Foto penulis
Oleh: Herman Oesman*
Sosiologi kepulauan merupakan pendekatan analitis yang berkembang untuk memahami dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di wilayah-wilayah kepulauan.
Dalam konteks negara maritim sebagaimana Indonesia, pendekatan ini menjadi penting dan strategi untuk menggali bagaimana ruang geografis yang terpisah oleh laut membentuk identitas, relasi sosial, dan sistem kekuasaan yang khas.
Sosiologi kepulauan menantang dominasi perspektif kontinental yang acapkali mengabaikan realitas masyarakat pulau yang hidup dalam keterhubungan dan keterisolasian secara bersamaan.
Pulau tidak hanya dilihat sebagai batas geografis, tetapi sebagai ruang sosial yang membentuk cara hidup masyarakatnya. Sosiolog Prancis, Henri Lefebvre (1991) menegaskan, bahwa ruang bukanlah entitas netral, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang memuat relasi kuasa dan simbolisme.
Dalam konteks kepulauan, ruang kepulauan menjadi medan produksi sosial yang kompleks—membentuk pola migrasi, pertukaran budaya, dan ekonomi lokal yang bersandar pada laut dan hubungan antar-pulau.
Seperti dicatat Ilmuwan Sosial Malta dan Kanada, Godfrey Baldacchino, menyatakan, pulau adalah tempat yang paradoksal, terpencil namun terhubung, terbatas namun terbuka. Kepulauan tidak hanya menjadi ruang marginal, tetapi juga pusat dari dinamika global, terutama dalam konteks kolonialisme, perdagangan rempah, hingga ekstraktivisme kontemporer
(Baldacchino, 2004:272-283).
Hal ini tampak jelas dalam sejarah kawasan Maluku dan Halmahera, yang menjadi episentrum perdagangan global sejak abad ke-15 (baca, A.B.Lapian, Orang Laut, Bajaj Laut, Raja Laut, 2009).
Identitas Sosial
Identitas sosial masyarakat kepulauan terbentuk dalam relasi yang cair antara daratan dan lautan. Dalam banyak masyarakat pulau, ikatan komunal lebih mengakar kuat dibanding masyarakat urban-kontinental. Bentuk solidaritas sosial ini tampak dalam praktik gotong royong, adat laut, dan mekanisme lokal dalam menyelesaikan konflik.
Sosiolog Maritim asal Fiji, Epeli Hau‘ofa, dalam artikelnya : “Our Sea of Islands”, menyebut bahwa masyarakat kepulauan adalah “people of the sea” yang tidak hidup dalam isolasi, melainkan dalam jaringan sosial dan kultural yang dinamis di antara pulau-pulau (Hau’ofa, 1994:147). Perspektif ini membantah pandangan konvensional yang melihat masyarakat pulau sebagai “tertinggal” atau “terpencil,” dan sebaliknya mengusulkan pendekatan yang menekankan agensi dan konektivitas mereka (Hau’ofa, 1994:161).
Kondisi geografis yang tersekat laut membuat ekonomi kepulauan memiliki karakteristik tersendiri, yaitu ketergantungan pada sektor primer seperti perikanan, pertanian lokal, dan belakangan ini—tambang. Namun, model pembangunan nasional yang cenderung sentralistik menjadikan masyarakat pulau seringkali tereksklusi dari akses infrastruktur dan distribusi sumber daya.
Hal ini diperkuat oleh temuan Fikret Berkes, Johan Colding, dan Carl Folke, dalam buku mereka : Navigating Social-Ecological System bahwa sistem ekonomi pulau kerap didominasi oleh kepentingan eksternal yang mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan lokal (Berkes, et.al.,2001:17).
Kondisi nyata yang dapat dilihat dan dirasakan adalah di wilayah Halmahera, di mana ekspansi industri nikel yang demikian masif telah mengubah lanskap sosial-ekologis secara drastis. Di mana tak hanya komunitas adat, tetapi sebagian warga telah kehilangan ruang hidup dan mata pencaharian, sementara perubahan nilai-nilai budaya, yang sejalan arus migrasi penduduk dan kapitalisme ekstraktif berlangsung dalam skala yang demikian cepat.
Salah satu tantangan terbesar masyarakat kepulauan adalah akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Keadaan ini menciptakan ketimpangan struktural yang memperparah eksklusi sosial. Harvey W. Armstrong dan Robert Read, mencatat, bahwa kondisi geografis kepulauan menyebabkan biaya pembangunan dan pelayanan publik menjadi lebih mahal dibanding wilayah kontinental (Armstrong dan Read, 2006 : 112).
Namun, dalam keterbatasan tersebut muncul berbagai praktik lokal yang inovatif, seperti sekolah adat, pengobatan tradisional, hingga sistem transportasi laut yang berbasis komunitas. Inisiatif-inisiatif ini mencerminkan kemampuan masyarakat pulau untuk merespons tantangan struktural dengan cara-cara yang adaptif dan berbasis pengetahuan lokal.
Dalam arena politik, masyarakat kepulauan kerap mengalami marginalisasi dalam representasi kebijakan. Pemerintah pusat sering kali membuat keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Dalam konteks ini, sosiologi kepulauan berperan penting untuk mendorong pembentukan ruang partisipatif dan desentralisasi yang lebih adil.
Kini, mulai bermunculan berbagai bentuk kedaulatan komunitas, yang dilakukan melalui gerakan lokal, baik dalam bentuk penolakan tambang, penguatan kelembagaan adat, serta inisiatif konservasi laut. Gerakan ini memperlihatkan bahwa masyarakat pulau bukanlah korban pasif, tetapi subjek politik yang aktif dalam memperjuangkan masa depan wilayahnya.
Sosiologi kepulauan memberikan kerangka teoretis dan empirik untuk memahami realitas masyarakat maritim yang kerap terpinggirkan dalam wacana pembangunan. Ia mengajak kita untuk menggeser pandangan dari daratan ke lautan, dari pusat ke pinggiran, dan dari struktur ke agensi lokal.
Dalam dunia yang terus mengalami krisis ekologis dan ketimpangan global, pendekatan ini menjadi sangat relevan untuk membayangkan masa depan yang lebih adil bagi masyarakat pulau.[]
—–
*Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Skuad Laskar Kie Raha mengakhiri laga dengan skor 0-0 setelah memberikan perlawanan sengit di hadapan…
Bupati dan Wakil Bupati Pulau Taliabu terpilih Sashabila Widya L Mus dan La Ode Yasir…
Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, mengklaim terus mendorong pemerataan akses telekomunikasi di seluruh wilayah…
Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara resmi menetapkan Desa Wewemo sebagai wakil kabupaten dalam Lomba…
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Unipas Bergerak Pulau Morotai menggelar aksi solidaritas sebagai dukungan…
Satuan Reserse Narkoba (Satnarkoba) Polres Halmahera Utara berhasil mengungkap kasus peredaran narkotika golongan I jenis…