Oleh: Herman Oesman*

“… kita harus mendorong kebijakan yang memulihkan martabat kerja, memperluas perlindungan sosial, dan menghindari jebakan sistem yang hanya untungkan segelintir elit pasar.”

SEBUAH tawaran analisis yang menggugah mengenai perubahan struktur kelas dalam masyarakat global kontemporer, tertuang dalam karya
Guy Standing melalui bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011). Standing memperkenalkan istilah “prekariat” untuk menggambarkan kelas sosial baru yang hidup dalam kondisi kerja yang tidak stabil, tidak memiliki jaminan sosial, dan rentan secara ekonomi maupun psikologis.

Prekariat, menurut Standing, bukan hanya sekadar fenomena ekonomi, melainkan juga gejala sosial dan politik yang menciptakan ketegangan baru dalam demokrasi modern.

Konsep prekariat tak bisa dilepaskan dari dampak neoliberal yang sejak 1970-an telah mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja secara global. Privatisasi, deregulasi, dan pemangkasan perlindungan sosial telah melahirkan kondisi kerja yang tidak menentu, kontrak jangka pendek, pekerjaan temporer, dan gig economy. Standing menegaskan bahwa “prekualitas telah menjadi sebuah kondisi kehidupan” (Standing, 2011: 1).

Dalam hal ini, prekariat bukanlah sekadar mengalami kemiskinan, tetapi mereka menghadapi situasi ketidakpastian struktural yang berlangsung terus-menerus.

Prekariat bukan bagian dari proletariat dalam pengertian Marxis klasik. Jika proletariat menjual tenaga kerja mereka demi upah, maka prekariat acapkali menjual waktu dan keterampilan mereka secara terfragmentasi, bahkan tanpa jaminan pendapatan tetap. Mereka bisa jadi memiliki pendidikan tinggi, tetapi tidak memiliki akses terhadap pekerjaan yang stabil. Hal ini menciptakan ketegangan psikologis yang mendalam karena ketidakpastian menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Karakter

Standing mengidentifikasi beberapa karakter utama prekariat: Pertama, ketidakamanan pekerjaan: tidak ada kontrak jangka panjang, tidak ada kepastian jam kerja atau penghasilan tetap.

Kedua, keterputusan hak sosial dan politik. Mereka tidak menikmati hak-hak sosial yang dinikmati kelas pekerja tradisional, seperti asuransi kesehatan, pensiun, atau hak serikat.

Ketiga, over-education dan under- employment. Banyak anggota prekariat yang terdidik tetapi bekerja di bawah kualifikasi mereka. Keempat, kurangnya identitas kerja. Tidak adanya keterikatan profesional atau rasa bangga terhadap pekerjaan karena sifatnya yang temporer dan monoton.

Standing menyebut bahwa “prekariat tidak memiliki identitas berbasis pekerjaan yang aman” (Standing, 2011: 12), yang berdampak pada krisis eksistensial. Mereka tidak hanya kehilangan hak-hak ekonomi, tetapi juga dimiskinkan secara kultural dan psikologis.

Kelas Berbahaya

Standing menyebut prekariat sebagai “the new dangerous class”, bukan karena mereka memiliki kecenderungan kriminal, melainkan karena frustrasi mereka terhadap sistem yang tidak memberi kejelasan arah hidup. Kelas ini rentan terhadap ekstremisme politik, populisme, dan gerakan anti-demokrasi karena mereka merasa dikhianati oleh negara dan pasar.

Dalam bab tentang “The Politics of Inferno,” Standing menggambarkan bagaimana prekariat cenderung tertarik pada politik identitas dan gerakan reaksioner karena mereka mencari komunitas dan pengakuan yang hilang dalam kehidupan kerja mereka (Standing, 2011: 121–130). Fenomena ini bisa diamati dalam dukungan terhadap politisi populis di banyak negara yang menjanjikan proteksionisme dan stabilitas kerja.

Fenomena prekariat bukan hanya terjadi di negara-negara maju. Di Indonesia, munculnya gig economy seperti pengemudi ojek online, freelancer digital, dan buruh pabrik kontrak menunjukkan gejala serupa. Meskipun bekerja keras, mereka tidak memiliki perlindungan ketenagakerjaan, tidak mendapatkan tunjangan, dan hidup dalam kecemasan akan masa depan. Ini mencerminkan precarization of labor sebagaimana yang dijabarkan Standing.

Pekerja ojek online di Indonesia, misalnya, menghadapi situasi yang disebut sebagai “pseudo-kemerdekaan”, mereka dianggap mitra, bukan karyawan, sehingga tidak memiliki hak-hak pekerja formal. Hal ini sejalan dengan observasi Standing bahwa prekariat menjadi “penghuni daripada warga negara” (Standing, 2011: 14), yakni orang-orang yang hidup dan bekerja dalam sistem tetapi tidak memiliki hak penuh sebagai warga kerja.

Sebagai solusi terhadap krisis prekariat, Standing mengusulkan ide Universal Basic Income (UBI), sebuah jaminan pendapatan dasar tanpa syarat kepada setiap warga negara. Bagi Standing, UBI dapat menjadi jalan keluar dari jebakan ketidakpastian karena dapat memberikan landasan finansial untuk hidup lebih bermakna dan otonom (Standing, 2011: 166–170).

Namun, ia juga menekankan bahwa perubahan struktural harus terjadi, termasuk reformasi sistem pendidikan, redistribusi waktu kerja, dan penguatan hak-hak sipil ekonomi. Tanpa itu, ketimpangan akan terus memperdalam frustrasi sosial dan membuka ruang bagi kekacauan politik.

Buku The Precariat merupakan sebuah peringatan dini atas transformasi sosial-ekonomi abad ke-21. Standing berhasil menggambarkan munculnya kelas baru yang hidup di pinggiran sistem, tanpa kepastian dan representasi. Prekariat bukan hanya korban sistem, tetapi juga bisa menjadi agen perubahan, asalkan mereka mendapatkan wadah politik dan sosial yang representatif.

Dalam konteks Indonesia dan dunia global, memahami prekariat berarti memahami krisis kerja dan demokrasi masa kini. Kita harus mendorong kebijakan yang memulihkan martabat kerja, memperluas perlindungan sosial, dan menghindari jebakan sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit pasar. []

—–

*Penulis merupakan Dosen Sosiologi FISIP UMMU

cermat

Recent Posts

BKD Haltim Usul Pembatalan Kelulusan 6 PPPK Setelah Terima Laporan Tak Aktif Bekerja

Bandan Kepegawaian Daerah (BKD) Halmahera Timur (Haltim) akhirnya mengusulkan pembatalan kelulusan 6 tenaga Pegawai Pemerintah…

37 menit ago

Kantor Walhi Malut Didatangi Polisi Buntut Protes Film Dokumenter Tentang Kawasi

Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara (Malut) di lingkungan Falajawa Dua, Bastiong Karance, Kota…

2 jam ago

Pemkot Pastikan 19.203 Pekerja di Ternate Diakomodir Melalui Jamsostek

Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Ternate, Maluku Utara, resmi menggelar sosialisasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) bertajuk…

6 jam ago

Operasi Patuh 2025 di Morotai, Satlantas Catat Puluhan Pelanggaran

Satuan Lalulintas (Satlantas) Polres Pulau Morotai, Maluku Utara mencatat puluhan pelanggaran lalu lintas selama dua…

6 jam ago

Tim SAR Tutup Pencarian 2 ABK Kapal Cahaya Timur 02 yang Hilang di Perairan Halmahera Utara

Tim SAR secara resmi menutup operasi pencarian terhadap dua anak buah kapal (ABK) KM Cahaya…

6 jam ago

Pendapatan Retribusi Menurun, DPRD Semprot Pemkot Ternate: Ditigalisasi Penting Diterapkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kota Ternate pada sektor retribusi daerah di akhir kuartal kedua…

12 jam ago