Foto penulis
Oleh: Indra Abidin, S.Pd., M.Pd.*
HAMPIR semua saluran komunikasi publik saat ini menyoroti isu Sofifi. Perhatian itu kembali mencuat sejak Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi II DPR RI pada Selasa, 8 Juli 2025. Dalam forum tersebut, keberadaan Sofifi—yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999—kembali dipikirkan dan dievaluasi secara mendalam.
Diskusi yang berlangsung lebih banyak menyoroti aspek hukum. Pendekatan ini penting demi memastikan tujuan utama tercapai: keadilan pembangunan yang merata, serta penyusunan rencana pembangunan yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Dukungan dan masukan dari berbagai pihak merupakan bentuk kontribusi menuju upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, partisipasi tidak hanya berhenti pada kehadiran fisik, melainkan juga melalui tulisan yang tersaji dalam opini publik di media.
Media berperan besar dalam memfasilitasi komunikasi dan penyebaran gagasan pembangunan. Terkait Sofifi, sebuah tulisan dari Muhammad Tabrani Mutalib (dimuat di cermat.co.id, 12 Juli 2025) mencoba meninjau ulang aspek yuridis perjalanan pembangunan Sofifi. Ia menegaskan bahwa pemekaran Sofifi adalah amanat undang-undang, bukan sekadar aspirasi politik yang dapat dinegosiasikan.
Pertemuan Kemendagri dan Komisi II DPR RI pada dasarnya membahas ketimpangan antarwilayah. Usulan dari Mendagri Tito Karnavian pun memerlukan perhatian serius, serta aksi nyata yang dilakukan secara kolektif.
Fokus utama pertemuan itu mengarah pada ketimpangan pembangunan daerah yang disebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, program prioritas berjalan parsial dan tidak sinergis. Padahal, sudah 26 tahun berlalu sejak UU 46/1999 disahkan, namun Sofifi masih menghadapi kendala mendasar. Ia seperti “kota di atas kertas”.
Hal ini terjadi karena struktur pemerintahan kota sebagai tindak lanjut UU 46/1999 tidak pernah benar-benar diwujudkan. Sofifi hingga kini masih berstatus sebagai Kelurahan di bawah Kecamatan Oba Utara, bukan sebagai entitas kota otonom.
Dalam konteks ini, pemikiran Muhammad Tabrani Mutalib mengenai aspek yuridis menjadi relevan. Narasi pembangunan yang disampaikan Kemendagri juga menimbulkan “pemikiran alternatif”. Di sini saya ingin menyisipkan pemikiran Mohammad Hatta—Wakil Presiden Indonesia pertama—yang mengajarkan cara berpikir luas dan melampaui keterbatasan jumlah penduduk, luas wilayah, maupun sumber daya keuangan. Menurut Bung Hatta, keuangan harus dikelola secara bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebagai syarat utama pembangunan.
Anom Whani Wicaksana (2018: 126) menjelaskan bahwa, menurut Hatta, keengganan masyarakat untuk bergerak sering kali dipicu oleh keterbatasan wawasan dan minimnya pengetahuan. Dalam konteks Sofifi, hal ini dapat ditafsirkan sebagai kebutuhan mendesak untuk membuka ruang diskusi publik yang lebih luas, serta peninjauan kembali terhadap tata kelola pemerintahan daerah demi keadilan yang merata.
Pasal 20 Ayat (2) UU 46/1999 dengan tegas menyatakan bahwa “selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun, ibu kota Provinsi Maluku Utara yang definitif telah difungsikan.” Namun, hingga hari ini, amanat itu belum benar-benar terwujud.
Dalam bukunya, Hatta (2014) menulis bahwa “menuju kemerdekaan” bukan sekadar proses administratif, tapi juga pengakuan terhadap setiap jengkal tanah sebagai bagian dari Tanah Air. Dalam konteks Sofifi, ini bisa dimaknai sebagai langkah menuju otonomi yang utuh, dengan memastikan semua aspek hukum telah terpenuhi.
Tantangan utama yang perlu dijawab mencakup: pertama, bagaimana langkah strategis dari pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi; dan kedua, sejauh mana peran DPRD dalam proses ini. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan tradisi berdiskusi dan bertukar pikiran seperti yang dicontohkan para tokoh bangsa.
Hatta sendiri pernah bertemu utusan Muhammadiyah dan Taman Siswa di kantor besar Poetera untuk membahas kemajuan bangsa melalui pendidikan. Tidak berhenti di sana, ia juga terlibat dalam gerakan Jawa Hokokai yang mempertebal rasa persaudaraan. Ini memberi pelajaran bahwa “proses latihan” menuju kesiapan suatu daerah sangat penting. Dalam kasus Sofifi, proses itu bisa dimulai melalui pertemuan-pertemuan masyarakat yang berkelanjutan.
Kenangan akan suasana Desember 1944, ketika rencana pengangkatan menteri Republik mulai dibicarakan, bisa menjadi cermin refleksi. Kita bisa menghubungkan semangat itu dengan kondisi Sofifi hari ini. Di satu sisi, muncul wacana judicial review terhadap UU 46/1999. Di sisi lain, tahapan-tahapan konkret seperti inisiatif masyarakat, kajian akademik, hingga persetujuan DPRD dan kepala daerah, serta verifikasi pemerintah pusat perlu segera dilakukan.
Pertemuan kecil di tingkat lokal bisa menjadi awal dari aktivitas administratif dan politik yang lebih besar di Sofifi. Namun, jika tarik-menarik kepentingan masih mendominasi, maka harapan masyarakat akan semakin jauh. Padahal, frasa “jangka waktu” dalam Pasal 20 Ayat (2) UU 46/1999 semestinya melahirkan entitas hukum publik bernama Kota Sofifi.
Oleh karena itu, saran dan usulan top-down dari Kemendagri dan DPR perlu diiringi dengan kesiapan riil. Di antaranya memastikan bahwa cita hukum dan pandangan hidup yang mendasari pembentukan provinsi ini pada Oktober 1999 tidak bergeser dari kepentingan bersama.
Selain itu, perlu ditemukan “tahapan alternatif” berupa pusat pemerintahan yang efektif—dimana seluruh aktivitas pemerintah terfokus dan terkoneksi dengan sistem pemerintahan di atasnya.
Semua ini adalah bagian dari “latihan” menuju kesiapan mengelola pemerintahan sendiri. Fokus harus diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan, terutama di wilayah-wilayah pelosok yang selama ini kurang tersentuh oleh negara.
——
*Penulis merupakan akademisi Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) Tidore, Maluku Utara
Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus mengakselerasi…
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perdana Cipta Mandiri (PCM) Kabupaten Halmahera Timur menjalin kerja sama…
Sejumlah pengendara kembali keluhkan pelayanan yang dilakukan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Wari, Tobelo,…
Oleh: Agusalim Abas Jurnalis cermat Kata bijak menulis begini, “Doa paling tulus ada di rumah…
Nasib nahas dialami 35 tenaga kesehatan (Nakes) di RSUD Tobelo, Hamahera Utara. Bukannya menerima honor…
Bandan Kepegawaian Daerah (BKD) Halmahera Timur (Haltim) akhirnya mengusulkan pembatalan kelulusan 6 tenaga Pegawai Pemerintah…