Foto penulis
Oleh: Agus SB*
Perasaan bosan atau kebosanan dapat disadari dan dialami setiap manusia dengan beragam sebab. Tetapi, kebanyakan dari kita menganggap kebosanan hanya jenis perasaan negatif yang tidak produktif untuk kehidupan seseorang atau sekelompok orang. Tidak.
Antropolog Amerika, Ralp Linton, dalam bukunya “The Study of Man”, menulis: “Tampaknya mungkin bahwa kapasitas manusia untuk merasa bosan, bukan kebutuhan sosial atau alami manusia, merupakan akar dari kemajuan budaya manusia” (1936:90). Andai benar dugaan Linton, marilah ramai-ramai kita merasa bosan. Tetapi apa artinya “bosan” atau “kebosanan” sehingga dapat dihipotesiskan bahwa, kapasitas ini dapat menjadi akar yang menumbuh-kembangkan budaya manusia?
Linton tidak sendiri. Jauh sebelum dia, beberapa filsuf telah mencurahkan perhatian terhadap “kapasitas untuk merasa bosan”, seperti diulas oleh Lars Svendsen dalam bukunya “A Philosophy of Boredom” (2005). Rupanya, kebosanan merupakan kapasitas dari manusia yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan budaya untuk kehidupannya, secara individu dan kolektif.
Svendsen mengemukakan, “kebosanan mengekspresikan gagasan bahwa suatu situasi atau keberadaan secara keseluruhan sangat tidak memuaskan (2005: 22)”. Kebosanan biasanya muncul ketika kita tidak dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan, tulis Svendsen, atau harus melakukan sesuatu yang kita tidak ingin lakukan. Svendsen mengajukan pertanyaan tajam: “Tetapi, bagaimana jika kita tidak tahu apa yang ingin kita lakukan, ketika kita kehilangan kemampuan untuk menentukan arah dalam hidup? (Ibid, 19).
Di pinggiran pantai, lihatlah terus menerus ombak terus bergulung mengempas pantai, hingga kebosanan muncul dalam kesadaran. Atau duduklah dan menunggu giliran di sebuah ruang loket pembayaran tagihan, atau mengerjakan sesuatu secara berulang-ulang, atau hal lain yang dapat anda coba lakukan, menunggu seseorang atau apapun seperti digambarkan dalam skenario drama “Waiting for Godot” karya Samuel Beckett (1956).
Keterlibatan secara sadar dan reflektif dalam menjalani semua itu dapat mencetuskan rasa bosan atau kebosanan. Svendsen mengutip empat jenis kebosanan dari Martin Doehlemann: kebosanan situasional seperti menunggu seseorang, mendengarkan ceramah, perjalanan dengan kereta; kebosanan karena jemu mendapatkan banyak hal yang sama dan semuanya menjadi membosankan; kebosanan eksistensial, ketika jiwa tidak memiliki isi dan dunia biasa-biasa saja; kebosanan kreatif yang dicirikan oleh hasil dimana seseorang dipaksa melakukan sesuatu yang baru. Keempat jenis kebosanan tumpang tindih tetapi berbeda (2005:41-42).
Kebosanan situasional barangkali dapat diatasi dengan mengalihkan perhatian dari melihat atau menunggu dengan membaca atau berbicang dengan orang yang baru dikenal di ruang tunggu, atau menjelajahi tepian pantai hingga lelah dan kembali ke rumah. Kebosanan eksistensial bersifat personal yang barangkali dapat “diisi” dengan keyakinan keagamaan, misalnya tujuan hidup menurut ajaran agama yang dianut.
Kebosanan dapat muncul dari kejemuan mendapati banyak hal yang sama setiap hari, berulangkali, berkali-kali, seperti berulangkali menonton sebuah film yang sama sehingga memicu kebosanan. Hal seperti itu dapat dialami setiap orang atau sekelompok orang yang menjalani, menyadari, merefleksikan pengalamannya dan menjadi bosan.
Svendsen mengakui kebanyakan kebosanan berasal dari repetisi atau pengulangan. Jenis kebosanan yang disebabkan berulangkali menonton tayangan satu film (baca: kenyataan) yang sama dapat dialami satu atau beberapa orang di sebuah perguruan tinggi, di sebuah sekolah, di sebuah organisasi perangkat daerah dari pemerintah, atau sebuah lembaga swasta.
