Categories: News

Dilema Penegakan Hukum Peredaran Miras di Taliabu

Oleh: La Ode Karyata (praktisi hukum dan sosial)


Peredaran minuman keras (miras) di Kabupaten Pulau Taliabu dalam beberapa waktu terakhir mengalami peningkatan. Fenomena ini bukan hanya menjadi persoalan sosial, tetapi juga ancaman serius terhadap keamanan, ketertiban umum, dan kesehatan masyarakat.
Sebagai wilayah yang belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian atau Larangan Peredaran Miras, Taliabu menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan penegakan hukum yang memiliki landasan jelas dan sah secara formal.
Secara hukum, penindakan terhadap miras di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi seperti KUHP Pasal 204 mengatur sanksi pidana bagi penjual atau pengoplos miras yang menyebabkan kematian, pasal 492 dan Pasal 536 mengatur sanksi pidana bagi orang yang mabuk dan mengganggu ketertiban umum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang mengatur zat adiktif, termasuk tembakau dan produk turunannya seperti rokok elektronik (vape), serta Perpres nomor 74 Tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, namun hingga saat ini tidak menjelaskan dan mengatur Sanksi pidana langsung, perpres ini hanya fokus mengatur pengendalian dan pengawasan peredaran minuman beralkohol, termasuk pengolongan, penjualan, dan pembatasan tempat penjualan. Serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 jo. Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang membatasi distribusi miras pada Golongan *A,B, C.* tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran atau penjualan minuman beralkohol.
Sehingga jenis-jenis Minuman Beralkohol yang mengandung etanol atau etil alkohol (C2H50H) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi telah dilegakan, sebagaimana dibatasi pada Golongan beralkohol *A,B, C.* Namun, pengaturan di tingkat daerah harus melalui Peraturan Darah (Perda) sehingga bisa mengatur sanksi tindak pidana ringan (tipiring).
Menjadi krusial karena memberikan legitimasi lex specialis terhadap pelaksanaan razia, penyitaan, penggeledahan dan penuntutan (tanpa penunjukan surat Mindik maupun surat dari pengadilan). Tanpa adanya Peraturan Daerah (Perda), tindakan penindakan tanpa pro justitia rentan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang sah (ilegal) maupun terdapat celah untuk di Prapradilan oleh pihak terkait.
Masalah menjadi semakin kompleks ketika di lapangan teridentifikasi adanya penggeledahan, penangkapan dan penyitaan miras oleh Satuan Samapta Polres Pulau Taliabu dan Pos Pol Sat Polairud Bobong. Dalam prosedur kitab hukum acara pidana (KUHAP), penyitaan, penggeledahan, penangkapan harus dilakukan oleh penyidik bukan penyelidik. Penyelidik dapat melakukan penggeledahan, penyitaan namun atas perintah penyidik dengan berdasarkan Adiministrasi Penyidikan (Mindik) dan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan.
Pasal 38 KUHAP mengatur kewenangan dan prosedur penyitaan hingga Pasal 40 KUHAP yang mengatur barang-barang tertentu yang disita, secara tegas telah mengatur mekanisme tersebut. Penangkapan pun wajib didasarkan pada surat perintah, kecuali pelaku sedang melakukan tindak pidana secara langsung. Fakta bahwa penyitaan, penggeledahan dan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah maupun izin pengadilan menunjukkan adanya cacat formil dalam prosedur KUHAP.
Lebih jauh, terdapat persoalan kewenangan fungsi di tubuh Kepolisian. Penindakan miras yang dikaitkan dengan zat adiktif merupakan zat-zat yang dapat menimbulkan efek ketagihan atau kecandungan bila sampai disalahgunakan. merupakan domain Satuan Reserse Narkoba, bukan Sat Samapta. Sat Samapta memiliki peran preventif dan represif terbatas seperti patroli, pengamanan, dan penindakan awal sebelum pelimpahan ke fungsi penyidik yang berwenang. Ketika Sat Samapta langsung mengambil alih proses penyitaan, penggeledahan dan penangkapan hingga tahap penindakan tanpa koordinasi dengan Sat Resnarkoba, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyimpangan kewenangan atau overlapping authority yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) maupun prinsip pembagian tugas di internal Kepolisian.
Hal serupa juga terjadi pada Pospol Airud di Bobong untuk lakukan penyidikan tindak pidana yang terjadi di kapal atau pelabuhan harus berkoordinasi dengan instasi terkait seperti Bea Cukai, KPLP dan instansi lainnya untuk pengawasan dan penegakan hukum di pelabuhan.
Dari perspektif normatif, tindakan yang tidak sesuai prosedur ini dapat menimbulkan konsekuensi serius. Barang bukti yang diperoleh secara tidak sah atau merujuk pada bukti yang diperoleh dengan cara yang melanggar hukum (unlawfully obtained evidence) berpotensi dikesampingkan oleh hakim di persidangan. Hal ini membuka peluang bagi tersangka atau pelaku usaha untuk bebas melalui mekanisme praperadilan, sekaligus melemahkan upaya pemberantasan miras di wilayah Taliabu. Selain itu, tindakan semacam ini juga berisiko merusak citra institusi kepolisian di mata publik, menimbulkan persepsi penegakan hukum yang tidak profesional, dan bahkan membuka ruang bagi dugaan penyalahgunaan kewenangan khususnya oleh Sat Samapta dan pada umumnya Polres Pulau Taliabu dan Pospol Airud Bobong.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal keberanian bertindak, tetapi juga ketepatan dalam prinsip-prinsip hukum maupun tindakan tersebut pada koridor hukum yang legal (sah). Pembentukan Perda Miras di Taliabu menjadi urgensi yang tidak dapat ditunda oleh Pemerintah Daerah, agar setiap penindakan oleh Aparat penegak hukum, termasuk Sat Samapta dan Polairud bahkan Sat Pol PP memiliki dasar hukum yang legal. wajib mematuhi KUHAP terkait penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, serta menegaskan batas kewenangan antar fungsi kepolisian agar tidak terjadi tumpang tindih dalam tugas.
Dalam konteks pembinaan internal, Kapolres Pulau Taliabu perlu memastikan bahwa seluruh personel memahami batas kewenangan dan prosedur penindakan. Fungsi pengawasan internal seperti Propam dan Siwas harus aktif melakukan pemeriksaan terhadap dugaan penyalagunaan kewenangan (abuse of power). Di sisi lain, pendekatan preventif berbasis edukasi publik tentang bahaya miras juga harus diperkuat, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi kepemudaan.
Tanpa langkah – langkah pembenahan ini, pemberantasan miras di Taliabu akan selalu berada di wilayah abu-abu dan melanggar prosedur hukum, yang pada akhirnya merugikan masyarakat sekaligus mencederai prinsip negara hukum yang menuntut semua tindakan pemerintah dan aparatnya untuk tunduk pada hukum. Penegakan hukum yang profesional adalah yang tidak hanya mampu bertindak cepat, tetapi juga mampu bertindak tepat sesuai prosedur dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
cermat

