Warga Maba Sangaji mulai merasa kuatir untuk mengonsumsi sumber air Kali Sangaji. Bercak lumpur agak kemerahan di bagian dasar kali diduga akibat operasi pertambangan. Foto: Agus/Istimewa
MASIH terbesit penyesalan di wajah Ahmad ketika menuturkan nasib Kali Sangaji di Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, siang itu saat disambangi, Minggu, 20 Juni 2025.
Pria paruh baya itu tak dapat menyangkal bahwa Kali Sangaji kini tidak sejernih dulu. Endapan lumpur cokelat dengan bercak agak kemerahan makin sering tampak ke permukaan. Bagi warga, fenomena itu seperti “noda” tambang yang mencemari kehidupan mereka.
Dulu, Kali Sangaji menjelma mata air yang senantiasa memberi kehidupan. Ia menjadi penyangga seluruh kehidupan warga di sana: mulai dari memasak, mandi, memancing, hingga menjadi jalur transportasi mereka ke kebun.
“Sekarang kalau kondisinya begini (tercemar), kami jadi takut ambil air,” kata Ahmad.
Kali Sangaji memiliki bentang luas. Umumnya, sungai-sungai di daratan Pulau Halmahera memang berperan penting sebagai kebutuhan mendasar masyarakat sekitar.
“Kalau ke kebun, kami biasa ambil persediaan air di kali ini. Juga digunakan untuk olahan sagu. Sebagian warga mata pencahariannya bikin sagu,” tuturnya.
Sepanjang yang diingatnya, Ahmad menuturkan, perubahan warna air di Kali Sangaji mulai mencolok sejak operasi pertambangan makin masif. Salah satunya ketika PT Position, yang juga mencaplok wilayah adat mereka sejak 2024 lalu.
Setelah perusahaan beroperasi, Ahmad punya firasat kuat bahwa limbah tambang telah mencemari sumber air Kali Sangaji. Itu terjadi lantaran perubahannya cukup kasat mata.
Dugaan pencemaran makin menguat jika terjadi musim hujan. Rasa was-was pun menghantui warga jika mengonsumsi sumber air tersebut. “Kami kuatir ada kandungan kimia yang berbahaya.”
Ia bilang, dampak lain pun timbul dari fenomena itu. Hasil tanaman warga di kebun dekat bantaran kali dimungkinkan akan musnah dan tidak lagi subur.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara menyebutkan dugaan pencemaran terjadi pada wilayah daerah aliran sungai atau DAS Kali Sangaji. Di sana, terdapat sejumlah izin operasi pertambangan.
“Kalau tidak ditangani secara serius, masalah ini akan terjadi terus-menerus, perusahan melakukan pencemaran sesuka mereka,” kata Manajer Advokasi Walhi Malut, Mubaligh Tomagola.
Menurut ia, setidaknya ada empat perusahaan tambang beraktivitas di sekitar kawasan DAS Kali Sangaji. Selain PT Position, perushaan lainnya adalah PT Weda Bay Nickel (WBN), PT Semarak Tambang Mandiri (STM), PT ESU, dan PT Persis.
“Perusahaan-perusahaan ini patut bertanggung jawab atas dugaan pencemaran yang mereka lakukan sehingga mengorbankan Kali Sangaji,” ujarnya.
Ia turut mendesak agar fenomena kerusakan ekologi warga Halmahera Timur ini menjadi perhatian serius pemerintah provinsi Maluku Utara.
Dari gesturnya, Ahmad tampak risau kala ditanya apakah warga akan melakukan perlawanan terhadap kerusakan alam yang disebabkan oleh pertambangan. Ia mengaku pesimis.
Perjuangan warga Maba Sangaji mempertahankan tanah leluhur mereka memang berakhir pilu. Pada Mei lalu, polisi menetapkan 11 warga Maba Sangaji sebagai tersangka setelah berjuang memprotes PT Position karena menyerobot lahan mereka.
Unjuk rasa warga menuntut haknya itu disebut polisi sebagai bentuk premanisme yang menganggu investasi. Kini, 11 warga Maba Sangaji mendekam di Lapas Ternate buntut protes tersebut.
Di sisi lain, Ahmad mengaku menyesalkan petakan lahan yang hanya dihargai Rp2.500 permeter oleh perusahaan.
“Ini bukan soal uang. Bahkan tanah kuburan tidak bisa dibayar Rp 2.500 per meter. Ini soal harga diri dan masa depan anak cucu kami,” ujar Ahmad.
Bagi Ahmad dan warga lain, tanah bukan sekadar aset ekonomi, ia bagian dari identitas, sejarah, dan kehormatan mereka sebagai penerus leluhur. “Kalau sampai tanah itu dijual murah, kami merasa leluhur kami dilecehkan,” tegasnya.
PT Position, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah itu, juga dituding sebagai biang kerusakan lingkungan.
“Tanaman seperti pala dan kelapa di sekitar sungai mulai mengering, ikan-ikan mati, dan air sudah tak bisa dikonsumsi,” ucapnya.
Sebelum tambang menambatkan izinnya, kata dia, Kali Sangaji sejatinya menopang hidup warga untuk mengolah sagu, mandi, memasak, hingga menjadi sumber air minum. Namun saat ini tak lagi dimanfaatkan akibat perubahan warna air.
“Kami takut ini berpengaruh pada kesehatan sehingga kami tak lagi berani untuk menggunakan air dari kali sangaji,” ujar Ahmad.
Ahmad menuturkan, alih-alih mendapat perlindungan, warga justru dijerat dengan hukum. Belasan warga yang ditangkap memicu kondisi trauma bagi Ahmad dan warga yang mempertahankan tanah leluhurnya. “Kami hanya berharap ada keadilan,” pungkasnya.
Suryati Hi Kota, 42 tahun, hanya bisa menatap kosong halaman rumahnya yang dikelilingi ilalang. Siang…
Kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyertaan modal di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) milik…
Jajaran Polres Ternate, Maluku Utara, mengamankan ratusan liter minuman keras (miras) jenis Baijiu asal Tiongkok…
Upaya mempertahankan tanah leluhur, bagi warga yang hidup berdampingan dengan industri pertambangan, kini makin sulit…
Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur bergerak cepat menyikapi kerusakan jembatan Kali Beb di Desa Sowoli, Kecamatan…
Anggota DPRD provinsi Maluku Utara dr. Haryadi Ahmad mengapresiasi komitmen PT Smart Marsindo di bidang…