Foto penulis
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*
SEJAK manusia mulai berpikir tentang asal-usul dan tujuan hidup, satu pertanyaan terus menghantui: bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Baik dan Maha Adil membiarkan penderitaan, terutama penderitaan yang tak bersalah? Tidak ada gambaran yang lebih mengguncang daripada seorang anak kecil yang menderita penyakit langka, terbaring di rumah sakit, menangis kesakitan tanpa mampu memahami mengapa hidup memberinya nasib demikian.
Jika penderitaan itu dijelaskan sebagai hukuman, jelas tak masuk akal: anak kecil belum berbuat salah. Jika disebut sebagai ujian bagi orang tuanya, pertanyaan moral muncul: apakah adil penderitaan anak dipakai sekadar sebagai “alat” untuk menguji orang dewasa? Maka muncullah jawaban klasik dari teologi: keadilan Tuhan berada di luar jangkauan akal manusia. Tetapi jawaban itu melahirkan dilema baru: kalau akal tidak mampu menjawab, mengapa akal diciptakan?
Dialog antara Skeptis dan Percaya
Skeptis (S): Aku tidak puas dengan jawaban bahwa keadilan Tuhan “rahasia.” Kalau begitu, apa gunanya akal? Bukankah sia-sia kalau kita diberi akal tapi tidak bisa memahami pertanyaan terpenting?
Percaya (P): Akal tidak sia-sia. Ia diciptakan untuk memahami banyak hal, tapi tidak segalanya. Bayangkan mata: ia bisa melihat sejauh cahaya, tapi tidak menembus dinding. Apakah karena mata terbatas lalu ia tak berguna? Tidak. Akal berfungsi dalam ranah tertentu, meski ada batas yang tak bisa dilewatinya.
S: Tetapi bukankah manusia diberi akal justru untuk bertanya? Jika pada akhirnya akal berhenti di jalan buntu, bukankah itu menimbulkan frustasi?
P: Justru disitulah nilai akal. Ia membuat manusia mampu menimbang baik dan buruk, membangun ilmu, dan mengatur hidup. Tetapi keterbatasannya mencegah manusia jatuh pada ilusi: seolah-olah ia bisa menjelaskan segalanya. Ada hal-hal yang memang berada di luar ranah akal, dan kesadaran ini adalah bagian dari kebijaksanaan.
S: Jadi akal hanya alat pragmatis, untuk urusan dunia? Bukan untuk menyingkap rahasia keadilan Tuhan?
P: Akal bisa mengenali tanda-tanda: keteraturan kosmos, hukum moral, jejak kebaikan. Tetapi untuk menembus mengapa penderitaan anak kecil terjadi, akal tidak mampu. Di titik itulah muncul ruang iman. Jika akal bisa menjawab segalanya, iman kehilangan makna.
S: Jadi keterbatasan akal adalah desain, bukan kelemahan?
P: Benar. Keterbatasan itu mengingatkan manusia bahwa ia bukan penguasa semesta. Akal adalah jembatan menuju misteri, bukan kunci yang membuka semua pintu. Pada tepi jurang pertanyaan besar, manusia harus memilih: berhenti dalam skeptisisme, atau melompat dengan iman.
S: lalu Apa maksudnya jika akal bisa menjawab segalanya, iman kehilangan makna?
P: kalau semuanya bisa dijelaskan akal secara pasti. Misalnya ada rumus ilmiah: “Jika A mencintai B, maka tanda-tanda X, Y, Z pasti muncul. Semua bisa diverifikasi: kapan si A jujur? Kapan si A berbohong, kapan dia setia atau tidak. Kalau begitu, maka kita tidak perlu lagi percaya pada pasangan, semua tinggal dihitung dan dibuktikan. Tetapi kenyataan tidak begitu: ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan total seperti apakah A sungguh mencintai B? apakah dia akan setia selamanya? Disitu ada ruang “percaya” (faith). Kita tetap melangkah, meski tidak punya jaminan 100%.
P: contoh itu parallel dengan Iman kepada Tuhan. Kalau akal bisa menjawab segalanya, seperti kenapa anak kecil bisa sakit? Kenapa orang baik bisa menderita? Maka Iman kehilangan maknanya. Tapi akal berhenti pada batas tertentu, manusia teta perlu “percaya”, melangkah dalam ketidakpastian, dan itu yang memberi iman maknanya. Dengan kata lain, Iman adalah keberanian untuk tetap percaya di wilayah yang tidak dapat dipastikan oleh akal. Kalau semua sudah pasti, Iman hanyalah “pengetahuan biasa” tanpa resiko, tanpa kebebasan, tanpa makna.
Refleksi Filsafati
Dialog ini menyentuh inti problem teodisi, yakni upaya menjelaskan keadilan Tuhan di tengah kenyataan penderitaan. Filsuf Kristen, Søren Kierkegaard, menyebut iman sebagai “lompatan.” Ia bukan anti-akal, melainkan melampaui akal setelah akal mencapai batasnya. Immanuel Kant juga menegaskan hal serupa: akal praktis mampu menuntun manusia kepada moralitas dan kesadaran tentang Tuhan, tetapi akal teoretis tidak mampu menyingkap hakikat terdalam realitas.
