Perspektif

RKUHP dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Dalam rangka memperingati 77 tahun Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (BEM-FH UMMU) melaksanakan dialog publik dengan tema “RKUHP Kado Istimewa Atau Petaka di 77 Tahun Kemerdekaan” di RK Cafe, pada 16 Agustus 2022. 

Dalam kesempatan tersebut, saya hadir sebagai salah satu narasumber dan menyampaikan tentang “RKUHP dan Demokrasi”. Meskipun terkesan mendadak-pendek antara waktu pelaksanaan dengan konfirmasi sebagai narasumber, namun saya tidak punya keberanian untuk menolaknya. Sebagai alumni yang pernah mengawasi institusi tersebut, saya menjadikan ini sebagai bentuk pengawasan terhadap kebijakan negara. Di mana, usia negara makin hari makin naik, sementara keberpihakan kebijakan kepada rakyat kian menurun.

Saya membuka pembicaran diskusi tersebut dengan sebuah laporan Indeks Demokrasi Dunia 2021 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (databoks:14/2/2022). The Economist Intelligence Unit (EIU) mengklasifikasi negara-negara dalam empat kategori rezim demokrasi, yaitu demokrasi penuh (full democracy), demokrasi cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian). Sementara indeks EIU dihitung berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Negara-negara seperti Norwegia, Selandia Baru, Filandia, Swedia, Islandia, Denmark, Irlandia, Taiwan, Australia, dan Swiss merupakan negara yang berada dalam sepuluh besar dengan demokrasi paling baik. Di mana skor tertinggi secara beruntun dipegang oleh Norwegia. Dengan begitu, negara-negara tersebut berada dalam kelompok rezim demokrasi penuh, yaitu negara dengan sistem kontrol pemerintahan baik, sistem peradilan dan penegakan hukum baik, kinerja pemerintah baik, serta media massa yang beragam dan independen. Pertanyaannya, pada peringkat berapakah indeks demokrasi Indonesia pada 2021? Dan dalam kelompok rezim demokrasi yang mana, sebagaimana indeks demokrasi yang dirilis oleh EIU?

Indonesia sendiri berada dalam peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71 dari 165 negara demokrasi. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya menduduki peringkat ke-64, maka kita naik 12 tangga ke atas. Untuk itu, Indonesia berada dalam rezim kelas kedua sebagai negara dengan demokrasi yang cacat. Meskipun pada umumnya negara dalam kelompok itu sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil. Namun, negara-negara demikian masih memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, dan kinerja pemerintah yang belum optimal.

Pasal-pasal Pembungkaman 

Hasrat ingin memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional telah lama disuarakan oleh para sarjana hukum. Gagasan rekodefikasi KUHP nasional mencuat ke permukaan saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang 1963, yang membahas RKUHP, KUH-Acara-Pidana, KUHPerdata, dan KUHDadang (Aliansi Nasional Reformasi KUHP:28/12/2017). Hingga saat ini, Indonesia menggunakan KUHP peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama aslinya wetboek van strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), dan berlaku sejak 1915, berdasarkan Staatsblad 1915:732. Sekalipun telah memproklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia masih menggunakan hukum peninggalan negara Kincir Angin tersebut yang berlaku berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Penantian yang panjang itu, baru disepakati oleh DPR dan pemerintah terkait dengan RUU-KUHP pada penghujung 2019, dan masuk sebagai prolegnas prioritas 2022. Kebijakan pembaharuan hukum pidana dengan membentuk KUHP yang baru digadang-gadang menjadi peletak dasar bagi bagunan sistem hukum pidana nasional Indonesia. Misi dari pembaharuan adalah dekolonisasi KUHP peninggalan/warisan kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana maupun nilai-nilai. Termasuk standar norma yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia dan dunia internasional, sekaligus sebagai refleksi kedaulatan nasional yang bertanggungjawab. Namun, RKUHP yang punya misi besar itu menuai kontroversi pada beberapa ketentuan (pasal-pasal) yang diduga mengancam masa depan demokrasi Indonesia.