Pada skala makro, pembangunan dan capaian-capaiannya yang tidak memuaskan seperti digambarkan dengan sebuah janji (ketika momen pemilihan umum, misalnya) dapat mencetuskan kebosanan dan ketidakpercayaan kolektif sebuah negeri. Kebosanan dapat menjadi kondisi dengan efek ganda yang bersifat ‘tergantung’: di satu sisi, menyebabkan budaya, sebuah lembaga, atau kehidupan menjadi stagnan; di sisi lain, dapat memicu lahirnya kebaruan dalam budaya dan kehidupan seseorang, sebuah komunitas atau sekelompok orang di sebuah lembaga.
Kenyataan yang dapat dilihat dan diamati berulang-ulang dan menjemukan pada lembaga-lembaga seperti di atas, menunjukkan ketiadaan kebaruan—untuk tidak menggunakan kata “kemajuan” yang terlalu abstrak dan dapat didebatkan—yang dicapai meskipun secara periodik dilakukan pengukuran kinerja pegawai dan lembaga. Saya menduga (dan berharap anda setuju), kemunculan gagasan dan konsep “inovasi” sebagai salah satu instrumen atau mekanisme yang akan melahirkan “kebaruan” bermula dari kejemuan yang lahir dari berulangkali menonton “tayangan satu film” yang sama pada lembaga pemerintah maupun lembaga pendidikan dan lembaga swasta.
Kebosanan muncul dari kesadaran diri subyek. Subjektivitas, tulis Svendsen, merupakan syarat yang diperlukan tetapi tidak cukup bagi kemunculan kebosanan. Agar dapat merasa bosan, subjek harus mampu memahami dirinya sebagai individu di dalam berbagai konteks makna, dan subjek ini menuntut makna dari dunia dan dirinya sendiri. Tanpa makna seperti itu, tidak akan ada kebosanan (Ibid: 32).
Penjelasan Svendsen mudah dipahami dengan mengajukan pertanyaan seperti ini: apakah anda bekerja sekadar untuk cari makan minum, dan tidak lebih dari itu?
Kemunculan dan menularnya gagasan inovasi beberapa tahun belakangan ini di Indonesia, dan Maluku Utara khususnya, seharusnya telah menciptakan dan menghasilkan “kebaruan-kebaruan” pada setiap lembaga perangkat daerah (pemerintah), lembaga pendidikan negeri-nonnegeri dan swasta. Faktanya, seperti pepatah Melayu: “indah kabar [inovasi] daripada rupa [wujud]”. Apa penyebab dari kenyataan menyerupai “sindrom treadmill” yang membosankan ini?
Seseorang boleh jadi “menunjuk hidung” pimpinannya dengan kiasan “ikan membusuk bermula dari kepalanya” sebagai penyebab. Tetapi ini hanya sebagian kebenaran. Sebagian lainnya terletak pada mentalitas setiap orang yang bekerja pada setiap lembaga atau di dalam sebuah komunitas, dan sebagian lain dari kebenarannya kita tanyakan pada “rumput yang bergoyang”.
Saya tidak percaya pada kata “pasif” atau “kepasifan” dan “kemalasan” jika kedua kata ini dijadikan “kambing hitam” dari kondisi “hanya berjalan dan berlari di tempat” (treadmill) yang membosankan. Selain sebagai kata evaluatif, kedua kata tersebut tidak menerangkan apapun mengenai sifat manusia.
Jika dianggap ada dan dapat ditemukan pada manusia, maka kedua kata itu hanya bentuk dari ekspresi kebosanan, bukan karena budaya (atau secara awam dikatakan “kebiasaan”) seperti prasangka kaum kolonial di masa lalu (baca: “Mitos Pribumi Malas”, karya S.H Alatas, 1988). Tingkat pendidikan juga bukan yang terdakwa.
Tingkat dan kualifikasi pendidikan formal telah menjadi syarat mutlak penerimaan pegawai negeri maupun swasta, terlebih lagi tenaga pendidik dan kependidikan dalam bidang pendidikan formal jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Variabel pendidikan formal, karena itu, bukan penyumbang terhadap kinerja yang membosankan pada lembaga-lembaga pemerintah, pendidikan formal negeri-nonnegeri, dan lembaga swasta, sekurangnya di Maluku Utara.
