News

Sejarah Maluku Utara Resmi Jadi Provinsi

Maluku Utara jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Maluku, menempuh sejarah yang panjang. Hari ini, 12 Oktober 2025 dan 26 tahun silam, tepatnya 4 Oktober 1999, Maluku Utara resmi menjadi provinsi. Namun, cerita—rekam jejak perjuangan memisahkan diri dari Provinsi Maluku hanya tersimpan di ceruk ingatan.

Cermat mencoba merekam sedikit jejak panjang perjuangan pemekaran Maluku Utara dari saksi sejarah. Meski jauh dari sempurna, tulisan ini sebagai pengingat–mengembalikan memori kolektif masyarakat perihal sebuah perjuangan yang tak mudah.

Aksi 3 ribu massa pada tahun 1999 di depan Kantor Bupati Maluku Utara di Ternate. Aksi ini bagian dari rangkaian perjuangan menuntut Pemekaran Maluku Utara menjadi provinsi, terpisah dari Provinsi Maluku. Foto: Dokumentasi Rizal Hamanur.

Sejarah Pemekaran Maluku Utara di Tangan Alm BJ Habibie

Perjuangan pemekaran Maluku Utara tidak terlepas dari Presiden RI ketiga Alm Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng, atau B.J. Habibie. Pada tanggal 4 Oktober 1999, Habibie menadatangani persetujuan pemerintah terkait dengan UU No 46 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Baru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Dengan begitu, secara resmi Maluku Utara menjadi provinsi—melepaskan diri dari Provinsi Maluku. Enam belas hari setelah meneken UU tersebut, tepatnya pada 20 Oktober 1999, Habibie melepas jabatannya sebagai Presiden.

Sofyan Daud, salah satu saksi sejarah pemekaran Maluku Utara mengatakan, Almarhum B.J. Habibi punya andil besar dalam tercapainya cita-cita Maluku Utara terlepas dari Maluku.

“Sebagai presiden saat itu, B.J. Habibie tentu punya pengaruh. Hubungannya tentu saja reformasi yang berdampak pada keterbukaan yang memberikan peluang untuk aspirasi-aspirasi daerah terakomodir,” ungkap Sofyan, yang kini menjadi Anggota DPRD Maluku Utara.

Sofyan Daud saat menjadi kordinator aksi pada tahun 1997 di Ternate. Foto: Rizal Hamanur

Sofyan berkisah, Pada 17 Desember 1998 atau tujuh bulan setelah B.J. Habibie menjadi Presiden RI, ia bersama 20 mahasiswa berangkat menuju Ibu kota dengan menumpangi KM Tatamilau. Para mahasiswa itu tak hanya berasal dari Maluku Utara saja, namun ada juga dari Ambon.

“Tiba di Jakarta, kami dijemput oleh pengurus Himpunan Keluarga Maluku Utara (HIKMU). Spanduk penyambutan bertuliskan ‘Selamat Datang Delegasi Pemuda Mahasiswa Perjuangan Pemekaran Provinsi Moloku Kie Raha (Maluku Utara), terbentang di antara lalulintas penumpang dan penjemputan yang memadati pelataran Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok,” kenang Sofyan, yang saat itu aktif sebagai Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata di Universitas Khairun Ternate.

Kedatangan mereka ke Jakarta itu disambut baik, dukungan mengalir dari berbagai organisasi kemahasiswaan, begitu juga dari PB HMI, PB PMII, dan PB IMM.

Hingga pada tahun 1999, Sofyan menjabat sebagai Sekretaris Presidium Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Maluku Utara (FPPM MU), organisasi yang menjadi penggerak isu pemekaran kala itu.

Sofyan bercerita, Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung saat itu, membuka jalan bagi mereka untuk bertemu Presiden B.J. Habibie. Pada kunjungan pertama, para mahasiswa tak berhasil menemui Presiden BJ. Habibie, di kediamannya, yang terletak di Patura Kuningan. ”Baru pada saat Open House Idul Fitri lah mereka (kami) akhirnya dapat bersua (dengan Presiden B.J. Haibie,” ungkapnya.

Hasym Abd Karim, salah satu orator aksi, menuntut pemekaran Maluku Utara jadi provinsi, terpisah dengan Provinsi Maluku. Aksi ini mengundang sekira 3 ribu massa, di depan kantor Bupati Maluku Utara di Ternate pada tahun 1999. Foto: Dokumentasi Rizal Hamanur.

Namun, pertemuan itu berjalan singkat. Meski begitu, aspirasi yang dibawa oleh para mahasiswa itu tersampaikan. Sofyan ingat, respons yang diberikan B.J. Habibie sangat positif. Katanya, B.J. Habibie kemudian memerintahkan stafnya yakni Prof. Jimly Asshiddiqie dan Fadli Zon untuk mendengarkan aspirasi para mahasiswa itu.

