untuk mencapai tujuan. Sejalan dengan Rachmat, Ilham Jufri juga berkesimpulan bahwa pada era society 5.0, para cendikiawan muda memiliki peran penting, sebagai agen perubahan dalam transformasi sosial, pengembangan tekhnologi berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat.

Keempat, bonus demografi dan peran kecendikiawanan perempuan termasuk bagian tidak terpisah dari Adiyana Adam dan Askal Samiuddin dalam buku ini . Oleh karena itu, para cendikiawan muda perlu meningkatkan kapasitas sumber daya insani, mengembangkan pemikiran kritis dan inovatif.

Kelima, di akhir bahasan buku ini Zainal Abidin Marasabessy menegaskan kembali peran dan tanggung jawab sosial seorang cendikia, bukan hanya memberikan berkontribusi pada imu pengetahuan, tetapi juga berperan aktif dalam menciptakan perubahan positif bagi kelangsungan hidup masyarakat.

Catatan Reflektif dan Tawaran Pemikiran

Sebagai pembicara, izinkan saya menambahkan beberapa catatan reflektif untuk memperkaya isi buku ini.
Pertama, peran cendikiawan untuk meneguhkan esensi ajaran Islam sebagai agama rahmah bagi segenap umat manusia perlu dilakukan secara masif melalui gerakan dakwah.

Sebab agama dalam sebuah komunitas sosial memiliki peran signifikan bagi pembentukan perabaan hidup masyarakat. Durkheim menyebutkan, hampir semua agama menampilkan eksesitensi dan ajarannya dalam dua kedudukan utama, yaitu kesucian (sacred) dan keduniaan (profane). Oleh karena itu, kehadiran agama bagi suatu masyarakat tidak sekadar mendoktrin pemeluknya tentang jalinan spiritualitas, lebih dari itu agama mewujudkan pengaruhnya pada pembentukan struktur sosial, budaya, moralitas dan identitas masyarakat.

Kedua, peran dakwah para cendikia sudah saatnya diarahkan pada konteks yang lebih mikro. Dakwah Islam tidak sekadar pada raihan posisi takwa dan spiritualitas, namun lebih jauh sudah harus merambah pada ranah pembangunan peradaban hidup manusia di segala bidang.

Mengutip ungkapan Buya Syafi’I Maarif, ummat Islam saat ini perlu dibangun kesadarannya untuk beriman secara sadar. Bukan iman ritualistik yang tidak punya dampak sosial. Iman ritualistik menurut Buya, lebih tertarik pada bentuk lahir dan simbol-simbol relegius, tetapi hampir tidak peduli kepada substansi ajaran yang menyangkut transformasi sosial.

Pernyatan ini masuk akal, sebab agama belum berkontribusi utuh dalam interaksi kehidupan sosial budaya, politik, ekonomi, hukum dan lainnya. Sebagai misal, umat Islam memahami bahwa korupsi dan kriminalitas merupakan tindakan yang bertentangan dengan spirit ajaran agama (Q.S. al-Baqarah:188) dan (QS. Asy-Syura:40). Akan tetapi perbuatan ini tetap dilakukan sebagian umat tanpa beban agama yang dianutnya. Umat Islam menyadari bahwa menciptakan kondisi ekologi yang bersih dan ramah adalah kebajikan mulia yang dianjurkan dalam ajaran Islam (Q.S. Ar-Rum:41).

Namun demikian, perilaku hidup sehat tersebut belum menjadi totalitas kesadaran dalan berkehidupan. Sehingga tindakan merusak lingkungan atas nama eksploitasi sumber daya alam, juga membuang sampah bukan pada tempatnya dianggap biasa tanpa adanya beban larangan dalam agama.