Jika kelemahan sumberdaya manusia terletak pada aspek “pengetahuan dan ketrampilan”, maka aspek ini dapat diatasi tanpa banyak hambatan melalui pendidikan dan pelatihan, misalnya memberikan bobot “tambahan” pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi komunikasi dan informasi digital mutakhir yang menuntut penyesuaian kapasitas. Akan tidak mudah dilakukan perubahan dalam waktu singkat jika masalah sumberdaya manusia menyangkut karakter yang cenderung bersifat mentalistik, kecuali dengan cara yang radikal.
Di antara sebab lain dari kondisi mental yang tidak kondusif untuk mengatasi kebosanan dan melahirkan geliat inovasi di dalam setiap lembaga (hal ini juga dapat terjadi di dalam masyarakat, bahkan pada lingkup rukun tetangga), yaitu apa yang dapat dinamakan sebagai “mentalitas tahanan”, frase yang saya “pelintir” dari hipotesis model “dilema tahanan”.
Model ini menggambarkan kendala dalam mengambil keputusan dan tindakan mengatasi masalah dan kondisi kebosanan yang mengungkung seseorang, lembaga atau sebuah komunitas manusia atas kenyataan stagnasi yang dihadapi dan dialami.
Suatu mentalitas yang dapat menghambat individu kreatif seperti dalam contoh imajiner dari Linton (1936), dimana seorang karyawan yang rajin dan cekatan tentu tidak akan puas apabila setiap kali ia harus mengulangi cara kerjanya. Ia merasa senang menciptakan dan memecahkan persoalan-persoalan baru di bidang kreativitas bagi dirinya sendiri.
Meskipun setiap orang merasa bosan atas tampilan kinerja yang berulang-ulang tanpa kebaruan, mereka dapat terperangkap tanpa jalan keluar dari dalam situasi ketiadaan komunikasi dan saling percaya untuk mengambil keputusan dan tindakan yang mengarah pada kebaruan dari kondisi kerja (dan hidup) bersama yang menjemukan. Model “dilema tahanan” mengandaikan sebagai berikut: dua tahanan yang dituduh melakukan kejahatan bersama dan keduanya diharuskan membuat keputusan yang dapat meringankan atau membebaskan keduanya, tetapi keduanya sulit atau bahkan tidak dapat mengambil keputusan karena kondisi berikut: a) jika salah satu mengaku dan yang lain tidak, maka yang mengaku langsung bebas, tapi yang lain dihukum sepuluh tahun; b) jika keduanya mengaku, mereka dihukum satu setengah tahun; c) jika tak seorang pun mengaku, keduanya dihukum setahun (Calne, 2005:409).
Dilema atau mentalitas tahanan di atas dapat disederhanakan dengan pangandaian dimana rumahtangga-rumahtangga bertetangga di dalam satu lingkungan tempat tinggal yang tidak pernah berkomunikasi dan bekerjasama: a) jika yang satu berbuat, misalkan membersihkan sampah di pekarangan rumah dan jalan setapak di depan rumahnya, sementara tetangganya tidak membersihkan sampah di jalan setapak yang sama di depan rumahnya, maka halaman dan jalan setapak di depan rumahnya akan bersih.
Tetapi sampah di jalan setapak yang sama yang tidak dibersihkan tetangganya, dapat berpindah ke halaman dan area jalan di depan rumahnya karena angin atau sebab lainnya. Ini melelahkannya karena ia membersihkan sampahnya sekaligus sampah tetangga, setiap hari; b) jika kedua rumah bertetangga membersihkan sampah di jalan setapak depan rumahnya masing masing, maka setiap hari lingkungan hunian itu akan tampak bersih, meskipun akan melelahkan tetapi lebih ringan daripada kasus (a) di atas; c) jika tak ada yang membersihkan sampah di jalan setapak di depan rumah masing masing, maka lingkungan hunian itu dipenuhi sampah, dan menjadi kondisi lahirnya sekuensi akibat-akibat negatif.
Kondisi imajiner, sekaligus kiasan, yang ketiga (c) ini potensil terjadi disebabkan, di antaranya, jika tidak terpenuhinya atau tidak memadainya prasyarat fungsional yang dengannya sebuah komunitas, atau sebuah lembaga dapat terus eksis, berproduksi dan bereproduksi secara berkelanjutan.
