Dr. Graal Taliawo mewakili Komite II DPD RI dalam pembahasan RUU Minerba. Foto: Tim Graal
DPR-RI, DPR-RI, juga Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan DPD-RI membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Rapat yang berlarut pada 11 hingga 17 Februari 2025, bertempat di Ruang Badan Legislasi (Baleg) itu membuahkan hasil: DPR resmi mengesahkan RUU tersebut pada 18 Februari 2025.
“RUU ini masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, yaitu dalam Daftar Kumulatif Terbuka. Artinya, dapat diajukan berdasarkan kebutuhan. Untuk konteks RUU ini, kebutuhannya adalah akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga mengharuskan adanya perbaikan/revisi dengan segera,” kata Graal Taliawo anggota DPD-RI dari Maluku Utara sekaligus perwakilan Komite II dalam rapat tersebut, melalui rilis kepada cermat, Jumat 21 Februari 2025.
Pembahasan secara tripartit
Secara konstitusional, kata Graal, pembahasan RUU dilakukan tripartit dengan melibatkan DPR-RI, Pemerintah, dan DPD-RI. Karena merupakan RUU usulan DPR, maka DPR menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), lalu setiap fraksi, Pemerintah dan DPD menyampaikan DIM tanggapan atas perubahan substansi atau perubahan redaksi dari DIM DPR tersebut. DPD—melalui Komite II yang membidangi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya—turut memperjuangkan beberapa gagasan yang tentu secara garis besar berkaitan kepentingan daerah.
Perguruan Tinggi menerima manfaat
DPD sepakat dan mendorong bahwa Perguruan Tinggi perlu menerima manfaat dari aktivitas pertambangan, khususnya perguruan tinggi yang berada di kabupaten/provinsi lokasi eksplorasi. “Manfaat dari perolehan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) prioritas perlu memerhatikan bahwa royalti atau manfaat yang diberikan kepada perguruan tinggi terbagi dalam 2 bentuk: dana abadi (untuk kepentingan jangka panjang perguruan tinggi dan dana untuk menjalankan Tri Darma perguruan tinggi,” jelas Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si.
Keberpihakan kepada masyarakat adat
Konflik lahan pertambangan kerap bersinggungan dengan masyarakat adat. Selama ini dan dalam konteks ini, peran masyarakat adat cenderung belum diperhatikan secara optimal. “Keberadaan dan eksistensi sejumlah masyarakat adat terancam karena lingkungan hidup mereka masuk kawasan IUP. Contohnya seperti suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur. Lahan-lahan itu bertuan. Kita semua tentu mengharapkan konflik serupa tak terulang lagi,” ujar Senator Graal.
Senator Graal bersama Agustinus R Kambuaya, S.IP. (anggota DPD-RI dari Papua Barat Daya) menunjukkan data kuantitatif pun kasus banyaknya konflik lahan tambang dengan masyarakat adat di Indonesia, tak terkecuali di Maluku Utara, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah pertambangan lain. “Perlu unsur kehati-hatian dalam pengelolaan wilayah pertambangan dan mempertimbangkan keberpihakan kepada masyarakat adat. Diperlukan pemetaan yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat adat untuk menentukan dan memperjelas tata lahan lokasi hutan adat, hutan lindung, lahan pertambangan, dan sebagainya”, tambah Senator Agus.
Dalam UU ini diakomodasi bahwa masyarakat adat berperan sebagai subjek yang dilibatkan dalam penerimaan manfaat dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Pelestarian Hutan Lindung dan Konservasi
DPD turut menggagas hutan lindung dan hutan konservasi harus bebas dari area pertambangan karena fungsinya yang begitu urgen untuk kehidupan mahkluk hidup. “Dalam pengertian sederhana, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengendalian erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi ini begitu besar sehingga kawasan hutan lindung dan hutan konservasi perlu dilindungi, lestari, dan terbebas dari IUP. Tidak ada ruang atasnya untuk pertambangan,” jelas Senator Graal.
BUMD bisa kelola tambang
Yang juga menjadi semangat DPD dalam proses pembahasan kemarin adalah perlunya pelibatan daerah dalam hal pengelolaan tambang, termasuk BUMD dan Pemerintah Daerah. BUMD bisa mengelola tambang. Ini sebagai bentuk dari penegasan bahwa daerah tidak boleh diabaikan dan ditinggalkan dalam pengelolaan potensi pertambangan di daerahnya. Kepentingan daerah harus diakomodasi dan frase BUMD pun masuk dalam norma RUU.
Terkait pelaksanaan reklamasi pascatambang. DPD meminta agar Pemerintah Daerah dilibatkan. Norma ini kemudian dimasukkan dalam pasal terkait pelaksanaan reklamasi pascatambang.
DPD sebagai peninjau
Demi kepentingan daerah, DPD perlu turut serta meninjau jalannya aktivitas pertambangan. DPR, Pemerintah, dan DPD komitmen untuk melaksanakan tugas peninjauan dan pemantauan atas pelaksanaan undang-undang ini agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Penghargaan dan apresiasi DPD berikan kepada Baleg DPR selaku tuan rumah yang telah mewadahi pembahasan panjang atas RUU ini dan mengakomodasi beberapa gagasan yang disampaikan DPD. Semoga UU ini dapat memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia, khususnya di sektor mineral dan batu bara.
Sekretaris Daerah Pulau Taliabu, Maluku Utara, Salim Ganiru berkesempatan menjadi narasumber utama dalam program talkshow…
Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Maluku Utara resmi melakukan kunjungan ke Polda dalam…
Wakil Bupati Halamhera Utara (Halut), Kasman Hi Ahmad, melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Perusahaan Daerah…
Pemerintah Daerah (Pemda) Pulau Morotai, Maluku Utara, resmi menggelar pelepasan Jemaah Calon Haji (JCH) tahun…
Kebijakan parkir tepi jalan di pusat perkotaan Ternate, Maluku Utara menuai kritik. Penataan parkir tersebut…
Polisi memastikan terdapat banyak pihak yang akan menjadi tersangka dalam kasus aktivitas pertambangan emas ilegal…