Ketiga, Maluku Utara dalam perkembangan terkini kekurangan uswah dari para pendakwah. Dakwah Islam di Maluku lebih bersifat bil lisan, melalui kata-kata di mimbar khutbah, podium majelis dan syafari antar masjid yang berwujud pada anjuran beriman vertikal semata. Sebaliknya hanya sedikit diantaranya yang konsern pada dakwah bil hal dalam bentuk perilaku dan tindakan nyata yang horizontal dan bersinergi dengan realitas sosial. Sementara antara iman dan amal sholeh ditempatkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia dan menjadi frasa yang diulang-ulang (kurang lebih 60 kali) pada beberapa surah dalm al-Qur’an.

Keempat, pada dalam era disrupsi sosial yang serba cepat ini, dakwah dalam bil hal jauh lebih efektif untuk dilakukan para cendikiawan. Di era ini, masyarakat tidak lagi menaruh kepercayaan pada kata-kata yang indah, melainkan pada tindakan nyata yang menghadirkan bukti dan keberpihakan. Di tengah banjir informasi melalui platform digital kredibilitas seseorang mudah diketahui dan diukur, bukan semata dari retorika, tetapi dari konsistensi dan kebermaknaan tindakannya. Sosiolog Anthony Giddens melalui teori reflexive modernity, menjelaskan bahwa masyarakat kini menuntut praktik sosial yang bisa diverifikasi secara nyata, bukan hanya anjuran dan kata-kata normatif.

Kelima, sebagai provinsi kepulauan, masyarakat muslim banyak mendiami kawasan pulau-pulau yang jauh dari aksesibilitas informasi. Oleh karenanya, peran cendikiawan dalam menjangkau dakwah Islam pada masyarakat pulau baik secara langsung maupun melalui platform digital menjadi sebuah keharusan. Digitalisasi layanan dakwah pada masyarakat kepulauan adalah solusi dari maraknya gerakan dakwah yang cenderung berkembang pada wilayah perkotaan.

Ending

Catatan ini saya ajukan bukan untuk menilai, tetapi untuk memperkaya. Buku ini adalah langkah awal penting dalam membangun wacana kecendekiawanan muslim di era digital, di mana iman, ilmu, dan amal harus terintegrasi. Dalam dunia yang sarat disrupsi, dakwah sejati bukan lagi soal seberapa fasih seseorang berbicara, tetapi seberapa nyata ia meneladankan kebenaran. Semoga gagasan-gagasan sederhana ini menjadi kontribusi kecil bagi khazanah intelektual umat dan penguatan peran Pemuda ICMI Maluku Utara dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berkeadaban. Aamiin.

Demikian, pokok pikiran yang bisa dituangkan sebagai bahan telaah dan masukan dari bacan buku ini. Semoga catatan sederhana ini berkontribusi bagi khazanah pengetahuan peserta diskusi.

—-

*Wajo, AR., dosen di IAIN Ternate 

cermat

Recent Posts

Gol Tunggal Penalti Tyronne Del Pino Bawa Malut United Tembus 3 Besar

Malut United FC melanjutkan trend kemenangan usai mengalahkan Semen Padang dengan skor 1-0. Kemenangan ini…

27 menit ago

Gama Color Fun Run 2025 Dimeriahkan Ribuan Warga Maluku Utara

Ribuan peserta dari berbagai daerah di Maluku Utara memeriahkan ajang Gama Color Fun Run 2025…

3 jam ago

Fisipol Unipas Morotai Gelar Yudisium

Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Pasifik (Unipas) Pulau Morotai, Maluku Utara, resmi menggelar…

5 jam ago

BPBD Diminta Awasi Ketat Proyek Talud di Morotai

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Persiapan Pulau Morotai, Maluku Utara, menyoroti proyek talud di Desa…

5 jam ago

Harita Nickel Raih Penghargaan Subroto 2025 untuk Kontribusi di Bidang Pendidikan dan Kesehatan

Jakarta, 25 Oktober 2025 – Harita Nickel, perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi dan berkelanjutan,…

10 jam ago

Cendekiawan Itu Penjaga Akal Budi

Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]* 1 PERTAMA-TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda…

1 hari ago