Oleh: Nurkholis Lamaau
(Redaktur cermat – partner resmi kumparan)
Rekaman video dan foto-foto kekerasan polisi terhadap demonstran dalam aksi BBM Jilid II di Kota Ternate, Maluku Utara, masih berseliweran di media sosial.
Di depan Kantor Wali Kota Ternate, polisi mengejar massa aksi, memukul secara membabi-buta. Perangkat orasi milik massa aksi di atas mobil Pick-Up dirusak.
Seorang ibu dan anaknya jatuh terpelanting dari atas sepeda motor, karena dihantam derasnya tembakan water cannon.
Di depan Bank Mandiri, Kelurahan Tanah Raja, seorang ibu penjual takjil alami sesak nafas, diduga menghirup gas air mata yang ditembakan polisi.
Di Kelurahan Akehuda, polisi menembakkan gas air mata, merembet ke rumah warga. Uapnya bikin mata perih dan sulit bernapas, merambah ke mana-mana. Tiga bayi jadi korban.
Ayah salah satu bayi secara spontan angkat parang karena emosi. Itu naluri seorang ayah yang melindungi keluarganya. Polisi melepas tembakan peringatan. Parang dilepas ke tanah.
Sang ayah dipiting. Beberapa pukulan sempat mendarat di tubuhnya. Mungkin dikira mahasiswa. Lalu dibawa ke Kompi Primob, tak jauh dari gerbang masuk Bandara Sultan Baabullah Ternate.
Beberapa sepeda motor milik massa aksi ditendang hingga roboh ke tanah. Saya protes, tapi malah dimarahi: siapa suru taru motor di situ?
Pertanyaan saya soal “apakah sepeda motor ikut melempar?” tak digubris. Saya terus bertanya selayaknya perdebatan antara Nabi Ibrahim dan Raja Namrudz soal berhala berkalung kapak.
Malamnya, Kapolres Ternate, Andik Purnomo Sigit, memberi keterangan soal bayi lewat media massa tak sesuai fakta di lapangan.
Gayung bersambut. Status Ternate — salah satu akun paling provokatif yang tak pernah diproses polisi ketika dilaporkan — menyebut informasi bayi terkena gas air mata adalah Hoaks.
Bahkan, berita di Halmaherapost.com tentang bayi, pun dilabeli Hoaks. Merasa tak puas, ibu si bayi mengkritik polisi lewat akun Instagram Bidang Humas Polda Maluku Utara.
Ini adalah harga yang harus dibayar mahal oleh kekuasaan lewat aparat sebagai tamengnya.
Penyalahgunaan wewenang, penyimpangan dari prosedur, tidak kompeten pada perencanaan, hingga lemahnya mengawasi tindakan pasukan di lapangan, menjadi pemandangan setiap mengawal aksi-aksi unjukrasa.
Kesimpulan ini jelas bukan tanpa dasar. Banyak fakta hingga saksi di lapangan yang bisa digali.
Padahal, pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, menjelaskan ada tahapan dalam tindakan kepolisian.
Tahap 1 pencegahan; tahap 2 perintah lisan; tahap 3 kendali tangan kosong lunak; tahap 4 kendali tangan kosong keras; tahap 5 kendali benda tumpul dan senjata kimia seperti gas air mata; dan tahap 6 dengan senjata api.
Dan tahapan itu harus berdasarkan tingkat ancaman. Pertanyaannya, dalam aksi kemarin, seberapa besar ancaman massa aksi atas masyarakat luas?
Alih-alih membubarkan massa, sepeda motor yang tidak berkaitan dengan aksi demonstrasi, menjadi target yang sebenarnya tak diperlukan.
Ini mencerminkan betapa polisi kita benar-benar ‘haus’ kekerasan. Dalam kepala hanya ingin memukul, memukul dan memukul.
Selasa sore kemarin, sejumlah personil dari Satuan Brimob mendatangi kediaman bayi yang menjadi korban dampak tembakan gas air mata di Akehuda.
Salah satu petingginya tampak mengendong dan mencium bayi malang tersebut. Pemandangan itu ramai terlihat di story WhatsApp beberapa wartawan. Ini juga bagian paling “kampret” dalam keberpihakan jurnalisme.
Lalu bagaimana dengan ibu dan anak yang jatuh terpelanting dihantam water cannon? Di mana mereka sekarang? Apakah si anak tak menyimpan trauma atas insiden tersebut?
Insiden-insiden seperti ini harus dipandang krusial yang bersifat kelembagaan. Bukan diselesaikan secara personal lewat permintaan maaf. Itu pengecut!
Harus ada evaluasi menyeluruh dari hulu hingga hilir. Mulai dari sistem pendidikan, pelatihan, hingga pengawasan dan penindakan tegas. Perkap HAM Nomor 8 Tahun 2009 harus benar-benar diimplementasikan.
Polri sudah seharusnya mengubah polanya menjadi kultur sipil daripada mengedepankan gaya represif Orde Baru.
Sebab, sejarah mencatat bahwa kemarahan rakyat pada Soeharto akibat tindakan militerisme.
Merujuk penuturan Agus Mulyanto, “perlawanan itu serupa api, tak habis meski dibagi.”