Oleh: Dr. Isra Muksin*
Permasalah pembangunan daerah Provinsi Maluku yang serba kompleks, dimulai dengan ketimpangan sosial, mutu pendidikan rendah, kesenjangan antara kota dan desa, serta perhatian nasional tentang “Stunting” menyebabkan semakin sulitnya mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena semakin banyak, berat, dan tajamnya persaingan antarpihak yang saling berebut sumber daya yang terbatas.
Oleh sebab itu, kerja sama intensif antarpihak yang dikonsepkan sebagai kolaborasi merupakan sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan. Maka, kolaborasi yang secara sederhana dimaknai sebagai working together, merupakan sebuah strategi yang harus ditempuh dengan untuk mempermudah, memperingan, dan mempercepat pencapaian tujuan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, collaborative governance merupakan upaya memodifikasi governance melalui pelibatan aktor pemerintah dan aktor non negara dalam menyelesaikan isu publik atau penciptaan nilai publik.
Pada umumnya istilah kolaborasi (collaborative), kemitraan (partnership), jaringan (network), dan kerja sama (cooperation) hampir mempunyai makna yang sama, namun penting untuk melihat perbedaannya. Salah satu hal yang menyamakan istilah- istilah tersebut adalah bahwa seluruhnya dianggap menjadi jawaban dari permasalahan-permasalahan yang timbul seiring dengan berkembangnya good governance yang menekankan pada prinsip-prinsip partisipatif, transparansi, akuntabilitas, rule of law, dan responsivitas.
Kemitraan, secara mudah dipahami sebagai kerja sama antara dua organisasi yang mengumpulkan dan menyatukan sumber daya untuk mengejar tujuan bersama. Kemitraan sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak yang membentuk suatu ikatan kerja sama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Kemitraan cenderung dipakai dalam urusan-urusan bisnis yang berorientasi keuntungan ekonomi, selain aktor-aktornya bukan hanya terdiri dua pihak juga bukan dijadikannya faktor ekonomi (keuntungan) sebagai tujuan bersama para aktor.
Kolaborasi sebagai kemitraan, namun sebenarnya kedua konsep tersebut mempunyai perbedaan cukup mendasar. Konsep kemitraan berbeda dengan kolaborasi, karena kolaborasi mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan kemitraan. Bahwa kolaborasi melibatkan beberapa dimensi yang berbeda. Pertama, kolaborasi bisa melibatkan kerja sama untuk membangun kesamaan, meningkatkan konsistensi, dan menyelaraskan kegiatan antar aktor-aktor.
Kedua, kolaborasi dapat menjadi proses negosiasi yang melibatkan kesiapan untuk berkompromi dan membentuk trade-off. Ketiga, kolaborasi dapat melibatkan peran pengawasan, pemeriksaan, penarikan keputusan bersama-sama dan koordinasi secara terpusat dalam forum. Selain itu, kolaborasi dimaknai sebagai proses penciptaan (tujuan) bersama yang ditengahi atau difasilitasi oleh institusi lembaga yang otonom dan menekankan adanya peran pemerintah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam melakukan fasilitasi.
Pada aspek kesejajaran sebagai implikasi kolaborasi justru dilema muncul. Dalam konteks kelembagaan, dua muara penting dari collaborative governance adalah: (1) bahwa dalam collaborative governance, forum formal harus dibentuk dengan sengaja sebagai wadah atau forum berlangsungnya proses maupun pencapaian konsensus bersama, dan (2) bahwa pencapaian konsensus bersama harus dibangun atas dasar kesempatan, kesejajaran maupun kekuatan yang sama antar aktor yang berkolaborasi, dan pemerintah merupakan salah satu aktor dalam forum kolaborasi dan memiliki kesejajaran maupun kekuatan yang sama dengan aktor lainnya. Namun, pemerintah tetap memiliki kewenangan untuk mengatur di mana hal itu tidak dimiliki oleh aktor di luar pemerintahan.
Berdasarkan gambaran di atas, kolaborasi secara konseptual sesungguhnya memiliki keluasan makna yang lebih mengikat dibandingkan sekedar koordinasi dan kerja sama. Benar adanya pula bahwa kolaborasi dengan prinsip kesejajaran antar aktor memiliki peluang untuk berhasil karena masing-masing aktor dituntut berkontribusi sesuai dengan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki.
