Maluku Utara Dipaksa (Hilirisasi) Bahagia

Ilustrasi PT IWIP di Halmahera Tengah. Foto: Istimewa

*Oleh Rian Hidayat

Pegiat Sosial-Budaya

 

PROGRAM hilirasi yang menjadi andalan Presiden RI Jokowi telah menjadi opsi dalam pengelolaan sumberdaya alam di Maluku Utara. Sejak 2020 pemerintah telah bertahap melaksanakan program hilirasi tambang di Indonesia khususnya di Maluku Utara. Hilirisasi tambang sendiri merupakan pengolahan bahan baku menjadi siap pakai dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang dimiliki oleh negara.

Dengan mengolah bahan mentah menjadi produk diharapkan memiliki dampak terhadap pendapat Maluku an negara dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan hilirasisi berpijak pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Pakar ekonomi Maluku Utara Mukhtar Adam menyatakan “bahwa bumi kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat karena negara tahu ada yang bertempat disitu”.

Jika negara ingin memakmurkan rakyat, seharunya jangan membeli tanahnya tapi mengakui itu sebagai saham, jika pemerintah mengakui tanah dan kandungan alam didalamnya sebagai saham maka Ketika harga tanah naik maka bayaran untuk generasi semakin besar. Presiden RI Jokowi menjelaskan program hilirisasi mampu membuat ekonomi Maluku Utara melonjak dan bahkan mengurangi kemiskinan, hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Seakan-akan Maluku Utara dipaksa Bahagia.

Sisi gelap program hilirisasi telah merampas hak dan ruang hidup masyarakat. Perluasaan lahan tambang akibat program hilirasasi tambang bukan hanya mengusir masyarakat yang telah berabad-abad tinggal di situ, tapi juga menghilangkan ada istiadat yang telah lama dijaga. Faris Bobero dalam tulisan Mengenal O’Hononga Manyawa di Hutan Halmahera yang “Dikepung” Tambang Nikel, menyatakan bahwa narasi yang dibangun oleh media pemerintah dapat mencelakai atau membuat O’Hononga kehilangan ruang hidup, karena tidak diakui sebagai suku yang mempertahankan tradisi. Lalu, membuat izin pertambangan leluasa masuk pada hutan adat. Hingga saat ini Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara mencapai 108 yang tersebar dibeberapa kabupaten/kota dengan izin tambang yang semakin banyak seringkali mengakibatkan kehilangan hak tradisonal masyarakat atas tanah dan sumber daya alam mereka. Ini bisa menggangu tatanan sosial dan budaya tradisonal, serta mengancam keberlangsungan kehiduoan dan keberlangsungan budaya masyarakat setempat.

Baca Juga:  Pengelola Coffee Jojobo Harus Tahu Diri

Menteri Investasi /Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan pencabutan Izin Usah Pertambangan (IUP) sedang dilakukan oleh tim satuan tugas penggunaan dan penataan investasi. Sebanyak 2,053 IUP dari total 2,078 IUP yang disusulkan telah rampung. Kemudian IUP ini yang dicabut kemudian akan didistribukan ke kelompok masyarakat, pelaku UMKM, hingga koperasi. Bahlil menambahkan pendistribusian ini masih menunggu revisi Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi. Namun dalam rekam jejak kasus suap IUP yang menimpah Gubernur Maluku Utara menjadi sebuah evaluasi, karena kotrol izin IUP hanya pada seputaran pelaku usaha yang tergabung dalam korporasi.
Alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat disisi lain ruang hidup masyarakat terancam. Masyarakat dipaksa untuk memberikan tanah untuk kepentingan investasi tambang. Sementara sumberdaya nikel leluasa diangkut oleh investor asing ke negaranya meninggalkan kerusakan alam yang menjadi warisan anak cucu. Wahli Maluku Utara mencatat bahwa pertambangan nikel letah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau-pulau kecil seluas 16.000 hektar dalam 15 tahun terakhir. Dalam rapat Koordinasi Investasi 2022 Jokowi menyebutkan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 27 % dan paling tinggi di dunia disusul survei Provinsi paling Bahagia juga diterima oleh Maluku Utara. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak sedikit pun berpengaruh terhadap rakyat di Maluku Utara. Gubernur Maluku Utara menyapaikan bahwa pertumbuhan ekonomi 27 % tidak berpengaruh terhadap masyarakat.