Dalam tradisi Islam, Al-Ghazali melihat akal sebagai anugerah penting, namun tetap subordinat terhadap wahyu. Ia bisa menalar hukum syariat, menemukan hikmah, bahkan menguatkan keyakinan. Tetapi akal tidak dapat menembus rahasia qadha dan qadar. Ibn Sina menambahkan: akal membawa manusia memahami keteraturan kosmos, tetapi yang mutlak tetap tak terjangkau.
Dari semua ini muncul pola yang sama: akal tidak sia-sia, tapi terbatas. Ia bukan cahaya yang menyingkap seluruh kosmos, melainkan lentera kecil yang cukup menerangi jalan hidup sehari-hari. Jika akal bisa menyingkap semua rahasia, maka Iman berubah menjadi “tahu”.
Penderitaan Anak sebagai Ujian?
Namun kembali ke pertanyaan awal: apakah adil penderitaan anak dipahami sekadar sebagai ujian bagi orang tua? Jika demikian, anak itu direduksi menjadi sarana bagi orang lain seolah-olah eksistensinya tidak bernilai pada dirinya sendiri. Kritik ini penting, karena jika jawaban agama berhenti di sana, maka keadilan Tuhan tampak rapuh dan dangkal.
Alternatif penjelasan yang lebih tajam adalah penderitaan anak bukan semata ujian bagi orang tua, melainkan juga misteri eksistensial anak itu sendiri. Dalam kerangka iman, penderitaannya tidak sia-sia karena akan diganti dengan kebahagiaan abadi. Dalam kerangka sosial, penderitaan itu menggugah empati dan solidaritas, mendorong manusia memperjuangkan ilmu, kasih sayang, dan berupa mewujudkan keadilan di dunia. Jadi penderitaan anak kecil tidak hanya punya dimensi pribadi, tetapi juga dimensi kolektif.
Tetapi bahkan penjelasan ini pun tidak menutup semua celah. Pada akhirnya, tetap ada misteri yang tak terjawab: mengapa anak itu, bukan yang lain? mengapa sekarang, bukan nanti? Di sinilah akal berhenti, dan ruang iman terbuka.
Epilog
Pertanyaan tentang keadilan Tuhan dan penderitaan manusia adalah paradoks yang tak akan pernah selesai dengan logika murni. Akal manusia, betapapun cerdas, tetap terbatas. Namun keterbatasan itu bukanlah kesia-siaan, melainkan bagian dari desain eksistensi: Pertama, akal membuat manusia mampu menata hidup, menimbang moral, dan mencari solusi bagi penderitaan. Kedua, keterbatasan akal mencegah manusia terjebak dalam arogansi seolah bisa menguasai segalanya. Ketiga, ruang yang tak terjangkau akal itulah yang menjadi tempat iman, harapan, dan kerendahan hati.
Maka, akal adalah jembatan, bukan tujuan akhir. Ia membawa manusia sejauh mungkin, hingga ke tepi jurang pertanyaan paling gelap: mengapa ada penderitaan yang tampak tidak adil? Pada titik itu, manusia dihadapkan pada pilihan eksistensial: berhenti dalam skeptisisme, atau melangkah dengan iman.
Pada akhirnya, akal hanyalah lentera kecil di tengah samudra gelap. Ia menuntun manusia menyeberangi sebagian jalan, tetapi tidak pernah sanggup menyingkap seluruh kedalaman. Kita boleh bertanya, meragukan, bahkan menggugat, tetapi selalu ada dinding misteri yang membatasi.
Penderitaan anak kecil tangisnya yang pilu, tubuhnya yang rapuh adalah simbol dari misteri itu. Kita bisa menulis teori filsafat, menafsirkan ayat, atau mengembangkan ilmu medis, namun tidak ada jawaban yang sepenuhnya menenangkan. Dan justru di situlah manusia belajar: bahwa hidup bukan hanya soal memahami, tetapi juga soal menerima dan merawat.
Mungkin keadilan Tuhan bukan untuk dimengerti sepenuhnya, melainkan untuk dihidupi juncto dimaknai. Tidak semua “mengapa” akan terjawab, tetapi dari ketidakpastian itulah tumbuh empati, kasih, dan iman. Akal membawa kita sampai di tepi jurang pertanyaan; sisanya adalah keberanian melangkah dengan hati.
Dengan demikian, keterbatasan akal bukanlah kegagalan, melainkan panggilan agar manusia tetap rendah hati, terus mencari, dan berserah kepada sesuatu yang melampaui dirinya. Di sanalah, mungkin, secercah keadilan Tuhan dapat ditemukan, bukan dalam kepastian jawaban, melainkan dalam keberanian untuk tetap berharap di tengah misteri.
—-
*Penulis: Praktisi hukum dan pengajar di Unkhair Ternate
DPRD Pulau Taliabu, Maluku Utara, resmi memberikan ultimatum terhadap PT. Wijaya Karya (Wika) atas pekerjaan…
Penerapan Mobile Parking System (MPS) yang sebelumnya diuji coba oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Ternate,…
Isu korupsi menjadi sorotan utama dalam Diskusi Publik bertajuk "Membangun Halmahera Barat, Antara Harapan Pembangunan…
Kejaksaan Negeri (Kejari) Halmahera Timur, Maluku Utara, menyebut Aditya Nahafi (27), tersangka kasus pembunuhan terhadap…
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Aneka Tambang (Antam) dan…
Pustaka Insani Institute Kabupaten Halmahera Timur sukses menggelar kegiatan Dialog dan Ngobrol Buku sekaligus mengampanyekan…