*Oleh Rian Hidayat Husni
Para ahli sastra selalu mengemukakan bahwa bahan dari sebuah karya sastra ialah lingkungan yang hidup. Seorang pengarang sastra perlu mempunyai kepekaan terhadap kondisi lingkungannya untuk membentuk kreasi imaji. Tak usah jauh-jauh ambil contoh. Jika anda memiliki hasrat menulis, lalu anda berkesempatan mengunjungi tempat rekreasi, anda tentu mendapatkan ragam inspirasi.
Fenomena rekreasi, lingkungan dan alam, memiliki kecenderungan membentuk dunia berpikir seorang penulis karangan sastra untuk menggambarkannya melalui medium kesusastraan. Gerumutnya fenomena rekreasi tersebut tentu dapat kita asumsikan sebagai bahan dasar yang membentuk sastra itu sendiri. Rasa-rasanya sastra memang selalu menyerap energi alam dan lingkungan. Seorang pengarang sastra, dalam kondisi empirisnya, akan mengeksploitasi berbagai macam dinamika lingkungan guna menjadi objek karyanya.
Anggapan macam ini sungguh bertalian dengan apa yang disebut Plato sebagai konsep mimesis. Plato mengemukakan bahwa karya sastra sejatinya merupakan hasil dari peniruan alam semesta. Seorang penyair dari Pulau Madura, Zawawi Imron, melahirkan sajak-sajak terbaiknya yang menjadikan alam dan lingkungan sebagai dominasi karyanya. Imron mengeksploitasi pengalaman inderanya menangkap alam sebagai bahan ‘membumbui’ karya-karyanya. Dari tangannya, lahir kumpulan puisi Lautmu Tak Habis Gelombang (LTHG) yang terbit tahun 1996.
Baca Juga: Akrostik Halmahera
Sajak-sajak Imron, oleh sebagian kritikus, dianggap mewakili dunia sastra Indonesia yang tetap mempertahankan lokalitas daerah. Bagi Syafi’ie, penyair Imron menjadikan lingkungannya yakni desa dan alam Madura sebagai roh-roh dalam sajaknya. Satu sajak yang misal kita sebutkan adalah Tembang Alam. Dalam potongan sajak itu, ia menuliskan: aku ingin menyanyi agar awan itu pun hinggap ke pohon-pohon, sementara burung kutilang menabur mimpiku ke ladang-ladang.
Baik Zawawi Imron, dan tentu kebanyakan penyair Indonesia kita, tak dapat memisahkan dirinya, karyanya, dan lingkungan hidup yang membentuk ekspresinya. Kendati begitu, perkembangan pesat kajian sastra yang mengklaim lingkungan sebagai ‘tajuk’ utama kesusastraan sebenarnya ditandai dengan kemunculan beberapa kajian mutakhir dalam kesusastraan.
Satu kajian yang paling dekat adalah munculnya konsep ekokritik sastra. Tentu, bukan tanpa alasan kajian- kajian ini bisa hadir di hadapan kita, melainkan ada sejumlah peristiwa yang melatarbelakangi para ahli untuk mengemukakan buah pikir mereka.
Mari menyebut seorang editor andal bidang sastra, dia adalah Frederick O. Wage di tahun 1985. Frederik memuat setidaknya 19 karya peneliti berbeda, ia punya tujuan khusus: mencerap aspek linkungan dalam karya-karya itu. Bagaimana lingkungan yang hidup, alam, fenomena rekreasi tadi dapat dikampanyekan dalam keuletan sebuah karya sastra. Frederik menghimpun asumsi para peneliti itu dalam karya berjudul Teaching Environmental Literature: Materials, Methods, Resources.
Bagi Frederik (dalam Glotfelty, 1996), salah-satu tokoh pendengung lingkungan hidup dalam sastra ialah Cheryll Glotfelty. Adalah tokoh yang tak asing bagi penggemar kajian ekokritik sastra. Ambisi Gloffelty untuk mengemukakan hubungan karya sastra dengan lingkungan, ditandai dengan esainya, The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996). Glotfelty sebenarnya mempunyai ketertarikan pada bidang ekologi, tetapi di sisi yang lain, kritikus Amerika ini tak dapat menahan identitasnya sebagai seorang ahli sastra.
Misi ekologis Glotfelty tak berhenti di situ. Ia terus menyebarluaskan perkawinan sastra dan lingkungan, sastra dan apa saja yang mengganggu alam. Mengenalkan kita suatu kajian mutakhir tentang bagaimana ekokritik bekerja.
Dengan kata lain, mengajarkan bagaimana seorang pengarang sastra tidak melulu menuliskan andaiannya tentang cinta, kisah tragis, dan cerita-cerita para pahlawan. Tetapi keindahan lingkungan dan segala aspek yang merusaknya adalah bagian dari kampanye kesusastraan. Ia sekaligus menjadi profesor asal Amerika pertama pada bidang sastra dan lingkungan hidup.
Setidaknya ada dua informasi penting dalam kajian ekokritik sastra: merenungi keindahan lingkungan, sekaligus mencerap kerusakannya. Kasusnya cukup sederhana. Anda akan menulis bahwa lingkungan pantai itu menyimpan keindahan luar biasa, laut yang bening seumpama cermin seorang ratu, desir ombak yang merayu tidur, atau seorang bidadari yang jatuh dari kayangan dan tenggelam dengan sayapnya. Di saat yang sama, ekokritik menegaskan bahwa ada pencemaran di pantai itu; sebongkah limbah perusahaan tambang meracuni bidadari di pantai putih itu.