Oleh: Iksan Nardi, S.H*
Rasanya agak muak ketika membaca serta mendengar program-program yang disampaikan oleh calon-calon kepala daerah baik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota di lingkungan Provinsi Maluku Utara saat ini.
Kampanye sebagai salah satu tahapan resmi dimana para Calon Kepala Daerah itu diberikan ruang dan waktu oleh lembaga penyelenggara Pemilu untuk menyampaikan Visi-Misi disertai terjemahannya belum dimulai, namun hampir keseluruhan Calon Kepala Daerah dimaksud telah “curi star” untuk menyampaikan apa yang akan dia lakukan nanti jika terpilih. Disampaikan secara langsung maupun melalui media cetak dan/atau elektronik atau juga melalui forum-forum yang terafiliasi maupun yang tidak terafiliasi dengan para Calon Kepala Daerah tersebut.
Disampaikan langsung oleh calonnya, maupun disampaikan orang-orang yang katanya Tim Pemenangan atau Tim Kampanye atau sebutan lainnya. Apapun itu, masyarakat Maluku Utara harus menggunakan hak pilihnya nanti demi sebuah keharusan bahwa haknya harus digunakan dan yang terpilih wajib menjalankan amanah yang diberikan dengan baik dan benar tanpa menyimpangi keharusan.
Untuk itu, tulisan singkat ini hendak mengajak kita semua untuk setidaknya menyadari kondisi objektif saat ini pula menyikapinya. Karenanya ada beberapa hal sederhana yang penulis sarankan untuk menjadi “optik” bagi kita semua dalam menggunakan hak pilih nanti.
Pertama, jangan mudah percaya janji calon kepala daerah.
Yang paling sering dilakukan oleh calon-calon kepala daerah untuk menarik dukungan dan simpati masyarakat adalah menebarkan janji. Konkritnya hal ini dilakukan dengan menyampaikan janji-janji tentang hal baik kepada masyarakat yang akan dilakukan jika terpilih. Janji ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan umum seperti menggratiskan biaya Pendidikan dan Kesehatan, memberikan akses modal usaha kepada unit-unit usaha kecil dan menengah, serta janji mengatasi berbagai masalah daerah lainnya.
Satu hal pasti, yakinlah bahwa janji-janji yang disampaikan itu sesungguhnya hanya bentuk siasat dan strategi untuk mendapatkan dukungan belaka. Tak jarang janji yang disampaikan pun hingga terdengar tak masuk akal. Dalam konteks politik, penyampaian janji ini dapat dikatakan sesungguhnya adalah sesuatu yang rasional, karena hal itu adalah bentuk pernyataan politik para calon pemimpin.
Hanya saja, sebagai masyarakat juga kita harus memahami bahwa pernyataan politik dimaksud mestinya disertakan dengan sikap komitmen dan konsisten bukan sebaliknya. Artinya apa yang dinyatakan sebagai penyataan politik tidak hanya janji-janji manis belaka tetapi benar-benar dilaksanakan nantinya. Janji-janji itu harusnya dimaknai sebagai etika sosial dan bagian dari upaya unjuk peradaban yang berkaitan dengan niat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan atau setidaknya tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari keharusan.
Sikap tidak mudah percaya dengan janji para calon kepala daerah ini sangat beralasan, sebab faktanya banyak Gubernur, Bupati dan Walikota pasca pemilihan justeru bersikap amnesia dan lupa dengan janji-janji yang pernah diucapkan.
Kedua, kenali kandidat dan juga timnya.
Calon kepala daerah yang saat ini terdaftar sebagai kontestan pilkada baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota sebenarnya bukanlah orang-orang baru yang sulit dikenali. Bahkan sebaliknya, dengan sangat mudah kita mengenali para calon kepala daerah ini satu demi satu baik dari personanya hingga perilakunya. Dapat dipastikan bahwa orang-orang yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah ini sebelumnya menduduki jabatan-jabatan publik baik pengisiannya dilakukan melalui mekanisme politik maupun mekanisme administratif.
Karenanya wajah-wajah calon pemimpin daerah ini sudah bisa dijadikan indikator untuk menilai layak dan tidaknya mereka diberikan amanah selama 5 tahun kedepan. Indikator tersebut dinilai berdasarkan capaiannya selama menjabat pada posisi sebelum mencalonkan diri saat ini.
Dapat dipastikan, para calon kepala daerah ini sebelumnya mereka adalah Bupati di suatu daerah, Walikota, Anggota DPD RI atau DPR RI/Provinsi/Kabupaten/Kota, serta pejabat publik lainnya. Sehingga indikator-indikator itu menjadi terbuka untuk dinilai, apakah dalam jabatan sebelumnya dia benar-benar menjalankan amanah serta kewenangannya dengan baik ataukah tidak.
Tak hanya itu, calon-calon kepala daerah ini dibantu dan/atau didukung oleh orang-orang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan tim pemenangan, tim kampanye, dan masih banyak sebutan lainnya.
Jika diamati, sesungguhnya orang-orang ini juga familiar wajah-wajahnya atau bisa dikatakan sudah dikenali. Dalam setiap suksesi pemenangan calon kepala daerah di lingkungan Provinsi Maluku Utara selalu diramaikan dengan “pemain-pemain” di balik layar yang orangnya sama di setiap periodenya. Belakangan ada yang disebut sebagai aktivis, kontraktor, konsultan, advokat, akademisi, bahkan pensiunan PNS atau TNI/Polri. Orang-orang ini selalu muncul dan melibatkan diri dengan salah satu calon kepala daerah dan mengatasnamakan sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Jika ditelusuri, sebenarnya orang-orang ini juga mudah dikenali sebab memiliki riwayat yang cukup jelas disertai catatan-catatan capaiannya baik sebagai individu maupun dalam menjalankan profesinya. Sama halnya dengan calon kepala daerah yang dipihakinya, orang-orang ini juga bisa dijadikan indikator untuk menilai baik dan tidaknya seorang calon kepala daerah untuk dipilih.
Karenanya penting untuk mampu mengenali selain kandidatnya juga orang-orang yang menjadi timnya agar kepentingan daerah tidak tergadaikan dengan murah pada individu yang murah pula moralnya.
Ketiga, hindari “serangan fajar”.
Sudah menjadi rahasia umum, serangan fajar adalah istilah yang disematkan terhadap praktik “money politik” atau jual-beli suara yang dilakukan beberapa saat sebelum pencoblosan surat suara. Dimulai dengan angka puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan atau bisa juga dengan barang, jasa atau materi lainnya.
Bagi sebagian masyarakat angka puluhan ribu adalah nilai yang tinggi dan cukup untuk menjadi alasan menyalurkan suara atau pilihannya, apalagi ratusan ribu hingga jutaan. Praktik ini dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan.
Transaksinya ada yang bersifat pasif, artinya menunggu didatangi oleh orang-orang yang disebutkan dan dibahas pada poin kedua sebelumnya. Ada pula yang praktiknya dilakukan secara aktif, masyarakat tertentu malah mendatangi posko atau kediaman kandidat dan/atau timnya guna meminta dibayarkan suaranya. Praktik ini harus dihindari karena tidak benar.
Bukan soal angkanya, tetapi soal resiko dan dampaknya. Selain resiko hukum, jika praktik ini dibiarkan dan apalagi dilakukan maka semakin melegitimasi para kandidat dan timnya atau semakin memantapkan rasa percaya diri setiap kandidat yang nantinya terpilih tidak lagi peduli dengan kepentingan rakyat apalagi janji-janji yang dibahas pada poin pertama di atas.
Alasannya sederhana, kandidat terpilih menganggap nilai tukar atas suara yang disalurkan padanya telah terbayarkan dengan serangan fajar tadi. Akhirnya, kepala daerah yang seharusnya menjalankan amanah dengan segala kewenangan yang melekat padanya jauh dari lingkup keharusan, berbuat amoral, berperilaku culas bahkan tak jarang dipertontonkan..Sekali lagi muak rasanya harus dipimpin oleh seorang kepala daerah yang berperilaku demikian.
Keempat, pahami arti penting demokrasi.
Secara konsep maupun istilah banyak yang bisa dibaca, dipelajari dan (seharusnya) dipahami tentang demokrasi. Sederhananya dalam potret masyarakat sering digambarkan demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Gambaran ini populer sejak disampaikan seorang Abraham Lincoln di tahun 1963 (government of the people, by the people, and for the people). Harusnya gambaran ini sudah cukup memberikan pesan penting dari proses demokrasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Para calon yang akan dipilih dan menduduki posisi kekuasaan (pemerintahan) harus menyadari bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Posisi yang nantinya diduduki (Gubernur/Bupati/Walikota) itu pada hakikatnya berasal dari rakyat. Artinya rakyat harus benar-benar selektif dalam memilih kepada siapa posisi itu diberikan sehingga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan kehendak rakyat itu benar-benar merakyat.
Dalam beberapa waktu kedepan, masyarakat diberikan ruang dan waktu untuk menilai mana calon yang benar-benar mampu diamanahi menjalankan pemerintahan yang setidak-tidaknya bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Karenanya melalui salah satu makna demokrasi yang digambarkan sebelumnya, mari kita sama-sama mewujudkan bahwa pemerintah daerah yang akan terbentuk adalah pemerintahan yang benar-benar mendapat dukungan dan pengakuan dari masyarakat, pemerintahan yang harus dijalankan atas nama rakyat bukan atas nama pribadi atau golongan tertentu saja.
—–
*Penulis merupakan Sekretaris YLPAI Maluku Utara