Oleh: Herman Oesman*
Hampir dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat Indonesia disibukkan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang begitu marak dan bikin gaduh. PSN di Indonesia dalam pemberitaan yang dibaca, kerap menimbulkan konflik antara negara (pemerintah) dan masyarakat.
Sejumlah proyek yang membutuhkan lahan luas telah memicu konflik agraria dalam satu dekade terakhir. Salah satu contoh adalah konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Tahun 2023, Pemerintah memutuskan untuk membatalkan pengosongan Pulau Rempang setelah terjadi penolakan dari masyarakat setempat.
Lain Rempang, lain lagi PSN dengan Proyek Pagar Laut. Proyek Pagar Laut yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), telah menjadi sorotan publik karena berbagai isu yang menyertainya. Proyek ini, yang diinisiasi oleh Agung Sedayu Group dengan investasi sebesar Rp 39,7 triliun. Proyek ini bertujuan mengembangkan kawasan Green Area dan Eco-City (news.republik.co.id, 12/01/2025).
Namun, secara umum, banyak PSN menghadirkan konflik baru di tengah masyarakat. Akibat dari proyek ambisius pemerintah yang gagal tersebut, berimbas pada lahan-lahan yang terbengkalai yang telah dirampas dari masyarakat. Evaluasi periodik terhadap PSN dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan proyek-proyek tersebut berjalan sesuai rencana dan memberikan dampak positif bagi perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.
Menteri dan gubernur yang terlibat dalam usulan atau pemberian rekomendasi teknis proyek PSN diharapkan memberikan evaluasi teknis serta rekomendasi untuk kelanjutan proyek tersebut.
Konflik PSN di Indonesia mencerminkan ketegangan antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat adat. Dalam periode 2020-2023, terjadi 115 konflik agraria terkait PSN, melibatkan 516.409 hektare lahan dan 85.555 keluarga terdampak (Kompas.Id, 16/01/2024).
Sementara, Komnas HAM mencatat terdapat 1.675 kasus pelanggaran hak asasi manusia, dengan banyak konflik baru muncul akibat pendekatan keamanan dalam proyek-proyek ini (Kompas.Id, 16/01/2024, Kompas.Id, 23/09/2023).
Kebijakan PSN sering dianggap sebagai alat untuk eksploitasi sumber daya, mengabaikan hak masyarakat lokal dan menyebabkan kerusakan lingkungan (Tempo, 5/01/2025 dan Tempo.co, 5/01/2025).
PSN adalah program pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor strategis lainnya guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Melalui pendekatan sosiologi, kita dapat menganalisis bagaimana PSN memengaruhi struktur sosial, interaksi masyarakat, dan dinamika sosial-ekonomi di Indonesia.
Acapkali PSN melibatkan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran: jalan tol, bandara, pelabuhan, dan fasilitas publik lainnya. Dalam kajian teori struktural-fungsional (Parsons, 1951), disebutkan bahwa perubahan dalam infrastruktur dapat memengaruhi struktur sosial dengan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan mobilitas sosial, dan mengubah pola interaksi masyarakat.
Namun, pembangunan ini juga dapat menimbulkan ketimpangan jika pendistribusiannya tidak merata.
PSN juga memicu hadirnya konflik kelas antara elit pemerintah, pemilik modal, dan masyarakat.
Tentang hal ini, meminjam pandangan Marx (1867) bahwa dampak PSN akan menghadirkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Menurut Marx, pembangunan infrastruktur seringkali menguntungkan kelompok elit atau pemilik modal, sementara masyarakat miskin di daerah terpencil mungkin tidak merasakan manfaat langsung. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan sosial jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang inklusif.
Hal lain, pembangunan infrastruktur dalam PSN amat sering memberi dampak pada lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran air, dan penggusuran lahan. Dalam pandangan sosiologi lingkungan, dijelaskan perubahan lingkungan dapat memengaruhi kehidupan sosial masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat atau petani kecil. Dampak sosial ini perlu diantisipasi melalui kebijakan yang berkelanjutan. (Dunlap & Catton, 1979).
Seharusnya, PSN melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi proyek, ini yang harus diperhatikan kepala daerah terpilih. Hal ini perlu ditekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat melalui keterlibatan aktif. Tanpa partisipasi masyarakat, proyek-proyek PSN dapat menghadapi resistensi atau bahkan gagal mencapai tujuannya (Freire, 1970).
Selain partisipasi, sangat diperlukan pula lembaga sosial seperti pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat untuk memainkan peran kunci dalam implementasi PSN. Secara teoritis, dapat dikatakan, lembaga-lembaga ini berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama (Meyer dan Rowan, 1977). Di mana kolaborasi antarlembaga ini penting untuk memastikan keberhasilan PSN.
Dengan demikian, PSN dapat meningkatkan mobilitas sosial dengan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan akses terhadap fasilitas publik, apabila perubahan struktural seperti pembangunan infrastruktur dapat membuka peluang bagi individu untuk meningkatkan status sosial dan ekonominya (Merton, 1968).
PSN memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia secara umum dan di daerah-daerah yang menjadi basis PSN. Melalui berbagai pendekatan, dapat dipahami bagaimana PSN memengaruhi interaksi masyarakat, mengurangi atau memperlebar ketimpangan sosial, serta menciptakan peluang untuk mobilitas sosial.
Secara keseluruhan, meskipun ada upaya dari beberapa kepala daerah untuk memenuhi janji mereka dalam menangani konflik PSN, masih terdapat tantangan signifikan dalam implementasinya. Partisipasi aktif masyarakat dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik yang timbul akibat proyek-proyek ini.
Benarlah apa yang pernah diingatkan dalam argumentasi Yoshihara Kunio (1990) melalui karyanya Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Kunio berargumen bahwa kapitalisme di Asia Tenggara tidak berkembang berdasarkan inovasi, efisiensi, atau kewirausahaan sejati sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju.
Sebaliknya, kapitalisme di kawasan ini lebih bersifat “semu” karena berkembang melalui koneksi politik, monopoli, dan perlindungan negara terhadap kelompok bisnis tertentu. Kunio mengatakan, di banyak negara Asia Tenggara, ekonomi dikuasai oleh segelintir elit bisnis yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah. Bukannya membangun industri yang kompetitif, Kunio melanjutkan, kelompok ini lebih mengandalkan perlindungan negara, subsidi, atau hak eksklusif untuk menguasai sektor tertentu.
Idealnya, elit pemerintah daerah tidak hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok pemodal, atau investasi kalau hanya merugikan daerah dan lingkungan. Kepala daerah harus memiliki semangat dan jiwa nasionalisme untuk melindungi masyarakat, dan bahkan memihak kepada kepentingan masyarakat.
Kita menunggu janji kepala daerah untuk melindungi dan memajukan daerah usai mereka dilantik atau 100 hari kepemimpinan mereka. Wallahualam bissawab. []
—–
*Penulis merupakan dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate.