Oleh: Ramli Umanailo
(Mahasiswa STAI Babussalam Sula, Jurusan Ekonomi Syariah)
Secara kompleksitas di negara manapun, termasuk Indonesia, uang yang beredar di masyarakat adalah uang kertas dan uang logam yang keduanya biasa disebut sebagai uang kartal. Uang merupakan alat transaksi yang digunakan masyarakat sebagai media pembayaran barang dan jasa.
Menurut Undang-Undang Bank Sentral No 13 tahun 1986 pasal 26 ayat 1, Bank Indonesia sebagai lembaga keuangan negara yang mencetak dan mengeluarkan uang kartal, yakni jenis uang logam dan kertas. Jenis uang ini kemudian digunakan oleh masyarakat dalam proses kegiatan ekonomi yang terjadi di setiap saat guna bisa memenuhi kebutuhan ekonomi hari-hari.
Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua jenis mata uang yang di terbitkan oleh negara bisa digunakan sebagai alat transaksi, sebab fakta sosial yang terjadi hari ini masyarakat yang ada di Kabupaten Kepulauan Sula tidak lagi mengakui eksistensi uang logam sebagai nilai mata uang yang sah dan masih bisa digunakan sebagai alat pembayaran jual’beli.
Penolakan uang logam ini sudah terhitung 5 sampai 10 tahun lalu, dimana kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan karena tanpa disadari persoalan ini mempunyai dampak pengaruh terhadap roda perekonomian di Kabupaten Kepulauan Sula. Mirisnya sampai saat ini belum terlihat tindakan nyata dari semua pihak yang memiliki kewenangan, baik lembaga keuangan terkait dan juga Pemerintah Daerah untuk mengatasi dan menyelesaikan fenomena penolakan uang logam ini secara serius.
Mengenai dengan jenis uang logam yang tidak lagi di berlakukan sebagai media transaksi di Kabupaten Kepulauan Sula, membuat sistem peredaran uang logam yang di sebarkan Bank Indonesia kepada cabang lembaga keuangan terkait tidak menjadi optimal dan uang logam hanya mengalami penumpukan pada lembaga keuangan tersebut.
Memang benar bahwa fenomena ini bukanlah sesuatu hal yang baru akan tetapi fenomena penolakan ini sudah terjadi hampir di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia, tetapi persoalan ini kemudian mampu di atasi dan diselesaikan oleh lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, dan pada akhirnya uang logam kembali di berlakukan dan kemudian peredarannya menjadi normaal, tidak seperti di Kabupaten Kepulauan Sula yang terkesan masalah ini dibiarkan oleh pihak-pihak yang berwenang dan seolah olah peristiwa ini tidak perlu harus diselesaikan.
Seperti kita ketahui bersama Peristiwa penolakan yang sudah terjadi bertahun-tahun di kepulauan Sula, namun berdasarkan pada data lapangan yang saat saya kumpulkan dari berbagai koresponden maka bisa saya berasumsi bahwa ada unsur kesengajaan dari pihak-pihak yang berwenang, karena dalam pandangan mereka persoalan ini bukanlah sesuatu polemik dan harus di selesaikan secara cepat dan mereka menilai roda ekonomi di Kabupaten Kepulauan Sula sedang baik baik saja, dan tak ada masalah sama sekali.
Padahal menurut saya pengamatan, ini adalah masalah yang paling berpotensi terhadap nasib ekonomi di Negeri ini karena secara spesifik penolakan uang logam ini akan berimbas pada kehidupan pasar, dimana para pedagang atau kapitalis, akan semakin di untungkan sedangkan proletar atau Masyarakat dengan ekonomi rendah, bukan hanya merasa di rugikan tapi juga makin merasa sulit, karena uang logam yang di miliki tak lagi bisa di gunakan sebagai mata uang yang sah untuk nilai tukar, olehnya itu dari peristiwa penolakan ini ada paradigma para pedagang yang merasa di untungkan.
Adapun faktor yang lain yang juga sangat berpengaruh terhadap hilangnya nilai mata uang logam di Kabupaten kepulauan Sula adalah kebiasaan pedagang/ pelaku- pelaku usaha yang sering melakukan pengembalian barang dengan menggunakan permen ketimbang uang koin.
Padahal perbuatan yang di praktekkan ini telah menyalah dan melanggar asas aturan Perundangan-undangan yang ditetapkan oleh negara yang menjelaskan setiap transaksi pembayaran harus menggunakan rupiah sebagai media transaksi di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian praktek penukaran yang sering ditemukan diatas telah melanggar konstitusi kita dan perbuatan tersebut harus diberi sanksi oleh pihak lembaga Bank Indonesia yang punya kewenangan. Jika persoalan ini dibiarkan oleh lembaga-lembaga keuangan maka sama halnya bank yg pantas di sebut sebagai biang kerok atas hilangnya nilai mata uang logam sebagai alat transaksi.
Dari praktek inilah saya menjastis ternyata ada unsur siasat dari sebuah sistem yang sangat struktural agar bisa menciptakan peluang untuk mengeksploitasi kehidupan ekonomi rakyat kecil. Berikut ini adapun contoh yang sengaja di angkat untuk membuka mata kita semua terkait dengan eksistensi nilai mata uang logam yang diakui sebagai jenis mata uang yang sah, mengingat masyarakat di Kabupaten Kepulauan Sula tidak lagi menerima uang logam sebagai media transaksi makan kita buat perbandingan melalui daerah-daerah kabupaten kota yang lain; tidak perlu jauh- jauh, cukup di Maluku yakni dan Maluku utara seperti Ternate, dimana masih kita menyaksikan secara seksama bahwa uang logam masih berlaku dan di gunakan untuk pemenuhan kebutuhan apa saja, karena bagi mereka uang logam adalah jenis mata uang yang sah dan punya nilai.
Dengan begitu proses perputaran ekonomi keuangan mereka itu lancar dan tidak ada yang merasa di rugikan dan tidak ada yang merasa di untungkan dan praktik tersebut menunjukkan bahwa proses pendistribusian dan peredaran uang logam menjadi efektif dan maksimal sesuai dengan harapan dari pihak perbankan.
Kemudian kita kembali lagi menggambarkan fenomena penolakan uang logam di kabupaten kepulauan Sula, dimana semua pihak baik masyarakat dan juga pedagang tidak lagi mau menerima dan menolak uang logam tersebut sebagai alat pembayaran jual beli maka sikap tersebut telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam UU No 7 tahun 2011 tentang mata uang pasal 33 menyatakan bahwa setiap orang yang menolak atau tidak menerima rupiah dalam bertransaksi bukan karena keraguan ke Aslian uang maka dapat dipidana 1 tahun penjara dan pidana denda sebesar 200 juta.
Melalui hasil penulisan yang di sampaikan ini bisa dijadikan sebagai catatan dari semua pihak yang berwenang baik Bank Indonesia, lembaga keuangan lain, dan juga pemerintah daerah Kabupaten kepulauan Sula untuk menindaklanjuti dengan menyelesaikan masalah ini secara tepat dan cepat agar proses peredaran uang logam di kabupaten kepulauan sula bisa kembali menjadi normal dan semoga tulisan ini dapat membuka mata dan telinga masyarakat Kabupaten Kepulauan Sula untuk kembali menggunakan uang logam sebagai media transaksi dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate berpotensi menjemput paksa terdakwa kasus penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran…
Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku Utara dalam waktu dekat akan menggelar…
Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…