Recent Posts

Risi Berpolemik, Malut United Rencana Pindah Kandang di Luar Maluku Utara

Wakil Manager Malut United, Asghar Saleh merespons polemik status stadion Gelora Kie Raha yang belakangan…

37 menit ago

Perdana, Putra Daerah BWS Malut Pimpin Upacara HUT Ke-80 RI: Mempertegas Dukungan Program Swasembada Pangan

M. Saleh Talib, S.T.,M.T , sebagai Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku Utara tampak mengenakan…

22 jam ago

Ratusan Narapidana Lapas Tobelo Dapat Remisi Kemerdekaan, 2 Orang Langsung Bebas

Ratusan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Kelas IIB Tobelo, Halamahera Utara, menerima remisi dalam…

23 jam ago

Hari Kemerdekaan, Pemda Morotai Luncurkan Kartu Sejahtera untuk Janda dan Lansia

Janji politik Bupati Pulau Morotai, Maluku Utara, Rusli Sibua, bersama Wakil Bupati, Rio Christian Pawane…

23 jam ago

Peringatan HUT ke-80 RI, NHM Kobarkan Semangat Nasionalisme di Tambang Emas Gosowong

Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus menjadi momentum penting…

1 hari ago

Bupati Haltim Serahkan 50 Unit Viar ke Petani Usai Upacara HUT RI

Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, Ubaid Yakub, memimpin upacara Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia…

1 hari ago