Menurut saya, pasal-pasal yang dianggap menghambat jalannya demokrasi dalam RKUHP itu, yakni RKUHP versi 4 Juli 2022: Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 218 ayat (1), “Setiap orang Di Muka Umum menyerang kehormatan dan harkat atau martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Dan ayat (2), “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”.

Ketentuan, Penghinaan Terhadap Pemerintah, Pasal 240, “Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Ketentuan, Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, Pasal 351 ayat (1), “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.    

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau memperkenalkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum. Termasuk menyebarkan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan baik presiden dan wakil presiden, pemerintah sah, dan kekuasaan umum atau lembaga negara akan diberikan sanksi pidana atau didenda. Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan sikap pemerintah kepada rakyat yang tidak ingin dikritik dalam bentuk apa pun dan kepada siapa saja. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi Indonesia.                

Kritik Esensi Demokrasi

Pemerintah sedang berupaya menjauhkan diri dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Mereka ingin bekerja dengan caranya sendiri dan tidak ingin diganggu. Saya sepakat bahwa bangsa ini harus memiliki KUHP yang baru yang lebih mencerminkan jati diri masyarakat Indonesia. Namun, rasanya sangat berlebihan jika RKUHP disahkan dengan beberapa ketentuan seperti di atas. Bahkan, masih banyak terdapat pasal-pasal yang harus didalami kembali yang berpeluang besar menghambat jalannya demokrasi.

Pasal tersebut, mengafirmasi pemerintah membatasi kritikan kepada organ-orang vital  kenegaraan yang memiliki tanggung jawab besar terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat dalam bernegara. Mereka seperti presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintahan daerah, dan lembaga peradilan. Dengan begitu, dapat dibaca bahwa pemerintah kita akan membawa kembali negeri pertiwi kepada sistem otoritarianisme.

Masih tersimpan dalam memori kita, bagaimana sikap pemerintah dan DPR dalam mengesahkan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Cipta Kerja. Meskipun gelombang protes penolakan yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat begitu besar, pemerintah tetap memiliki sikap untuk melanjutkan pembahasan sampai pengesahan, dan sebaliknya mendapatkan sikap represif pihak keamanan.

Hal itu, ketika menggunakan indikator The Economist Intelligence Unit di atas dalam mengukur keberhasilan demokrasi suatu negara, pasal-pasal yang membatasi publik untuk mengawal kebijakan dengan memberikan kritik, maka tak mungkin bila kita akan menunggu waktu demokrasi Indonesia akan terjun bebas. 

Kondisi demokrasi dan sistem hukum kita saat ini, benar adanya sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Jeffrey A. Winters, dalam orasi ilmiahnya yang disampai pada dies natalis FH UGM, berjudul “Oligarki, Demokrasi, dan Rule Of Law di Indonesia” (16/2/2021). Menurutnya, “Demokrasi kita didominasi oleh segelintir orang daripada oleh banyak orang. Dan sistem hukum kita tunduk pada mereka yang kuat daripada mereka yang kuat tunduk pada hukum, seperti yang dilakukan oleh mereka yang lemah.”

Penulis: Tarwin Idris, S.H., M.H., Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.

Editor: Ghalim Umabaihi

cermat

Recent Posts

Admin Status Ternate Terancam Dijemput Paksa Setelah Dua Kali Mangkir dari Panggilan Jaksa

Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate berpotensi menjemput paksa terdakwa kasus penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran…

7 jam ago

Polda Malut Segera Tingkatkan Kasus Dugaan Penyimpangan Distribusi MinyaKita ke Penyidikan

Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku Utara dalam waktu dekat akan menggelar…

8 jam ago

Jaksa Tahan Tiga Anggota Satpol PP Tersangka Kasus Penganiayaan Jurnalis di Ternate

Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…

9 jam ago

Ini Pesan Piet-Kasman untuk 97 CJH Halmahera Utara

Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…

11 jam ago

Duo Sayuri Lapor Sejumlah Pemilik Akun Penebar Rasisme ke Polda Malut

Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…

12 jam ago

Menteri ATR/BPN Lantik 31 Pejabat Struktural, Tegaskan Pentingnya Rotasi Berkala

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…

19 jam ago