Kolaborasi pada hakikatnya adalah suatu kerja sama yang dilakukan antarorganisasi untuk mencapai tujuan bersama yang tidak mungkin atau sulit dicapai apabila dilakukan secara individual atau mandiri. Dalam konteks ini terkandung dua hal penting; satu sisi, setiap organisasi pada awalnya adalah otonom; sisi lain, karena adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan masing-masing, tetapi terfokus pada tujuan atau obyek yang sama, organisasi melakukan kerja sama dengan organisasi lainnya pada tindakan kolektif.
Dalam kaitannya dengan tindakan kolektif memerlukan conceptual work untuk menegaskan perlunya sebuah kerangka kerja kolektif dalam membangun kejelasan tanpa mengabaikan kompleksitas permasalahan dengan membentuk komunitas yang dapat berpikir bersama dan berbagi pengetahuan dan pengalaman terutama untuk menghadapi permasalahan yang sulit.
Hubungan saling ketergantungan antara satu organisasi dengan pihak yang lainnya juga harus ditingkatkan melalui komunikasi yang intensif. Komunikasi sangat penting dalam kolaborasi agar tidak terjadi kesalahpahaman dan menjaga bahwa apa yang dilakukan tetap sesuai dengan norma-norma, aturan, dan proses- proses untuk mencapai tujuan kolektif yang telah diputuskan sebelumnya, dalam rangka mempertahankan hubungan kolaborasi, personel dari setiap organisasi harus mempunyai diskresi untuk melakukan negosiasi peraturan dan membuat keputusan organisasi berdasarkan dinamika perundingan kelompok.
Dalam perkembangannya, model-model kolaborasi juga digunakan dalam penanganan konflik, terutama ketika terkait dengan dinamika kelompok yang menyimpan perbedaan kepentingan yang kuat. Sehingga, kolaborasi pada intinya menjelaskan adanya interdependensi organisasi yang menuntut adanya kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kolektif yang teridentifikasi. Di mana, tujuan kolektif yang dirumuskan tersebut ditujukan untuk memecahkan masalah multi organisasional.
Dalam rangka pencapaian tujuan kolektif, diperlukan kolaborasi infrastruktur, kolaborasi prosedur, dan kolaborasi kepemimpinan. Kolaborasi infrastruktur berfokus pada struktur organisasi yang digunakan untuk memformalkan dan mendukung antar organisasi. Kolaborasi prosedur memfokuskan diri pada proses- proses yang dikembangkan untuk mendukung operasi, dan kolaborasi kepemimpinan dalam pengertian ini adalah perilaku yang diperlukan mendukung interaksi.
Collaborative Governance dalam membangun daerah yang menekankan pada pelibatan aktor/stakeholders secara luas yang mencakup aktor pemerintah dan aktor nonpemerintah lainnya dalam menyelesaikan persoalan publik atau menciptakan nilai politik melalui aksi kolektif. Sebagai upaya memodifikasi governance melalui pelibatan aktor pemerintah dan aktor nonnegara dalam menyelesaikan isu publik atau penciptaan nilai publik.
Jadi, collaborative governance merupakan strategi baru dalam pemerintahan terutama menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat, dengan melibatkan para pemangku kepentingan publik dan swasta bersama-sama dalam sebuah forum untuk menghasilkan konsensus dalam pengambilan keputusan. Tujuan dari keterlibatan stakeholders ini adalah untuk merumuskan dan juga implementasi kebijakan.
Collaborative governance sebagai sebuah pengaturan tata kelola pemerintahan yang mana satu atau lebih institusi melibatkan aktor nonpemerintah secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi consensus, dan konsultatif, yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik. Collaborative governance sebagai suatu proses dan struktur dalam manajemen dan kebijakan publik dengan melibatkan aktor yang berasal dari berbagai level, baik dalam tataran pemerintah, swasta, atau masyarakat sipil dalam rangka untuk mencapai tujuan publik yang tidak dapat dilakukan oleh satu pihak.
Selain itu, collaborative governance tidak hanya terbatas pada stakeholders yang terdiri dari pemerintah dan non pemerintah tetapi juga terbentuk atas adanya “multipartner governance” yang meliputi sektor privat, masyarakat dan komunitas sipil yang terbangun atas sinergi peran stakeholders dan penyusunan rencana yang bersifat hybrid seperti halnya kerja sama public- privat dan privat social.
