Prof. Gufran A. Ibrahim saat menjadi narasumber diskusi buku Peran Cendikiawan Muslim di Caffe Syamatira. Foto: Galim Umabaihi
Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]*
1
PERTAMA–TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda ICMI Maluku Utara (Malut) yang menerbitkan buku Peran Cendekiawan Muslim (KBM, 2025). Hari ini didiskusikan. Ini adalah book chapter dan mungkin ini buku magori alias buku perdana yang diterbitkan Pemuda ICMI Malut. Tebalnya 117 halaman. Ada sembilan tulisan. Satu sebagai tulisan pengantar oleh Ketua MPW ICMI Malut dan delapan tulisan sebagai isi buku. Penulisnya adalah M. Djidin, Surya Darma dan Mahfud Sholihin, Muhammad Rachmat, Adiyana Adam, Herman Oesman, Ilham Djufri, Askal Samiudin, dan Zainal Abidin Marasabessy.
Sebagai bunga rampai, buku ini menyodorkan pusparagam sudut pandang dan tangkapan terhadap semesta kecendekiawanan, terutama cendekiawan Muslim. Buku ini memberi cakrawala yang lebih luas tentang kebermanfaatan tradisi berpikir dan bertindak yang ditunjukkan orang pandai dalam satu kontinum sejarah kehidupan manusia. Sekali lagi, selamat untuk Dr. Zainal Abidin Marasabessy dan koleganya.
2
Tulisan pertama oleh Kasman Hi Ahmad. Tulisan ini tidak hanya mengantar tetapi juga menggelar rangkuman eksekutif yang bagus atas beragam sudut pandang delapan tulisan berikut dalam mempercakapkan satu tema besar: Cendekiawan Muslim.
Kace-begitu nama antroponimi Wakil Bupati Halmahera Utara ini dalam relasi kekolegaan kesejawatan dengannya telah melintasi suatu jalan kecendekiaan: dari akademisi, teknokrat, dan politisi. la memang multitalenta dengan keberanian yang melampaui orang-orang biasa, termasuk orang biasa seperti saya. Tidak semua orang bisa melakukan ini dengan baik, apalagi saya. Kembara kecendekiaan yang mengamalgamasikan tiga kemampuan-akademisi, teknokrat, dan politisi-itulah tercermin dalam cara ia menulis. pengantar buku pertama-maaf setahu saya yang diterbitkan MPW Pemuda ICMI Maluku. Utara. Sekali lagi, dalam pengantar buku ini, Kasman tidak hanya merangkumkannya sebagai etalase depan buku tetapi sekaligus menyodorkan problem-problem kecendekiaan yang dihadapi oleh para cerdik pandai kini.
Pengantar catatan saya ini penting karena terbitnya buku yang diinisasi Dr. Zainal Abidin Marasabessy-Ketua MPW Pemuda ICMI Maluku Utara-pastilah ada Dr. Kasman sebagai Ketua MPW ICMI Maluku Utara sebagai think tank di balik tradisi menulis buku sebagai penanda kecendekiaan. Ini memang salah satu renjana, passion mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Jadi, dua paragraf dalam catatan saya untuk diskusi ini adalah apresiasi secara apa adanya, bukan penonjolan.
3
Maafkan saya, yang hanya bisa membaca secara cepat dan selayang pandang buku ini karena kasipnya waktu. Dengan cara ini saya ingin menemukan kata-kata kunci (key words) dan frasa-frasa kunci (key phrases). Di bawah tema cendekiawan Muslim, dalam buku ini saya menemukan sejumlah kata dan frasa penting seperti: cendekiawan dan transformasi sosial, cendekiawan dan kualitas dakwah, tantangan kontemporer, semesta media sosial, gender kecendekiaan, kecendekiaan dalam milieu keberagaman, cendekiawan dan kelenturan berpikir, tanggung jawab sosial, dan kontribusi pemikiran. Tentu saja ada kata atau frasa penting lain dalam delapan tulisan ini yang tidak sempat saya tangkap.
Sebagai pembaca, izinkan saya merumuskan benang merah (common thread) yang dapat menautkan delapan tulisan dalam buku ini ke dalam satu proposisi pendek sebagaimana judul catatan ringkas ini: cendekiawan itu penjaga akal budi.
