Oleh: Hijrasil*
Semenjak didera hantaman Covid-19 tahun 2020, perekonomian secara nasional mengalami depresiasi hingga ke masyarakat akar rumput. Bahkan pertumbuhan ekonomi menurun mecapai hingga mines 2 persen. Sebuah potret ekonomi dimana perekonomian nasional memiliki kelemahan jika dihadapkan dengan situasi faktor nonekonomi, sekaligus menyampaikan begitu rapuhnya ekonomi Indonesia.
Di tingkat daerah, khususnya Maluku utara, pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 secara nasional mencapai 16,19 persen di tahun 2021 kemudian meningkat mencapai 22,94 persen. Pertumbuhan ini tertinggi di antara seluruh provinsi di Indonesia.
Di balik tingginya pertumbuhan ekonomi Maluku Utara, berdasarkan struktur PDRB, kontribusi terbesar di sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan. Pertumbuhan ini diharapkan melegitimasi konsep pembangunan yang hakiki atau berdampak pada masyarakat Maluku Utara.
Di area garis kemiskinan melalui pengeluaran perkapita masyarakat, konsumsi kebutuhan makanan di tahun 2020 sebesar Rp 537.605 dan 2021 Rp 556.000. Artinya telah memenuhi standar garis kemiskinan dari bps sebesar Rp 535.547 per bulan.
Pengeluaran masyarakat bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu di 2018 sebesar Rp 425.281 dan 2019 sebesar Rp 425.281 lebih rendah. Peningkatan tertinggi pengeluaran perkapita masyarakat Maluku Utara di bulan september 2024 sebesar Rp 639.937.
Meningkatnya pengeluaran masyarakat sebagai pengukur garis kemiskinan merupakan kabar baik, tetapi jika disandingkan dengan jumlah penduduk miskin Maluku Utara masih belum terlalu menggembirakan, karena masih terdapat 79,69 ribu penduduk miskin.
Masih tingginya tingkat kemiskinan di Maluku Utara mencerminkan adanya kesenjangan pendapatan di masyarakat. Gini ratio Maluku Utara tahun 2024 di bulan Maret 0,316 dan September 0,296 menunjukan tidak meratanya pendapatan masyarakat hingga masih terdapat ketimpangan pendapatan. Gerak ekonomi Maluku Utara bukan semata tercermin pada aspek makro ekonomi, melainkan trickle down effectnya kepada masyarakat.
Pergerakan kurva makro ekonomi tidak selalu linear dengan kondisi masyarakat akar rumput. Simon Kuznet lewat teorinya tentang pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memandang dalam jangkah panjang peningkatan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di negara-negara industri mengalami peningkatan dan penurunan ketimpangan yang kemudian digambarkan sebagai kurva U terbalik.
Sebaliknya kasus maluku utara, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan jika mengadopsi teori Simon Kuznet masih jauh api dari panggang. Meskipun daya adopsi teori Kuznet diterapkan di daerah perkotaan, seperti kota Ternate, Tidore dan beberapa kabupaten yang memiliki aktivitas industri belum bisa menciptakan distribusi pendapatan merata. Ketimpangan justru masih terjadi, lewat cermin rasio gini dan jumlah penduduk miskin Maluku Utara kita dapat mengukur tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Lantas, seperti apa kita melihat gerak ekonomi Maluku Utara saat ini? Ada sejumlah faktor melingkupi persoalan gerak ekonomi Maluku Utara secara faktual atau berdasarkan realita ekonomi yang berpengaruh langsung di masyarakat.
Pada tulisan ini penulis menghadirkan pemerintah sebagai faktor dan aktor utama dalam menggerakkan pembangunan ekonomi melalui proses ekonomi politik sebagai analisis terhadap gerak ekonomi yang sudah berlangsung lama. Kebijakan pemerintah daerah selama ini yang berlangsung di meja eksekutif lebih mengedepankan realisasi pendapatan daerah dan realiasasi anggaran program, dibandingkan membuat strategi meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengangkat masyarakat dari ketimpangan yang sudah lama berlangsung.
Berdasarkan kacamata kebijakan pembangunan Maluku Utara selama ini, tidak lebih dari pada mengharapkan menghadirkan pembangunan untuk kesejahteraan lewat pendapatan daerah melalui pajak, retribusi, serta badan usaha.
