*oleh Zainuddin M. Arie
“Mestinya seni dapat didayagunakan dalam dunia edukasi, bukan sekadar tontonan dan hiburan sesaat”
NADA panggilan telepon genggam berbunyi beberapa kali. Baru Sekitar pukul 9.00, “Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh”, sangat fasih ucapan salam dari ujung sana, nadanya berat dan suaranya tenang. Inilah salam pertama yang saya terima pada Kamis, 18 Juli itu. Terdengar sangat akrab pada salam, nada dan pemilik suara itu. Ustad Ota, begitu dia disapa oleh orang-orang sekitar.
Berbincang ringan sebentar, lalu saya diminta –lebih tepat diajak- berkunjung ke tempatnya mengajar anak-anak mengaji, di Pangaji Al-Ashfiya’, Sangaji, Ternate Utara. Saya pun menyanggupinya, akan datang pada jumat malam, ba’da maghrib. Kami janjian, saya menunggu dan akan dijemput dan boncengan sepeda motor kesana.
—
Jumat malam, lewat sepuluh menit setelah salat maghrib, dengan riang saya memasuki ruang sempit tempat anak-anak belajar membaca al-Qur’an. Ruang sempit ini, dulunya ruang tamu yang disulap jadi ruang belajar, white board di dinding utara, chart huruf hijaiyah di dinding timur depan. Lebih tiga puluhan santri memenuhi ruang belajar kecil itu. Binar mata pada santri menatap saya. Mereka seperti berharap sesuatu.
Saya meminta Aisyah, seorang ustadzah, menuliskan dua kuplet dari puisi Risalah Zaman Berzaman yang saya tulis pada tahun 1996 sepulang dari ibu kota.
bumi cengkeh, bumi pala
Warisan moyang, amanah Ilahi, Keringat, darah dan air mata
bumi cengkeh bumi pala
sumpah dan cinta kami, titisan tirta hayat Sang Kuasa
Saat kuplet puisi dituliskan, langsung terdengar suara anak-anak membacakannya. Terdengar berisik, tetapi dengan suara gembira, berulang-ulang mereka bacakan, hingga ustadzah selesai menuliskannya di whiteboard yang terpasang di dinding. Saya berdiri di depan anak-anak yang memandang antusias. Saya membacakannya sejenak. Lalu mengajak mereka membacakannya bersam-sama saya. Maka ruang sempit yang sehari-hari tersisi lantunan ayat-ayat Allah itu pun penuh suara anak-anak membacakan dua kuplet puisi secara bersambung dan bergantian. Sejenak, pangaji itu seolah menjelma sanggar seni teater. Saya agak canggung karena suara santri memenuhi ruang saat membacakan puisi di pangaji yang sempit ini.
Pembacaan puisi berlanjut dengan memeragakannya yang saya contohkan langsung, berada di tengah mereka membaur tidak sebagai pelatih tetapi sebagai teman dalam memeragakannya secara teatrikal. Beberapa perbaikan harus saya lakukan, seperti arah tangan, pandangan, posisi kaki, gestur, maupun suara. Sementara itu ustad mengamati secara cermat di bagian barat ruang. Tak ada kata-kata darinya kecuali hanya memandang para santrinya berekspresi sesuai tafsiran dan tampilan mereka.
Bagi ustad Muchtar M. Saleh, pembina pangaji ini, kegiatan seni masuk pangaji ini memang dambaan dan rencananya sejak pulang ke Ternate, lebih sepuluh tahun silam. Dia pernah menyampaikan keinginan membuka pangaji (lembaga pendidikan agama Islam, di masa lampau sebelum adanya TPA/TPQ), agar dapat mengajar mengaji (belajar membaca Al-Qur’an) tetapi dengan variasi pelajaran seni dalam aktifitas lembaganya. Suatu terobosan yang hendak dilakukannya bukan sekedar saat ada perlombaan.
Sejak kemunculannya pangaji Al-Ashfiya di Kota Ternate, tak hanya mengajar baca Quran, tetapi telah menyelenggarakan beberapa kegiatan pada saat memeringati hari besar Islam. Mereka memanfaatkan teras masjid al-Awwabin Siko sebagai ajang lomba dan kegiatan-kegiatannya. Kegiatan pun terlaksana dengan dukungan orang tua santri dari lebih seratus santrinya.
Keinginan ustad yang dulunya adalah seorang Qari cukup terkenal ini bertemulah dengan program Teater Masuk Pangaji oleh Teater Anak Bangsa, seolah gayung bersambut. Maka, saya pun bersicepat menangkap maksud baik sang ustad yang sederhana dan mudah ditemui ini. Maka teater pun bersuara di ruang sempit sebuah pangaji aktif di Kota Ternate.
Program ini dilaksanakan sebagai upaya dunia seni, khususnya Teater Anak Bangsa dalam keikut-sertaanya menguatkan Pangaji dalam verifikasi aktifitas santri melalui dunia berkesenian. Berkesenian yang mungkin dianggap tabu ternyata dapa didayagunakan dalam memotivasi santri agar tetap bergairah datang ke pangaji dan betah menjadikan pangaji tempat mereka bekajar baca Al-qur’an dan berkreasi dalam kebudayaan yang tertuntun dan berlandaskan nilai keagamaan sebagaimana diajarkan ustad tentunya.
Memang, ustad yang memberi peluang bagi teater masuk ke dalam aktivitas pengajian tentu punya pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pandangan Islam maupun pandangan social serta dengan memanfaatkan keberadaan teater sebagai salah satu strategi pengembangan pangaji sebagai lembaga dan media edukasi al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui, Islam adalah agama rahmat. Karena itu, Islam hadir dalam eksistensi membimbing ummatnya dalam berkebudayaan yang sesuai rahmatan lil ‘alamin itu, bukan fasad (kesurasakan) fil alamin. Dengan demikian hal baik inilah yang akan berkembang sesuai ketinggian derajat umat manusia dalam menjalani hidupnya. Tentu saja dapat kita fahami, ustad Ota menginginkan agar kesenian yang dilakoni oleh para santrinya agar mereka (para satrinya dapat berkesenian yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sebagai kelanjutan dari “pelajaran” teateral yang dilaksanakan di ruang pangaji, latihan dengan sejumlah pemain selanjutnya dilaksanakan di fort Oranje pada sabtu sore dan ahad pagi yang disaksikan oleh orang tua santri dan ustad Ota yang bervisi futuritas. Dalam latihan di sore dan pagi besoknya, para santri bergabung bersama siswa dan mahasiswa serta pemain-pemain teater yang telah beberapa kali mengikuti pementasan. Latihan-latihan di banteng ini ditangani oleh Aswinto, di bawah pengawasan menajer latih, Fahri Amra. Tak hanya berlatih tentunya, mereka dipersiapkan agar dapat menunjukkan kebolehannya pada pementasan teater yang dapat disaksikan oleh masyarakat di Kota Ternate dalam suatu ivenn bergengsi di kota ini.
Kegiatan latihan-latihan yang dilaksanakan oleh Teater Anak Bangsa pangaji dan para remaja ini merupakan keinginan kerjasama kemitraan antar lembaga seni dan lembaga pendidikan keagamaan Islam dalam rangka “nukila” atau menuju keridaan Ilahy, sebuah motto teater. Teater Anak Bangsa selalu melakoni berbagai aktivitasnya dengan mendahulukan rencana kepentingan edukasi. Dengan dasar inilah, teater Anak Bangsa pun telah sempat bersuara di ruang sempit pangaji Al-Ashfiya’ dan berlanjut di ruang terbuka banteng Oranje. (ZM@, 24/07/2024)