Keterlibatan sektor publik, privat, dan masyarakat sipil mengacu pada partisipasi warga negara baik sebagai individu maupun kelompok organisasi, di mana pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai aspek masalah dapat secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan mereka dan mencari solusi yang mampu melampaui keterbatasan visi mereka menjadi sesuatu yang memungkinkan untuk dilaksanakan, bagaimana stakeholders dengan kepentingan, kekuatan, dan kelemahan yang berbeda, saling terlibat dalam mencapai tujuan, visi atau sasaran bersama.
Secara terperinci bahwa dalam kerja sama kolaborasi terjadi penyamaan visi, tujuan, strategi dan aktivitas antara para pihak mereka masing-masing tetapi memiliki otoritas untuk mengambil keputusan secara independen dan memiliki otoritas dalam mengelola organisasinya walaupun mereka tunduk pada kesepakatan bersama.
Collaborative governance juga merupakan struktur yang terintegrasi dalam pengambilan keputusan, terdapat proses deliberative, kepemimpinan dan informasi untuk mengatasi masalah publik yang rumit. Pada dasarnya aktivitas kolaborasi pemerintah melibatkan ketergantungan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Ada dasar aktivitas kolaborasi pemerintahan melibatkan ketergantungan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
Sisi lain, collaborative governance sebagai penghubung atau proses berbagai informasi, sumber daya, aktivitas dan kemampuan organisasi dari dua atau lebih sektor untuk mencapai hasil bersama. Yang tidak dapat dicapai oleh organisasi hanya dalam satu sektor secara terpisah serta sekelompok yang saling tergantung, biasanya dari berbagai sektor, yang bekerja sama untuk mengembangkan dan melaksanakan kebijakan untuk mengatasi masalah atau situasi yang kompleks. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan partisipasi secara menyeluruh melalui otoritas pengambilan keputusan antar stakeholder.
Di abad ke-21 ini, kebutuhan untuk berkolaborasi adalah sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, keberadaan kolaborasi itu harus diorganisir dan dikelola dengan serius. Sebab, pengorganisasian atas jaringan kolaborasi itu tidaklah statis, tetapi dinamis sehingga membutuhkan kecerdasan yang tinggi dan pengerahan daya pikir yang tinggi pula agar kolaborasi yang dibangun itu benar-benar efektif kerjanya. Kemudian, kita mampu mengubah situasi ketika pesaing tersebut secara alami kita ubah dan kita jadikan sebagai salah satu anggota jaringan dari kolaborasi kita.
Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan yang harus dipikirkan dalam suatu kolaborasi adalah mencari anggota, baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan. Para anggota tersebut harus memiliki kriteria tertentu yang benar-benar dibutuhkan oleh organisasi dalam berkolaborasi. Apabila para pihak yang dilibatkan dalam kolaborasi itu tidak memenuhi kriteria yang sesuai dengan tujuan dan bidang-bidang yang akan dikolaborasikan, proses kolaborasi itu tidak akan bisa berjalan secara efisien dan efektif atau bahkan bisa menggagalkan kolaborasi itu dalam mencapai tujuannya.
Sadarkah kita bahwa salah satu faktor yang memiliki kontribusi terbesar dalam menyukseskan ‘penyelenggaraan pemerintahan pembangunan daerah’ itu terletak pada kerelaan para pegawai dalam mengerjakan tugas pekerjaan mereka secara teamwork atau adanya aktivitas kerja yang dilakukan secara kolaboratif.
Bahkan kolaborasi dapat menciptakan para pegawai menjadi lebih bertanggungjawab, sehingga lambat laun akan dapat meningkatkan derajat motivasi kerja mereka, terutama ketika mereka bekerja secara teamwork. Situasi yang demikian ini akan dapat meningkatkan kreativitas kerja mereka secara tajam yang bertujuan untuk meningkatkan semangat berkolaborasi semakin kuat dan sehat.
Lebih dari itu, pembentukan kolaborasi dapat digunakan untuk melakukan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama sebagai upaya sadar dalam mencapai tujuan bersama yang telah mereka tetapkan melalui pembagian tugas/pekerjaan.