Sejumlah premis tersebut dapat kita cermati bahwa gerak pembangunan ekonomi Maluku Utara masih berkutat kepada usaha pemerintah daerah lebih mengharapkan pembangunan bisa berlangsung bila premis pajak, retribusi, dan pendapatan BUMD mengalami peningkatan.
Pendapat ini tidak sepenuhnya salah karena pemerintah daerah di setiap kabupaten kota sangat bergantung terhadap PAD masing-masing. Bahkan penerimaan PAD di setiap kabupaten/kota begitu berbeda-beda sehingga pembangunan yang terjadi di setiap kabupaten-kota mengalami kesenjangan.
Persoalan kesenjangan pembangunan ikut berdampak pada ekonomi dan tingkat kemiskinan di Maluku Utara, meskipun demikian penerimaan dan penyerapan pemerintah daerah belum bisa membuat kemiskinan menurun secara signifikan. Padahal dari porsi pertumbuhan ekonomi Maluku Utara menurut pengeluaran konsumsi, pemerintah daerah menyumbang 12,50 persen dan lebih tinggi dari kelompok pengeluaran lain.
Secara ekonomi politik, kelembagaan pemerintah daerah perlu mengevaluasi kembali kinerjanya dalam melaksanakan pembangunan sehingga tercapai tujuan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pembangunan yang bertumbuh pada pengejaran pertumbuhan ekonomi adalah gambaran dari ekonomi sektor riil. Kesempatan menurunkan tingkat kemiskinan dan mendorong distribusi pendapatan berada di jantung ekonomi sektor riil. Mengoptimalkan sektor informal sebagai bagian sektor riil adalah alternatif kebijakan ekonomi politik kelembagaan pemerintah daerah.
Melalui pemberdayaan masyarakat di lingkup sektor ekonomi informal dianggap lebih tepat sasaran karena lebih banyak menyerap tenaga kerja, dalam lingkup tahun 2021 usaha mikro dan kecil di seluruh kabupaten/kota sudah menyerap jumlah tenaga kerja sebanyak 26.748 pekerja dan nilai produksi mencapai Rp 1.918.636.287.
Berkaca pada perkembangan ekonomi di sektor informal bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan dapat terjadi dan menciptakan kesejahteraan kepada masyarakat. Sebagai basis ekonomi rakyat, potensi ekonomi di sektor informal begitu besar bila di optimalkan. Potensi ini diikuti oleh tingkat konsumsi rumah tangga yang cenderung meningkat karena optimisme terhadap ekonomi mendatang, mengingat tingkat konsumsi masyarakat mencapai 5,62 persen di pangsa terhadap PDRB tahun 2023 dan peningkatan indeks keyakinan konsumen (BI).
Potensi ekonomi informal sayangnya belum diikuti oleh berbagai akses terutama pada permodalan dan perhatian pemerintah daerah. Melalui data bank Indonesia porsi akses kredit UMKM masih belum sebanding dengan penyaluran modal pada korporasi, dengan perbandingan pangsa kredit UMKM triwulan II 2023 sebesar 23,36 persen sedangkan penyaluran kredit koporasi Triwulan II sebesar 82,25%.
Komposisi antara akses kredit UMKM dan korporasi sangat jomplang perbandingannya. Demikian jomplangnya, bagaimana dengan usaha mikro kecil yang banyak mendominasi ekonomi informal? Berdasarkan klasifikasi UMKM dalam empat sektor, mendapatkan kucuran permodalan dari perbankan yaitu UMKM disektor perdagangan, akomodasi makanan dan minuman, konstruksi, serta pergudangan.
Dari klasifikasi tersebut UMKM yang memiliki akses terhadap modal adalah UMKM yang memiliki aset baik fisik maupun sistem keuangan yang baik sehingga lebih mudah mendapatkan akses ke perbankan. Sedangkan usaha mikro kecil yang tidak memiliki aset dan sistem keuangan yang baik tentu saja menjadi demikian jauh dari akses terhadap berbagai kesempatan untuk berkembang dan menambah jauh jurang distribusi pendapatan masyarakat.
Kehadiran pemerintah daerah baik tingkat provinsi dan kabupaten kota dalam menjembatani sektor informal atau usaha mikro kecil dapat menjadi katalisator bergeraknya lembaga ekonomi politik daerah dalam memecahkan persoalan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Sehingga gerak ekonomi Maluku Utara tidak semata pertumbuhan ekonominya sebagai indikator kemajuan ekonomi. Tetapi ikut berdampak pada penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan distribusi pendapatan yang merata.
—-
*Penulis merupakan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate