News

Kalero, Perekat Bangunan Bersejarah di Ternate

Kalero adalah perekat bangunan yang terbuat dari hasil pembakaran batu kapur. Kalero banyak digunakan untuk membangun struktur bangunan zaman dulu di Ternate, termasuk benteng-benteng.

“Bicara benteng berarti bicara kalero,” ucap Ridwan Dero penuh keyakinan. Sosok paruh baya yang eksentrik dengan janggut putihnya itu tampak bersemangat membicarakan topik kalero.

Minggu (5/5), Cermat menyambangi tempat pembuatan kalero, yakni sebuah bangunan batu berbentuk bulat yang sekilas mirip sebuah benteng. Letaknya di pesisir Koloncucu, Toboleu, Ternate Utara, Maluku Utara.

“Bagaimana kondisinya? Tolong dijaga, itu salah satu situs penting di Ternate,” ujar Ridwan Dero, yang menjabat sebagai Qadhi Kesultanan Ternate.

“Itu bukan benteng, itu dulu tempat pembuatan kapur yang nantinya digunakan sebagai perekat. Semacam semen,” tambah Ridwan.

Dosen Arsitektur Universitas Khairun, Maulana Ibrahim, mengatakan bahwa kalero memiliki arti yang sama dengan proses pembakaran. “Yang dibakar adalah batu apung atau batu karang,” ucap sosok yang juga tekun mengenalkan pusaka Ternate lewat komunitas Ternate Heritage Society ini. 

Banyak yang bertanya-tanya tatkala mampir di sebuah situs benteng, bagaimana caranya sebuah benteng bisa berdiri kokoh hingga berabad-abad. Namun, tak banyak yang kemudian tahu bahwa material perekat benteng berasal dari kalero.

Ridwan Dero menjelaskan, dahulu kala, bebatuan karang di sepanjang pesisir pantai Pulau Ternate biasa diangkut, untuk kemudian dibakar di tempat pembuatan kalero. Nantinya, kalero yang sudah jadi dapat dijadikan bahan perekat bangunan.

“Mula-mula dorang susun kayu di bawah, di dasar. Nah kemudian di atas tumpukan kayu itu mereka timbun batu karang, sampai rata dengan permukaan. Lantas, kemudian ditimbun dengan tanah yang sudah sedikit basah. Setelah itu, kayu yang berada di dasar itu dibakar,” kata Ridwan. 

Pada derajat tertentu, batu-batu tersebut bakal lebur menjadi kapur. Kapur-kapur inilah yang menjadi bahan utama dalam pembuatan benteng atau kalero. Kenapa dikatakan bahan utama? Sebab, untuk dapat dibuat menjadi laiknya semen, harus melalui proses pencampuran terlebih dahulu. 

Maulana Ibrahim mengatakan, kapur tersebut harus dicampur dengan pasir dan juga air rendaman kulit pohon. “Jadilah material baru (kalero–red) sebagaimana semen zaman sekarang,” katanya. 

Pohon yang dimaksud adalah Lubiri. Kulit Pohon Lubiri itu diletakkan di sebuah wadah selama beberapa waktu, sampai getahnya keluar, lantas kemudian dicampur dengan air. 

Menurut Ridwan Dero, tempat pembuatan kalero yang terletak di Kampung Koloncucu itu hanya digunakan untuk melayani pembangunan infrastruktur pemerintah kala itu. Begitu juga dengan pembangunan benteng-benteng yang berada di Ternate. Kalau untuk pembangunan rumah pribadi, masyarakat memiliki kalero tersendiri.

Berfungsi sebagai perekat, kalero bisa dibilang kuat. Maulana Ibrahim membuktikan hal itu dengan memperlihatkan rumah-rumah yang dibangun menggunakan kalero. Rumah-rumah itu masih berdiri kokoh hingga sekarang, sebagaimana benteng-benteng.

Kekurangannya, lanjut Maulana, beberapa rumah dinding batu yang menggunakan kalero jadi mudah terkelupas dindingnya karena dicat dengan menggunakan cat berbahan kimiawi zaman sekarang. 

“Seharusnya dicat dengan menggunakan kapur agar kekuatan kapur dalam kalero tetap terjaga,” ujarnya. 

Dari hasil temuannya di lapangan, Maulana mendapati beberapa fala kanci (rumah khas Ternate) yang sudah diplester dengan semen. Sementara rangka dindingnya tetap menggunakan anyaman bambu (patate). 

Saat ini, satu-satunya kalero yang tersisa hanyalah yang berada di Kampung Koloncucu itu. Maulana mengatakan kalero sudah berhenti digunakan seiring dengan perkembangan teknologi. 

Dari pantauan Cermat, tempat itu pun sudah terlihat sudah tak terurus. Di bagian dalamnya tumbuh pohon-pohon pisang dan beberapa tumbuhan lainnya. Tempatnya juga berdiri menyempil di antara bangunan-bangunan lain milik warga.

Ridwan Dero dan Maulana Ibrahim senada dalam hal perlunya pelestarian kalero sebagai salah satu cagar budaya. “Iya, (perlu) dijaga keberadaannya sebag

ai bagian dari pengetahuan terhadap teknologi tradisional yang dimiliki Ternate,” ujar Maulana.

Ia menambahkan, teknologi tradisional masuk dalam UU Pemajuan Kebudayaan, sementara bendanya, dalam hal ini bangunan kalero, masuk dalam perlindungan di UU Cagar Budaya.

“Meskipun saat ini sudah ada semen, kalero perlu dijaga keberadaannya sebagai edukasi publik bahwa teknologi Ternate zaman dahulu seperti itu,” pungkas Maulana Ibrahim.

cermat

Recent Posts

Disdik Pulau Taliabu Dorong Bahasa Daerah Masuk Pelajaran Sekolah

Dinas Pendidikan (Disdik) di Pulau Taliabu, Maluku Utara, berkomitmen mendorong kurikulum bahasa daerah masuk dalam…

11 jam ago

Unkhair dan IPB Bahas Kerja Sama Bidang Riset

Universitas Khairun (Unkhair) Ternate menerima kunjungan Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pemberdayaan Masyarakat Agromaritim…

11 jam ago

Ini Pesan Kasat Lantas Polres Ternate di HUT ke-70 Lalu Lintas

Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Ternate, AKP Farha, mengimbau seluruh masyarakat, khususnya para pengendara, untuk…

12 jam ago

Kantah Halmahera Barat Hadiri Peringatan 65 Tahun UUPA di Kanwil BPN Maluku Utara

Dalam rangka memperingati 65 Tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, jajaran Kantor Pertanahan (Kantah)…

13 jam ago

Mulai 2026, Pengelolaan Anggaran Desa di Morotai Wajib Berbasis Online

Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, menegaskan bahwa mulai tahun 2026 seluruh proses pengelolaan anggaran…

17 jam ago

Rumah Makan Ayam Bakar Pak RT di Ternate Terbakar, Kerugian Capai Rp 200 Juta

Dapur Rumah Makan Ayam Bakar Pak RT yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Muhajirin,…

21 jam ago