Kemiskinan Masyarakat Lingkar Tambang

Pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan kemiskinan masyarakat lingkar tambang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga awal 2023 kemiskinan di Halmahera Timur mencapai 13,14 % sementara Halmahera Tengah 12 % hal ini tentu jauh di atas rata- rata kemiskinan Tingkat provinsi sebesar 6,46%. Namun sejak hilirisasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah menunjukan peningkatan, tercatat PDRB Halmahera Tengah pada tahun 2020 mencapai 3 trilun dengan bertambahnya smelter pada tahun 2022 meningkat tajam menjadi 21,14 trilun. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi hilirisasi dapat mengatasi angka kemisiknan dengan pemanfaatan UMKM namun yang terjadi adalah pelaku usaha yang diharapkan dapat terlibat dalam gerak ekonomi sektor tambang kalah saing dengan pejabat tinggi “orang dalam” yang memboyong pelaku usaha dari pusat. Mukhtar Adam selaku akademisi menyatakan bahwa Saling campur dalam gerak industri, mungkin karena kecil dan mikro tak bisa menikmati pergerakan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang telah mengglobal itu.

Baca Juga:  Kolaborasi Membangun Daerah

Sejauh ini Upaya pemerintah Maluku Utara dalam mengatasi ketimpangan belum maksimal bahkan bisa dikatakan jauh dari target. Rasio gini Maluku Utara berada di angka 0,3 dan belum mencapai target tahun 2023. Pada tahun 2022 PDRB Halmahera Timur didukung oleh industri pertambangan dengan kehadiran industri pertambangan seharusnya mampu mengatasi kondisi ekonomi masyarakat lingkar tambang. Niat menaikan nilai tambah dan membuka peluang serta lapangan kerja namun yang terjadi adalah pendapatan dan pengeluaran tidak berimbang sehingga peningkatan nilai tambah hanya dirasakan oleh korporasi dan masyarakat masih tetap merasakan kemiskinan. Soyan Sjaf penggagas Data Desa Presisi jika ingin mewujudkan wajah asli demokrasi harus memiliki kesamaan dengan kondisi masyarakat Sejahtera.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat kebahagiaan yang relatif tinggi. Berdasarkan indeks kebahagiaan yang diukur menggunakan tiga dimensi utama, yaitu: Kepuasan Hidup (Life Satisfaction): Dimensi ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan, lingkungan, hubungan sosial, kondisi ekonomi, kehidupan keluarga, dan kehidupan pribadi. Pada tahun 2017, indeks dimensi kepuasan hidup di Maluku Utara adalah 77,09 1.
Perasaan (Affect): Dimensi ini mencakup pengukuran emosi positif dan negatif yang dirasakan oleh individu. Pada tahun yang sama, indeks dimensi perasaan di Maluku Utara adalah 70,48 1.
Makna Hidup (Eudaimonia): Dimensi ini melibatkan pencapaian tujuan hidup, hubungan dengan orang lain, kegembiraan, kepuasan, keharmonisan, dan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar. Pada tahun 2017, indeks dimensi makna hidup di Maluku Utara adalah 79,00 1.

Namun jika indikator di atas menjadi dasar penentuan Maluku Utara sebagai Provinsi paling Bahagia maka sangat tidak relevan dengan ketimpangan yang terjadi dimasyarakat lingkar tambang khususnya dan pada umumnya masyarakat Maluku Utara. Program hilirasasi yang dilakukan tidak berdampak signifikan malah memberikan dampak negatif terhadap tatan sosial dan lingkungan. Orang Maluku Utara bahagia bukan karena hasil bentukan pemerintah melalui kebijakan yang sepihak. Karena secara mendasar orang Maluku Utara itu masyarakat komunal. Artinya sejak lama, komunalisme telah membentuk perasaan “Bersama” dan sikap bahagian dalam membangun relasi warga. Klaim negara harus dinegasi sesuai fakta-fakta ril.

Baca Juga:  Penunjukkan Pejabat Kepala Daerah Morotai dalam Pusaran Kepentingan