Perspektif

Menjadi Hakim Adalah Jalan Sufi: Menimbang Ulang Etika Kehakiman Kita

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*

 

DALAM sistem peradilan modern, jabatan hakim kerap dianggap bagian dari jenjang karier. Seorang calon hakim memulai dari tingkat bawah, lalu perlahan naik menjadi hakim tinggi, bahkan hakim agung, bergantung pada kinerja, senioritas, dan penilaian atasan. Terlebih lagi, hakim sering diposisikan sebagai karier birokratik. Ada jenjang, promosi, insentif, hingga target administratif.

Istilah “hakim karir” bahkan menjadi istilah resmi di lembaga peradilan. Namun, kita perlu merenung ulang bertanya secara lebih jujur dan mendalam: bolehkah keadilan dititipkan di pundak orang yang menjalani hukum sebagai urusan jabatan dan pencapaian duniawi?

Hakikat seorang hakim sesungguhnya jauh lebih berat daripada sekadar “pegawai” lembaga peradilan. Ia memegang kekuasaan atas hak, harta, kebebasan, bahkan kadang nyawa seseorang. Karena itulah, dalam banyak peradaban, hakim selalu dipandang sebagai profesi yang luhur dan sakral.

Akan tetapi, keadilan sejati tidak bisa lahir dari batin yang masih dirundung ambisi. Ia hanya mungkin ditegakkan oleh seseorang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, yang telah melampaui dorongan kepentingan pribadi. Dalam khazanah Islam, pribadi seperti itu disebut sebagai sufi—seseorang yang hidup dalam kejujuran batin, keheningan hati, dan kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Tuhan.

Mengapa Hakim Harus Berjiwa Sufi?

Seorang sufi tidak tergoda oleh harta, tidak bergantung pada pujian, dan tidak gentar menghadapi ancaman. Ia hanya melihat kepada kebenaran yang hakiki, bukan kepada kalkulasi untung-rugi. Kualitas ini pula yang dibutuhkan seorang hakim: independen, jernih, dan tidak berkompromi pada tekanan luar.

Dalam banyak kisah sejarah, kita mendapati tokoh-tokoh besar yang menghindari jabatan hakim karena menyadari betapa beratnya tanggung jawab tersebut. Imam Abu Hanifah, misalnya, pernah menolak tawaran menjadi qadi dari penguasa. Alasannya bukan karena tidak mampu, tetapi karena takut tidak mampu berlaku adil di tengah tekanan politik dan kekuasaan. Penolakan itu membuatnya dipenjara.

Dalam tradisi Islam klasik, posisi qadi (hakim) bukan karier biasa. Ia adalah panggilan jiwa yang hanya bisa dijalankan oleh mereka yang memiliki kombinasi antara keilmuan dan kebeningan batin. Ibnu Rusyd—hakim agung Andalusia yang juga filsuf besar—menyandang jabatan qadi bukan karena ambisi, melainkan karena kapasitas intelektual dan integritas moralnya. Imam Malik pernah menjadi hakim tidak resmi dan tempat rujukan hukum di Madinah. Meskipun tidak duduk sebagai qadi formal, otoritas hukumnya diakui luas.

Banyak ulama besar lainnya—Imam Syafi’i, Al-Mawardi, hingga Qadi Iyadh—menjabat atau ditawari posisi kehakiman, tapi selalu dengan kehati-hatian dan rasa takut yang besar karena beratnya tanggung jawab. Jabatan hakim bukan karir untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sebaliknya, ketika jabatan hakim diberikan kepada mereka yang mengejarnya demi karier, maka keputusan hukum bisa dipengaruhi oleh kepentingan tersembunyi. Hukum kehilangan ruh, dan keadilan tereduksi menjadi formalitas.

Krisis Etika dalam Kehakiman Modern

Realitas hari ini memperlihatkan betapa mudahnya putusan pengadilan disusupi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Banyak hakim terjerat kasus etik atau bahkan korupsi. Ini bukan semata-mata kegagalan sistem, melainkan kegagalan spiritual: jabatan tinggi dipercayakan kepada jiwa yang belum matang secara batin.