“Saat itu kan Gorontalo juga menuntut pemekaran, saya kira secara nasional atmosfirnya cukup mendukung. Pertama, karena Presiden Habibie memang orangnya praktis. Sepanjang pemekaran itu memberikan dampak positif kepada rakyat, ya tak masalah,” kata Sofyan.

Sejarah Perjuangan Dimulai dari Tahun 1950

Irfan Ahmad, Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Khairun Ternate mengatakan, upaya perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara dimulai sejak tahun 1950 pasca dibubarkannya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Hal ini ditandai dengan pengiriman para delegasi ke Jakarta untuk bertemu dengan Pemerintah Pusat dan menyampaikan tuntutan agar daerah Maluku Utara menjadi Daerah Otonom Tingkat I.

“Pada 18 September 1957, DPRDP Maluku Utara menggelar sidang dan mencetuskan resolusi yang mendesak pemerintah pusat agar Maluku Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Pada bulan November 1957, pemerintah Maluku Utara kembali mengirim delegasi ke pusat untuk menyampaikan hasil resolusi di sidang DPRDP tersebut,” ungkap Irfan, saat dihubungi cermat, Minggu, 04 Oktober 2020, siang tadi.

Namun, kata Irfan, perjuangan ini belum membuahkan hasil karena sikap pemerintah pusat lebih mengutamakan pengembalian de facto dataran Irian Barat ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Selain itu, penghambat lainnya adalah pecahnya Permesta pada 1958. Beberapa pejuang pembentukan provinsi ditangkap dan dipenjarakan di Nusa Kambangan.

Sejarah Rakyat Maluku Utara

Mengumpulkan Kopra untuk Pemekaran
Pada tahun 1963-1964, perjuangan Provinsi Maluku Utara ditempuh melalui jalur diplomasi politik. Masyarakat melalui Koperasi DAKOMIB menggalang dana melalui pengumpulan kurang lebih 1.000 ton kopra dengan nilai Rp 125.000.000. Penggalangan dana tersebut dimaksudkan untuk perjuangan pemekaran Maluku Utara menjadi daerah otonom tingkat I.

“Pada tahun yang sama (1964), gerakan perjuangan kembali berkobar dalam wujud yang lebih revolusioner, terorganisir, dan konsepsional. Gerakan ini dipimpin oleh Bupati Maluku Utara, M.S. Djahir dan mendapat dukungan sepenuhnya dari tokoh-tokoh masyarkat Maluku Utara yang menggagas didirikannya Universitas Khairun sebagai investasi penyiapan sumber daya manusia,” ungkap Irfan.

“Keinginan untuk mekarkan karena potensi daerah Maluku Utara sangat besar dan berlimpah, sehingga keinginan ini telah muncul sejak lama dan hal itu dibuktikan dengan narasi sejarah yang sangat panjang bahwa Maluku Utara adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam,” katanya.

Kekayaan alam inilah yang membuat orang Maluku Utara ingin mekar menjadi provinsi sendiri, didukung dengan sumber daya manusia yang telah memadai pada era tahun 1950’an.

—–

Tulisan ini merupakan liputan Rizal Syam dan Faris Bobero yang tayang di cermat partner kumparan, pada 4 Oktober 2020. Kini, diedit kembali dan ditayangkan di cermat.co.id, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-26 Provinsi Maluku Utara, 12 Oktober 2025.

cermat

Recent Posts

Cendekiawan Itu Penjaga Akal Budi

Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]* 1 PERTAMA-TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda…

14 jam ago

Progres Baru 60 Persen, Proyek Penguat Tebing di Morselbar Terancam Molor

Pekerjaan proyek rekonstruksi bangunan penguat tebing atau pesisir pantai di Desa Cio Gerong-Cio Maloleo, Kecamatan…

2 hari ago

Kompolnas RI Kunjungi Polda Maluku Utara, Ini yang Dibahas

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI melakukan kunjungan kerja ke Polda Maluku Utara untuk mendengarkan langsung…

2 hari ago

Tolak Tambang PT MAI, Warga Sagea: Kami Menjaga Benteng Ekologi Terakhir

Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia…

2 hari ago

Delapan Warga Adat Maba Sangaji Resmi Bebas dari Rutan Soasio

Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, resmi membebaskan delapan warga adat Maba…

2 hari ago

TEP Kementrans-UI Gelar Sekolah Siaga Bencana, Ratusan Siswa di Morotai Belajar Padamkan Api

Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kememtrian Transmigrasi-Universitas Indonesia (Kementras-UI) bersama Satpol PP dan Damkar Pulau Morotai,…

2 hari ago