Penulis: Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H
Pada 13 Juni 2023, saya berkesempatan memberi pendapat sebagai Ahli Hukum Kesehatan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sidang dengan Nomor :21/PUU-XXI/2023 itu terkait Pengujian Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Terhadap Pasal 28C avat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, pada 31 Maret 2023, saya juga memberi pendapat sebagai narasumber daIam kegiatan Focus Group Discussion Partisipasi Publik Rancangan Undang-Undangan Kesehatan yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama Fakultas Hukum UGM Yogyakarta.
Dalam kegiatan tersebut, saya sampaikan bahwa daIam RUU Kesehatan, sudah seharusnya memasukan dan mengatur Peradilan Profesi Medis di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hal itu memiliki dua tujuan secara materiI maupun formil.
Walaupun secara norma, pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) disebut dalam UU 29 Tahun 2004. Namun, kedudukan MKDKI sangat rancu, bahkan tidak layak secara hukum untuk mengadiIi pelanggaran disiplin keilmuan dokter. Sebab, posisi MKDKI hanya merupakan perpanjangan tangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKl).
Sementara pada sisi lain, sebagaimana dalam Peraturan Konsil Kedokteran lndonesia Nomor 16/KKl/PER/Vlll/2006, MKDKI telah melakukan kegiatan peradilan yang memiIiki dampak secara disiplin sekaligus dampak hukum (quasi-judicial/institutions).
Tak heran, sampai hari ini, banyak pertanyaan yang muncul, apa yang dilakukan MKDKI, apakah kegiatan yudisial atau bukan? Apabila kegiatan MKDKI adalah yudisial, mengapa MKDKI berada di bawah KKI yang bertanggung jawab kepada Presiden yang adalah rumpun eksekutif, bukan yudikatif? Faktanya, MKDKI hanyalah sebagai panjang tangan yang menjalankan sebagian kewenangan KKI dalam penegakan disiplin.
Maka, ini tidak sesuai dengan prinsip kemandirian institusi peradilan, padahal secara normatif, MKDKI telah melakukan fungsi peradilan, karena telah memeriksa, menilai alat bukti dan memutuskan suatu kesalahan profesionalitas keilmuan dokter. Bahkan, putusan MKDKI bisa menjadi direct evidence dalam pembuktian baik dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata.
Menurut saya, suatu institusi yang tugasnya memeriksa, mengadili, dan mengeluarkan putusan yang sifatnya law enforcement, termasuk juga dalam wilayah penegakan disiplin, sepatutnya putusan tersebut tidak bisa dimaknai secara final and binding. Sebab, yang diperiksa adalah suatu fakta dan/atau peristiwa hukum yang bisa saja dalam pemeriksaannya memiIiki kekurangan alat-alat bukti dan ratio decidendi hakim yang menurut Teradu tidak rasional dan tidak memenuhi rasa keadilan.
Hal ini berbeda dengan putusan final and binding yang dimiliki Mahkamah Konstitusi. Karena, yang diperiksa Mahkamah Konstitusi adalah bukan fakta hukum, melainkan menguji norma hukum undang-undang baik materil dan formil dengan Undang-Undang Dasar 1945 vane bersifat abstrak. Di dalamnya terkandung muatan filsafat hukum dan asas hukum bahkan nilai-nilai profetik lslam secara implisit.
Disiplin keilmuan kedokteran dalam spektrum yang luas, tidak hanya terkait dengan penerapan keilmuan yang rasional, sistematis, penuh pengabdian dan profesionalitas. Akan tetapi, penerapan disiplin keilmuan kedokteran juga memiIiki hubungan langsung dengan norma hukum pidana yang sifatnya adalah kepentingan publik (public interest).
Dalam Criminal Justice System, metode pembuktiannya adalah negatief wettelijk bewijs teori, dan hakikat pembuktian untuk mencapai kebenaran materiI, seperti dalam adagium hukum, “in criminibus probationes debent esse luse clariores” (bahwa bukti harus lebih terang dari cahaya).
Seharusnya, rancangan awal Penegakan Disiplin (MKDKI) dalam UU Praktik Kedokteran Tahun 2004, terintegrasi dengan hukum pidana formil, dan/atau hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung. Karena, disiplin keilmuan kedokteran merupakan bagian dari tindakan medis dokter yang telah masuk sebagai delik khusus dalam hukum pidana.
Di Belanda, pada tahun 1928, dibentuk Pengadilan Disiplin Medis yang bertujuan menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, untuk melindungi pasien dari tindakan tidak kompeten dokter. Tuchtcolleges in Nederland atau Tuchtcollege Caribisch Nederland (Pengadilan Disiplin Medis) itu susunan anggotanya terdiri dari 5 anggota. Di antaranya 2 pengacara dan 3 orang dari disiplin ilmu yang sama dengan dokter yang diadiIi. Di mana, dalam putusan Pengadilan Disiplin Medis Belanda itu terdapat upaya ‘banding’. Dan menurut saya, MKDKI dibentuk, sepertinya mengambiI contoh dari pengadilan disiplin di Belanda, hanya saja MKDKI tidak mengenal evaluasi dan/atau upaya hukum banding.
Pertama, dalam konteks ius constitutum, seharusnya segala proses penegakan disiplin yang berlaku hari ini di MKDKI, secara hukum dapat dilakukan evaluasi dan/atau upaya hukum banding bahkan kasasi. Hal ini mengingat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945 yang dijadikan sebagai landasan konstitusional judicial review.
Apabila diIakukan ‘sistematisasi’ terhadap norma hukum Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Pengakuan, Janinan, Perlindungan dan Kepastian Hukum yang adil serta Perlakuan yang sana di hadapan hukum” dengan makna norma dalam Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran. Norma hukum “Kepastian Hukun yang Adil” dalam Pasa| 28D ayat (1) UUD 1945, bukanlah kepastian hukum prosedural dalam spektrum positivisme hukum. Maka seharusnya menciptakan wadah evaluasi atau upaya hukum banding terhadap putusan atau rekomendasi yang dikeluarkan oleh MKDKI.
Apabila merujuk pada Techtool leges in Nederland dan/atau Tuchtcollege Caribisch Nederland terdapat upaya “Banding”, maka secara hukum, putusan MKDKI juga dapat dibenarkan terdapat upaya evaluasi atau banding. Hal ini dapat dibenarkan, karena dalam penafsiran sistematis dan penafsiran historis hukum lndonesia dan hukum Belanda berada dalam bingkai sistem hukum civil law.
Secara ius constituendum, maka harus menghapus MKDKI, di mana penyelesaian sengketa medis termasuk penegakan disiplin keilmuan dokter diselesaikan di Pengadilan Negeri. Hal ini senada dengan pandangan John Rawls, bahwa betapapun elegan hukum harus “direformasikan” atau “dihapus” jika tidak adil. “Lex esse von vedatur, quae justa non feurit” , artinya apabila tidak ada keadilan, maka tidak layak disebut hukum.
——–
Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H, Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate berpotensi menjemput paksa terdakwa kasus penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran…
Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku Utara dalam waktu dekat akan menggelar…
Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…