Perspektif

Menggugat Kultur Komando di Tubuh Kejaksaan

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*

 

KETIKA Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kita tidak serta-merta punya sistem hukum baru. Hukum acara kolonial HIR dan RBg masih dipakai. Pengadilan untuk bumiputra disebut landraad, sedangkan untuk orang Eropa ada Raad van Justitie.

Penuntut umum kala itu disebut magistraat. Posisi ini unik karena bisa sekaligus menjadi hakim pemeriksa (rechter commissaris) dan penuntut umum (openbaar aanklager). Artinya, fungsi kehakiman dan penuntutan belum benar-benar dipisahkan.

Begitu Indonesia merdeka, istilah asing itu diganti dengan istilah yang katanya lebih “nasionalis” yaitu “jaksa”. Sebutan ini diambil dari kosa kata hukum Jawa kuno. Dalam naskah Negarakertagama abad ke-14, dikenal pejabat adhyaksa yaitu pengawas hukum yang memberi nasihat kepada raja. Dari lidah orang Jawa, “adhyaksa” berubah menjadi “jaksa”.

Pada 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengangkat Gatot Tarunamihardja sebagai Jaksa Agung pertama Republik. Sejak saat itu, Kejaksaan berdiri sebagai lembaga negara.

Dari Sipil ke Semi-Militer

Namun, perjalanan Kejaksaan tidak pernah steril dari politik. Pada masa revolusi (1945–1949), jaksa bukan hanya menuntut perkara, tetapi juga ikut menjaga stabilitas keamanan. Fungsi sipil mulai bersinggungan dengan militer.

Puncaknya datang di era Demokrasi Terpimpin (1959–1965), melalui UU No. 15 Tahun 1961, Kejaksaan disebut sebagai alat revolusi. Jaksa tidak lagi sekadar penuntut umum, melainkan juga penjaga ideologi Nasakom, keamanan nasional, bahkan pelaksana politik hukum Presiden. Jaksa Agung langsung berada di bawah Presiden, bukan Menteri Kehakiman.

Sejak itulah kultur komando lahir semua jaksa, dari pusat hingga daerah, tunduk mutlak pada instruksi Jaksa Agung. Tak hanya itu, Kejaksaan dipoles mirip militer pakai seragam, pangkat, dan rantai komando.

Kultur ini membuat kejaksaan kerap jadi alat politik. Jaksa Agung era Soekarno, seperti R. Soeprapto dan Soegih Arto, sering tampil dalam isu politik. Lawan politik bisa dijerat dengan tuduhan subversi. Pers bisa dikontrol. Partai bisa dibubarkan.

Kejaksaan berubah fungsi dari “pengacara negara” menjadi “tangan kekuasaan”. Ia tidak hanya berurusan dengan tindak pidana, tetapi juga perkara ideologi dan politik.

Reformasi, Tapi Masih Setengah Hati

Reformasi 1998 membuka jalan perubahan. Melalui UU No. 16 Tahun 2004, Kejaksaan didefinisikan ulang sebagai lembaga pemerintah di bidang penuntutan. Tidak lagi disebut “alat revolusi”. Ada penekanan baru pada HAM dan kepentingan umum.
Namun, sistem dasarnya tetap sama. UU organik terbaru masih menempatkan Jaksa Agung sebagai pejabat negara yang diangkat Presiden. Struktur komando tetap vertikal. Jaksa masih berseragam ala militer.

Memang ada kelebihannya yakni keseragaman penuntutan di seluruh Indonesia. Tetapi kelemahannya lebih mencolok mudah diintervensi politik, kaku secara birokrasi, dan independensinya diragukan.

Belajar dari Amerika

Sebagai perbandingan, mari tengok Amerika Serikat. Di sana, jaksa dipandang sebagai lawyer for the people atau pengacara publik, bukan alat kekuasaan.

Sistemnya memang berbeda. Di level federal, ada U.S. Attorney di bawah Departemen Kehakiman (Department of Justice). Tapi di level negara bagian, ada State Attorney General dan District Attorney (DA). Yang menarik, banyak DA dipilih langsung melalui pemilu lokal. Mereka bertanggung jawab kepada publik, bukan kepada presiden atau gubernur.

Karena dipilih, DA punya diskresi luas. Ia bisa menentukan apakah sebuah kasus dituntut atau tidak. Tidak ada seragam, pangkat, atau rantai komando. Statusnya lebih dekat dengan advokat ketimbang pejabat birokrasi. Publik bisa “menghukum” DA yang gagal dengan tidak memilihnya lagi.

Saatnya Reformasi Kultur: Melepas Bayang Komando

Kita tentu tidak bisa menyalin mentah-mentah model Amerika. Tetapi ada prinsip yang bisa dipetik: jaksa harus ditempatkan sebagai profesi sipil yang independen, bukan sebagai pejabat berpangkat dalam struktur komando.

Selama kultur komando ala militer masih dipertahankan, kejaksaan sulit benar-benar bebas dari intervensi politik presiden. Padahal, dalam negara demokrasi modern, jaksa seharusnya berdiri sebagai penegak hukum yang kredibel dan dipercaya publik.

Kini, hampir delapan dekade setelah Indonesia merdeka, sudah waktunya bertanya: apakah kita ingin kejaksaan tetap menjadi mesin birokrasi yang tunduk pada komando, atau menjadi lembaga sipil yang independen, berdiri tegak di atas hukum dan keadilan?
Kultur komando boleh jadi menjamin keseragaman, tetapi juga menjadikan jaksa seperti tentara hukum yang lebih loyal pada atasan ketimbang pada keadilan. Jika kita terus memelihara warisan ini, maka kejaksaan hanya akan jadi bayangan masa lalu, lebih mirip lembaga totalitarian ketimbang institusi hukum modern.

Reformasi sejati mensyaratkan keberanian untuk mengembalikan kejaksaan ke jati diri sipilnya. Jaksa bukan serdadu, melainkan pengacara rakyat. Dan hukum hanya bisa benar-benar menjadi panglima bila jaksa berani berdiri tanpa komando.

——

*Penulis: Praktisi hukum dan pengajar di Fakultas Hukum Unkhair 

cermat

Share
Published by
cermat

Recent Posts

Dishub Ternate Klaim Skema Jual Blok Bisa Tingkatkan Pendapatan Daerah

Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Ternate mulai menerapkan skema jualan blok yang diyakini dapat mendongkrak Pendapatan…

2 jam ago

Polisi Gagalkan Penyelundupan Belasan Karton Bir Hitam di Patani Utara

Kepolisian Subsektor (Polsubsektor) Patani Utara berhasil menggagalkan upaya penyelundupan minuman keras (miras) jenis bir hitam,…

2 jam ago

Beasiswa Weda Bay Hadirkan Harapan Baru untuk Generasi Muda Halmahera

Sebuah surat elektronik masuk ke gawai Tesalonika Bane di sela-sela kesibukannya mengerjakan tugas kuliah. Matanya…

3 jam ago

Aliansi Morotai Jaya Minta Pemda Cabut Izin Tambang Pasir Besi

Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Morotai Jaya Tolak Tambang menggelar aksi unjuk rasa…

5 jam ago

Puluhan Pasutri di Ternate Ikut Sidang Isbat Nikah yang Digelar Pemkot

Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menggelar sidang terpadu Isbat Nikah…

6 jam ago

Wakili Malut di Piala Presiden, Ini Jadwal Pertandingan IM Ternate U-12

Klub sepak bola Indonesia Muda (IM) Ternate usia 12 tahun resmi mewakili Maluku Utara di…

6 jam ago