Sementara itu pada sisi yang lain, pembentukan kolaborasi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan atas pelaksanaan suatu pekerjaan yang besar, beban pendanaan yang besar, penyediaan aset kerja, ataupun untuk penanggulangan berbagai permasalahan yang berat dan rumit yang tidak mungkin dapat dikerjakan secara individual tanpa ada partisipasi dan campur tangan dari pihak lain.
Pembentukan kolaborasi (Valdellon, 2017), baik yang dilakukan antarindividu maupun antarlembaga/organisasi sangat penting karena kolaborasi memiliki sebelas (11) manfaat yang meliputi hal berikut:
Kolaborasi dapat meningkatkan fleksibilitas organisasi (improved flexibility of the organization); Kolaborasi dapat digunakan untuk saling mempertautkan para pekerja (engaged employees); Kolaborasi dapat dimanfaatkan untuk memperlakukan karyawan atau pegawai secara sehat (healthier employees) Kolaborasi dapat digunakan untuk menyelenggarakan rapat koordinasi yang produktif (more productive meeting).
Kemudian, kolaborasi semakin memperkuat terciptanya talenta yang tinggi (more attractive to top talent); Kolaborasi dapat digunakan untuk memacu terhadap kemajuan bisnis yang lebih cepat (accelerated business velocity); Kolaborasi dapat meningkatkan daya simpan atau daya ingat yang lebih tinggi (higher retention rates); Kolaborasi dapat menciptakan ide-ide kreatif yang inovatif (innovative ideas).
Kolaborasi dapat digunakan untuk menempatkan posisi stakeholder secara lebih tepat (better alignment with stakeholders); Kolaborasi dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas kerja bagi segenap individu yang terlibat (enhanced individual productivity); Kolaborasi dapat digunakan untuk meningkatkan keuntungan (increased profitability)
Bentuk baru organisasi masa depan adalah kolaborasi pada bidang sektor publik karena saling memberikan dukungan antar organisasi dalam rangka menyediakan layanan publik dengan dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut:
Sekurang-kurangnya ada dua lembaga yang berbeda, sektor publik dengan privat atau sektor nonprivat. Di antaranya adanya perjanjian tertulis untuk menentukan kerangka kolaborasi; adanya tujuan (pada umumnya penyelenggaraan pelayanan public). Kemudian, adanya pembagian tanggungjawab yang terdiri dari pembagian resiko, sumber daya, biaya, dan manfaat baik yang bersifat tangible maupun intangible (Wondolleck, 2003).
Agar kolaborasi yang dibentuk benar-benar bisa mendapatkan kinerja yang optimal sebagaimana yang diharapkan, bangunan kolaborasi yang didirikan oleh para kolaborator itu harus dilengkapi dengan beberapa komponen kolaborasi yang kokoh maka direkomendasikan tiga komponen yaitu;
Kolaborasi sektoral, pemerintah, privat dan civil society berkolaborasi dalam bidang tertentu yang saling menguntungkan satu salam lain yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama dan mengikat
Kolaborasi kultural, dalam melaksanakan kolaborasi sesama kolaborator mencetuskan kultur kerja baru yang inovatif
Kolaborasi prosedural, dapat menginovasikan inovasi dalam berkolaborasi bersama tim kerja yang memiliki semangat dan kerja kuat tanpa mengabaikan peraturan yang berlaku.
Poin penting yang perlu saya sampaikan adalah pentingnya kolaborasi individu dan organisasi dalam penyelenggaraan pembangunan daerah dengan melepaskan seluruh ego sektoral, ego kultural dan ego prosedural, dan sama- sama menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan golongan, kepentingan agama dan kepentingan lainnya. Dengan kolaborasi maka segala urusan wajib dan urusan pilihan pemerintahan daerah bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah, namun sudah menjadi tanggung jawab semua pihak. Pada posisi inilah semua pihak turut serta mengambil perannya masing-masing atas sumber daya yang dimiliki.
————
*Penulis merupakan Wakil Rektor III Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) Tidore. Tulisan ini merupakan naskah pidato ilmiah yang penulis sampaikan dalam acara wisuda Sarjana angkatan ke-V Unibrah tahun ajaran 2023- 2024.
Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…
Polsek Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, kembali mengungkap praktik pengolahan emas ilegal yang berlokasi…
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pulau Taliabu, Maluku Utara resmi berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK)…