Marah, Sekali Lagi

Bahkan ketika berniat baik untuk bersubsidi membantu rakyatnya, negara ini justru mengkamuflase dan membisniskan hak kita untuk bertahan hidup di tengah belenggu yang mereka ciptakan sendiri.

Demonstrasi Indonesia Gelap digaungkan oleh ratusan mahasiswa di Kota Ternate, Maluku Utara, pada 24 Februari 2025. Foto: Rifki Anwar
Oleh: Rian Hidayat Husni

“Di dalam otak mereka, hanyalah kekuasaan. Di dalam hati mereka, tak ada kepuasan.”
Demikianlah penggalan lirik dari lagu Gelap Gempita yang diprakarsai Sukatani, band musik punk di Indonesia yang saban hari ini menyita kemarahan publik karena dibungkam.
Nukilan lagu tersebut, rasanya memang sepadan dengan apa yang disematkan kebanyakan demonstran kepada rezim ini. Barangkali juga cocok untuk menyinyir pejabat negara pongah, arogan, korup, dan membabibuta ketika berkuasa.
Baca Juga:  Muis Djamin: Persepsi Doktor Helmi ke Elang Sangat Keliru dan Tendensius
Lagu Sukatani lainnya, berjudul “Bayar, Bayar, Bayar” yang berisi kritikan terhadap polisi, juga memicu reaksi khalayak luas, sekaligus menambah daftar panjang pemberedelan karya seni di Indonesia.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo bahkan meminta band ini menjadi duta Polri guna membangun kritik terhadap institusi yang dipimpinnya. Tentu setelah lagu ini viral dan memicu amarah publik.
Karya musik Sukatani dan banyaknya lagu perlawanan yang mengentak di jagad media sosial dan seringkali kita dengarkan, kini menjembatani kemarahan publik kepada pemerintah.
Baca Juga:  Pengelola Coffee Jojobo Harus Tahu Diri
Rasa marah itu lahir dari mereka yang tidak hanya menyimpan kebenaran di dalam hati, tetapi mau mengeksekusinya di jalan.
Emosi, empati, dan sikap yang didorong oleh sebuah instrumen lagu, kadang-kadang akan membuncah menjadi kemarahan tak terhingga. Kemarahan yang mengantarkan anak-anak bangsa ini dengan lantang menyerukan “Indonesia Gelap”.
Tentu pelbagai faktor melatarbelakangi kemarahan kita kepada negara akhir-akhir ini. Belum habis kasus gas elpiji 3 kg dan kebijakan serampangan yang disuarakan demontran di aksi Indonesia Gelap, kini muncul skandal korupsi di tubuh Pertamina yang mengoplos Pertalite jadi produk Pertamax yang setiap saat dicekoki untuk rakyat.
Baca Juga:  Rasisme, Pers, dan Pesan-pesan Politik
Bahkan ketika berniat baik untuk bersubsidi membantu rakyatnya, negara ini justru mengkamuflase dan membisniskan hak kita untuk bertahan hidup di tengah belenggu yang mereka ciptakan sendiri.
Gumpalan kemarahan atas bablasnya negara ini makin membatu ketika kita menyaksikan kebenaran dari kasus-kasus tersebut justru dikekang oleh aparat keamanan dan mereka yang berkali-kali menumpulkan jeratan hukum.
Begitu banyak tuntutan mahasiswa di jalan yang hendak disampaikan ke penguasa, tetapi di saat bersamaan, mereka dihadang barikade polisi. Negara dan pemangku-pemangkunya seperti pelaku pencabulan yang bersikeras mengakui kesalahannya setelah menelanjangi rakyat.
Baca Juga:  Krisis Pangan, Nyatakah?
Amarah yang sama terus menampar kita saat menyaksikan hiruk-pikuk masalah di negeri ini. Sementara penguasa kita tampaknya enggan menerima kenyataan ini di awal kepemimpinannya.
Alih-alih mendepak pejabat korup, dia malah merespons tuntutan rakyat dengan ucapan “siapa bilang Indonesia gelap?.” Atau barangkali, seharusnya, dia perlu mencemooh para pejabat itu dengan “ndasmu!”.
Dalam kondisi yang tak menentu ini, kita dipaksa harus marah sekali lagi, bahkan berkali-kali…
Baca Juga:  Halmahera Tengah dan Jejak Politik Para Figurnya

*Penulis merupakan redaktur pelaksana di cermat.co.id