Sebagai penjaga akal budi, cendekiawan lahir dan menjadi mercu suar pemikiran dan pemandu akal budi. Cendekiawan adalah manusia pandai yang mampu mengombinasikan dua kemahiran utama, think is to think berpikir untuk berpikir dan think is to change ‘berpikir untuk (melakukan) perubahan’ secara sekaligus dan imbang. Kalau ilmuwan, saintis, let sibuk (pada) berpikir untuk berpikir, cendekiawan harus punya kemampuan mendedikasikan tindakan berpikirnya untuk kemaslahatan manusia. Ilmuwan lebih sibuk menyusun propo ilmiah untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan, sedangkan cendikiawan mentransformasikan kefahaman dan pengetahuannya untuk kemaslahatan manusia. Itu…. fitur pembeda (distinctive feature) sekaligus persambungan renjana (passion) ilmuwan (saintis) dan cendekiawan (intelektual). Dalam ciri tertentu, ilmuwan cenderung menjadi manusia soliter, sementara cendekiawan cenderung berpikir organik.
Qur’an mendefinisikan ilmuwan dan cendekiawan dalam dua kategori penting. Pertama, definisi tersebut berkaitan dengan penghormatan atas nalar dan pikiran, seperti pada frasa-frasa ulil-albab ‘berpikir kritis dan mengambil ibrah’, ulil aqli ‘mengasah nalar’; bahkan dengan proposisi retoris seperti afala ta’kilun dan afala tatafakkarun sebagai pemuliaan berpikir. Dalam konteks ini, Qur’an sesungguhnya mengendors penumbuhan berpikir manusia sebagai basis utama penghormatan kepada kepandaian substansial yang juga sebagai dasar bagi pemanfaatan kepandaian untuk kemanusiaan dan kealaman.
Kedua, keilmuwanan dan kecendekiawanan akan menjadi berguna bagi kemanusiaan, bila kemampuan tersebut dapat dikomunikasikan dan didialogkan dengan khalayak ramai untuk kemajuan kemanusiaan. Sebab itu, Qur’an, untuk mendorong perlunya cendekia yang tidak hanya pandai pada dirinya tetapi menjadi pemandu akal dan budi manusia. Kemampuan bercakap seperti ini disebut Qur’an dengan qaulan balighan ‘nyambung dengan khalayak’, qaulan makrufan ‘percakapan dengan khalayak dengan memuliakan’, qaulan sadidan berbicara dengan tegas, jernih, jujur, dan qaulan layyinan berbicara menghunjam akal budi tetapi lembut mencerahkan.”
Itulah tugas dan posisi cendekiawan. Soal peran, selama ini para cendekiawan sepanjang sejarah telah mengambil peran sebagai menjadi penjaga akal dan budi. Jalan pertama adalah cendekiawan menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan dan kebangsaan, ia berada di dalam dan berikhtiar mengawal akal budi. Ada dua kemungkinan risiko bisa terjadi. Cendekiawan bisa melakukan tugas dengan baik sebagai penjaga akal budi sebagai ruh dari sistem atau hanyut bersama kekacauan akal budi.
Jalan kedua, cendekiawan mengambil posisi dan terus berada “di luar” sistem pengelolaan masyarakat dan bangsa. Dengan posisi ini, cendekiawan tetap menjaga akal budi dengan baik. Selalu jernih dan tegas bicara dan tindakannya. Karena itu, ia selalu menjadi mercu suar bagi siapapun dalam masyarakat dan bangsa yang sedang defisit akal budi. Jalan ini juga ada risikonya. Meski jernih dan tegas, suara-suara kecendekiawanannya bisa saja tenggelam dalam riuh rendah dan kekacauan bahkan kerusakan akal budi massal dalam sistem kemasyarakatan dan kebangsaan. Apa pun jalan yang diambil, cendekiawan tidak boleh berhenti menjadi penjaga akal budi.
—–
*Gufran Ali Ibrahim merupakan Profesor Antropolinguistik Universitas Khairun
Catatan:
Pekerjaan proyek rekonstruksi bangunan penguat tebing atau pesisir pantai di Desa Cio Gerong-Cio Maloleo, Kecamatan…
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI melakukan kunjungan kerja ke Polda Maluku Utara untuk mendengarkan langsung…
Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia…
Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, resmi membebaskan delapan warga adat Maba…
Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kememtrian Transmigrasi-Universitas Indonesia (Kementras-UI) bersama Satpol PP dan Damkar Pulau Morotai,…
Pemda Pulau Morotai terus mematangkan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang direncanakan mulai berjalan…