Jika seorang hakim masih tergoda untuk menyenangkan atasannya demi promosi, atau takut mengambil keputusan yang benar karena tidak populer, maka ia belum layak menjadi penentu keadilan. Sebaliknya, jika ia telah mampu menahan diri dari hawa nafsu, tidak terpikat oleh fasilitas, dan teguh dalam pendirian, maka ia layak disebut sebagai “hakim sufi”.

Saatnya Menata Ulang Etika Kehakiman

Sudah saatnya sistem kehakiman tidak hanya menilai hakim dari kinerja administratif, tetapi juga dari integritas moral dan kematangan spiritual. Pendidikan hukum harus mulai dipadukan dengan pendidikan etika dan nilai-nilai kebatinan. Jabatan hakim harus didekati dengan semangat pengabdian, bukan ambisi.

Dalam bahasa sederhana: hakim bukan pencari pangkat, tetapi penjaga amanah. Dan amanah itu terlalu mulia untuk dibebankan pada orang yang belum selesai dengan urusan dirinya sendiri.

Status Hakim Bukan untuk Mereka yang Mengejarnya

Salah satu prinsip dalam etika kekuasaan Islam menyatakan bahwa “orang yang meminta jabatan, maka jangan diberi; karena kemungkinan besar ia akan menggunakannya untuk dirinya, bukan untuk keadilan. Prinsip ini sangat relevan bagi dunia kehakiman hari ini.

Menjadi hakim bukan sekadar menguasai kitab undang-undang. Ia adalah jalan berat yang hanya bisa ditempuh oleh jiwa yang telah jernih, bebas dari ambisi, dan berani berdiri sendiri dalam keadilan. Dengan kata lain, hakim sejati harus sudah seperti seorang sufi—bersih hati, rendah diri, dan tak gentar pada selain Tuhan.

Dengan demikian, status hakim berarti menerima beban yang berat di dunia, dan lebih berat lagi di akhirat. Karena itu, hanya mereka yang berjiwa sufi—yang bersih, jujur, dan takut kepada Tuhan—yang pantas menyandang status atau jabatan ini. Jika tidak, maka yang diputuskan bukanlah keadilan, melainkan beban kerjaan birokrat teknis sehari-hari atas nama hukum.

——

*Penulis merupakan praktisi hukum sekaligus pengajar di Universitas Khairun Ternate 

cermat

Recent Posts

Staf RSUD Ir Soekarno Morotai Sayangkan Polemik SK Jasa Pelayanan

Sejumlah staf di RSUD Ir Soekarno Pulau Morotai, Maluku Utara, menyayangkan polemik penyusunan Surat Keputusan…

8 jam ago

Kapolres Halsel Lantik Pamapta SPKT, Perkuat Pelayanan Publik Menuju Polri Presisi

Kapolres Halmahera Selatan, AKBP Hendra Gunawan, resmi melantik pejabat baru pada jabatan Pamapta Sentra Pelayanan…

9 jam ago

Hari Pertama Bertugas, Kajati Sufari Janji Berantas Korupsi di Maluku Utara

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku Utara yang baru dilantik, Sufari, menegaskan komitmennya untuk memberantas praktik…

11 jam ago

Polda Maluku Utara Tetapkan Satu Tersangka Kasus Kayu Ilegal di Pelabuhan Morotai

Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Maluku Utara menetapkan satu orang tersangka dalam kasus…

11 jam ago

Wujudkan Komitmen Zero Accident, NHM Tingkatkan Kesiapsiagaan Lewat Simulasi Tanggap Darurat B3

Sebagai bentuk komitmen terhadap penerapan Good Mining Practice dan mendukung program Keselamatan dan Kesehatan Kerja…

12 jam ago

Sinergi Industri dan Akademisi, NHM Ajak Mahasiswa UNKHAIR Eksplorasi Geologi Gunung Gamalama

Dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang geosains dan sejalan dengan program Kementerian…

12 jam ago