Foto penulis
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*
“Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala hal dengan Agama”– Ibnu Rusyd
PADA 1997, sutradara Mesir Youssef Chahine merilis film Al-Massir (Destiny). Film itu mengisahkan tokoh besar dunia Islam, Ibnu Rusyd (Averroes), filsuf dan cendekiawan dari Andalusia abad ke-12, yang berjuang mempertahankan akal dan kebebasan berpikir di tengah tekanan ulama tradisional-fanatik dan kekuasaan politik.
Dalam film itu, penguasa Cordoba awalnya melindungi Ibnu Rusyd. Namun ketika tekanan kelompok konservatif semakin keras, ia menyerah. Buku-buku karya Ibnu Rusyd dibakar di alun-alun kota, disaksikan rakyat, ulama, dan istana. Kobaran api itu menjadi simbol bahwa kekuasaan dan agama bersekongkol memadamkan akal.
Chahine membuat film ini bukan sekadar untuk mengenang masa lalu Andalusia, tapi untuk menegur dunia Arab modern dan, jika mau jujur, juga kita di Indonesia hari ini. Karena yang terbakar dalam film itu bukan hanya naskah Ibnu Rusyd, melainkan semangat berpikir bebas yang kini juga mulai pudar dalam kehidupan beragama kita.
Ketika Simbol Agama Dijadikan Keset Kekuasaan
Dalam Al-Massir, para ulama tradisional-fanatik menolak pemikiran Ibnu Rusyd bukan karena ia salah, tapi karena ia mengancam posisi mereka. Akal dianggap bahaya karena ia membuka ruang bagi pertanyaan. Padahal, kekuasaan hidup dari kepatuhan. Maka tuduhan “sesat” menjadi alat politik.
Kisah itu terasa akrab di Indonesia. Sebagian kiai tradisional yang dahulu menjadi benteng moral rakyat kini semakin dekat dengan kekuasaan dan anggaran negara. Mereka hadir di forum pejabat, menjadi penasihat spiritual lembaga pemerintah, bahkan ikut menentukan arah politik lokal. Semua ini sering dibungkus sebagai “kerjasama urusan dakwah,” padahal di baliknya terselip transaksi yang lebih duniawi: legitimasi dibalas dengan bantuan dana.
Kekuasaan memang pandai memelihara loyalitas bukan dengan paksaan, melainkan dengan fasilitas. Ulama yang seharusnya menjadi penyeimbang malah perlahan menjadi bagian dari sistem itu. Kritik berubah menjadi pujian, dan mimbar agama bergeser menjadi panggung politik. Seperti dalam Al-Massir, fanatisme di zaman ini bukan lagi teriakan di jalan, melainkan kesetiaan yang dibayar diam-diam.
Kemiskinan yang Diciptakan
Dampak dari hubungan mesra antara ulama dan kekuasaan terasa jelas di dunia pesantren. Banyak pesantren yang hidup dalam kesederhanaan, tapi di baliknya tersimpan kemiskinan struktural yang tak pernah diubah.
Santri diajarkan zuhud, sabar, dan tawakal, tapi jarang diajarkan membaca dunia modern tentang ekonomi, teknologi, atau kewirausahaan. Literasi keuangan dianggap urusan duniawi, seolah-olah bertentangan dengan kesalehan.
Padahal, di sisi lain, sebagian kiai menikmati akses terhadap dana proyek kegiatan yang katanya keagamaan. Mereka hidup dalam kenyamanan yang justru menjauhkan pesantren dari semangat kemandirian. Maka klaim pesantren tempat lahirnya kesalehan, tetapi malah bukan kemandirian manusia sebagai mahluk ekonomi. Kesucian dijaga, tapi kemiskinan diterima.
Dalam konteks ini, pembakaran buku Ibnu Rusyd menjadi metafora yang tajam: bukan lagi api yang membakar halaman, tapi sistem yang membekukan akal dan mengabaikan ilmu. Api Andalusia kini menyala dalam bentuk yang lebih senyap di ruang kelas yang menolak pertanyaan, diceramah yang menutup diskusi, di lembaga yang menukar pemikiran dengan feodalisme yang bersekat simbol agama.
Dua Sayap yang Lupa Terbang
Ibnu Rusyd percaya, akal dan iman adalah dua jalan menuju Tuhan. Tapi sejarah menunjukkan, banyak yang lebih nyaman menempuh jalan tanpa akal karena berpikir selalu berisiko. Begitu juga di negeri ini. Kita sering mencurigai ilmu dan pengetahuan modern seolah-olah bisa merusak iman, padahal justru dengan akal, iman menemukan bentuknya yang matang. Akhirnya generasi yang lahir serba berfikir fatalistik dan bermental feodal.
Yang lebih berbahaya lagi: sebagian tokoh agama kini lebih sibuk menjaga hubungan dengan penguasa daripada menyalakan kesadaran di umatnya. Mereka menjadi penjaga stabilitas politik, bukan penjaga akal budi. Dan ketika itu terjadi, agama kehilangan kekuatan spiritual dan moralnya. Ia berubah dari cahaya menjadi dekorasi kekuasaan.
Menyalakan Kembali Api Akal
Film Al-Massir ditutup dengan adegan murid-murid Ibnu Rusyd yang menyelamatkan naskah-naskah gurunya dari api. Mereka menyalin dan membawanya keluar Andalusia. Dari tangan-tangan itulah, pemikiran Rusyd menyeberang ke Eropa dan menyalakan api Renaisans, sementara dunia Islam tenggelam dalam kegelapan yang diciptakannya sendiri, yang sampai saat ini belum bangkit dari tidurnya.
Kisah itu seharusnya menjadi cermin bagi kita. Buku bisa dibakar, tapi gagasan tak bisa dimusnahkan. Yang lebih berbahaya adalah ketika masyarakat berhenti berpikir karena merasa nyaman dalam kepatuhan. Saat itu, api sudah tak perlu menyala; abu pun cukup untuk membuat kita lupa pada cahaya.
Kini pertanyaannya bukan lagi siapa yang membakar buku, tapi siapa yang berani membaca dan berpikir di tengah tradisi yang meninabobokan. Karena di zaman ketika agama bersekutu dengan kekuasaan, keberanian berpikir adalah bentuk ibadah paling tinggi.
—–
*Penulis merupakan praktisi hukum dan pengajar di Universitas Khairun Ternate
Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]* 1 PERTAMA-TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda…
Pekerjaan proyek rekonstruksi bangunan penguat tebing atau pesisir pantai di Desa Cio Gerong-Cio Maloleo, Kecamatan…
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI melakukan kunjungan kerja ke Polda Maluku Utara untuk mendengarkan langsung…
Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia…
Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, resmi membebaskan delapan warga adat Maba…
Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kememtrian Transmigrasi-Universitas Indonesia (Kementras-UI) bersama Satpol PP dan Damkar Pulau Morotai,…