Weda yang Terluka

Foto penulis

Oleh: Asmar Hi Daud*

 

Teluk Weda, Halmahera Tengah, kini menjadi simbol paradoks antara gemerlap industri dan luka ekologi. Di balik kilau nikel yang menyokong transisi energi global, laut yang menjadi ruang hidup masyarakat pesisir menyimpan racun yang tak kasat mata—logam berat yang terakumulasi dalam tubuh ikan dan kemungkinan besar, dalam tubuh manusia.

Baru-baru ini, hasil penelitian tim dari Universitas Tadulako menyulut kehebohan publik. Mereka menduga adanya kandungan logam berat pada darah warga dan organ ikan yang dikonsumsi masyarakat sekitar Weda Tengah. Dugaan ini memantik reaksi beragam: ada yang cemas, ada yang membantah, dan ada yang memilih diam.

Namun di tengah hiruk-pikuk polemik, kita kerap kehilangan fokus terhadap inti persoalan: laju ekspansi industri telah menekan daya lenting ekosistem pesisir dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat lokal.

Sains di Persimpangan Krisis

Tanggapan dari sejumlah akademisi memperlihatkan pentingnya pendekatan hati-hati. Dr. Mufti Abd. Murhum mempertanyakan penggunaan ikan sebagai indikator utama pencemaran logam berat, mengingat ikan bersifat ruaya. Ia menyarankan agar riset diarahkan ke biota bentik seperti kerang atau siput yang lebih mencerminkan kondisi lokal.

Prof. Aris – ahli kesehatan ikan – menyebut bahwa kerusakan Teluk Weda sudah lama terjadi akibat reklamasi dan pembangunan di atas terumbu karang. Sementara Dr. Nurhalis Wahidin ahli Geospasial dari Unkhair mengingatkan bahwa hasil pengujian perairan sangat dipengaruhi oleh musim, arus laut, dan aktivitas industri. Olehnya, diperlukan pendekatan multidisipliner dan pemantauan jangka panjang.

Perbedaan pandangan ilmiah tentu wajar. Namun, dalam situasi krisis ekologi, prinsip kehati-hatian harus menjadi pegangan. Menunggu data yang sempurna bisa membuat kita abai terhadap kerusakan yang terus berlangsung.

Baca Juga:  Ramadan sebagai Perekat Kebersamaan

Ketimpangan Ekologis

Data dari Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan (JIPK, 2025) memperkuat urgensi ini. Akresi daratan di kawasan industri PT IWIP mencapai 147 meter per tahun, sementara abrasi di pemukiman nelayan mencapai 12 meter per tahun. Artinya, daratan industri terus bertambah, tetapi wilayah hidup masyarakat pesisir terus terkikis.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara turut menyoroti lemahnya perlindungan terhadap masyarakat pesisir dalam tata ruang wilayah industri. Suara warga—yang kehilangan akses terhadap laut, sumber nafkah, dan bahkan ruang hidup—sering kali tenggelam di balik wacana pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah menyatakan bahwa kualitas air laut masih dalam batas aman. Pernyataan ini patut dikaji lebih lanjut agar tidak menjadi bentuk pembenaran birokratis terhadap ancaman ekologis yang lebih luas.
Memulihkan Suara dan Pembangunan yang Adil

Kita tidak sedang mencari siapa yang paling benar dalam data. Kita sedang mencari cara untuk menyelamatkan ruang hidup bersama sebelum terlambat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Khairun dan lembaga riset lainnya perlu memainkan peran strategis untuk membangun roadmap riset ekologis yang menyeluruh, lintas disiplin, dan jangka panjang.

Ekosistem laut tidak bersuara. Ketika kerang mati karena racun, terumbu karang rusak karena reklamasi, atau ikan tercemar lalu masuk ke tubuh manusia, itu adalah jeritan yang harus kita tafsirkan dengan kepekaan ilmiah dan kemanusiaan.

Warga, aktivis, dan ilmuwan yang bersuara tidak sedang menebar keresahan. Mereka sedang mencoba menerjemahkan jeritan laut yang tak terdengar oleh mereka yang terlalu sibuk mengatur angka-angka investasi.

Tulisan ini bukan ajakan menolak industri. Namun, pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan, yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, dan yang membiarkan ruang hidup tergerus oleh ekspansi rakus, itulah yang patut ditolak.

Baca Juga:  Marah, Sekali Lagi

Pembangunan harus adil, berkelanjutan, dan manusiawi. Tidak bisa lagi kita membenarkan kerusakan ekologi demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Tidak adil jika masyarakat yang selama ini menjaga laut justru menjadi korban dari pembangunan yang tidak mereka rumuskan dan tidak mereka nikmati hasilnya.

Saatnya kita bersikap. Teluk Weda adalah peringatan. Dan seperti luka, ia butuh perhatian, bukan penyangkalan.

—–

*Penulis merupakan dosen di FPIK Unkhair Ternate