Di antara prasyarat fungsional itu seperti: (a) komunikasi di antara warga atau para pegawai di sebuah lembaga; (b) pengaturan normatif atas berbagai sarana; (c) kontrol efektif atas bentuk perilaku yang mengacau; (d) tujuan yang jelas dan didukung bersama (lihat Kaplan dan Manners, 2012:87). Sebuah lembaga seperti organisasi perangkat daerah (OPD), lembaga pendidikan, dan lembaga swasta tentu saja memiliki prasyarat fungsional d, c, b, dan a. Saat ini, setiap lembaga pemerintah dan swasta bahkan memiliki visi-misi yang canggih dan “kereeen abis” (sic!).
Namun, dengan konsep komunikasi saya tidak maksudkan sekadar pengertian “adanya pengirim pesan dan penerima pesan”. Lebih luas daripada pengertian terlampau sederhana itu.
Melalui komunikasi, setiap orang di dalam sebuah lembaga terhubung, terjalin dan berinteraksi tidak hanya dalam menunaikan pekerjaan wajib tetapi juga dalam konteks relasi lainnya.
Kenyataannya, setiap warga sebuah komunitas atau staf pegawai di sebuah lembaga, nampak berhubungan atau terhubung, berbicara satu dengan lainnya, tertawa bersama, tetapi tidak serta merta dapat diartikan atau mengandaikan mereka (dapat) bekerjasama. Manusia dapat berinteraksi tatap muka satu dengan lainnya di berbagai tempat dan waktu, dan dengan cara itu manusia dinamakan mahluk sosial.
Tetapi “bekerjasama satu dengan lainnya” merupakan bentuk kontrak sosial yang dibangun di atas persetujuan volunteristik. Ini terjadi tidak dalam waktu singkat. Untuk tiba pada konsensus menuntut dipenuhinya prasyarat saling percaya antar pihak yang terbangun di atas pengalaman positif di antara mereka.
Jika kerjasama yang diandaikan di dalam proses komunikasi antar pihak justeru tidak terjadi meskipun masing-masing pihak, individu atau kelompok, merasa jemu dan bosan terhadap situasi kerja berulang-ulang dan tidak menunjukkan tanda membaik dari waktu ke waktu, hal itu disebabkan, di antara hal lainnya, mereka terperangkap dalam “mentalitas tahanan”: tidak saling percaya, saling mencurigai bahkan mungkin terdapat konflik yang dibatinkan dan hanya menunggu waktu untuk diluapkan. Situasi seperti ini tidak hadir tiba-tiba, tetapi melalui proses yang telah lama berjalan, dan dapat dilatari lebih dari satu penyebab.
Di dalam sebuah lembaga, situasi tersebut dapat lahir dari perilaku yang mengacaukan, seperti pelanggaran terhadap prinsip penghargaan dan hukuman, melanggar prinsip kelayakan dan kepatutan dalam penetapan posisi, dan pelanggaran terhadap tatanan kelembagaan lainnya.
Visi, Misi, Renstra dan instrumen kerja lainnya, karena itu, hanya memenuhi fungsi administrasi, tidak lebih.
Perilaku koruptif (merusak) yang terjadi terus menerus dan berlangsung lama merusak sel-sel produktif di dalam lembaga tersebut, merusak hubungan saling percaya, dan mengondisikan lahirnya perilaku mengacaukan lainnya.
Hasil dari kekacauan seperti itu mendorong setiap orang memerangkap diri dalam mentalitasnya sendiri yang saya namakan “mentalitas tahanan”, mentalitas yang dipenuhi citra negatif satu dengan lainnya di dalam sebuah lembaga dan atau komunitas. Kondisi lembaga yang demikian tidak lebih baik dari “mendorong maju sebuah mobil dengan mesinnya yang tak lagi berguna”. Dibutuhkan aktor yang tidak bermasalah di masa lalu untuk menyulut kembali gairah kerja yang menghidupkan bekerjanya lembaga menuju tujuannya, misalnya dengan mengembalikan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip norma kelembagaan di atas segalanya.
Jika berhasil, kebosanan ditransformasi menjadi energi pembangkit, melahirkan kebaruan, mencetuskan perkembangan budaya kita dalam arti luas. Aktor yang bermasalah dari masa lalu, yang ditempatkan pada top manajer, tidak dapat melakukan hal itu, mengingat dia sendiri adalah bagian dari masalah yang seharusnya dilenyapkan.
Karena itu, mari bersama kita bosan dengan kesadaran tanpa terperangkap dalam mentalitas tahanan! Dengan itu, jenis kebosanan adalah kebosanan kreatif, yang memajukan kualitas kerja dengan etos kerja yang mengandung spiritualitas sehingga tak sekadar bekerja karena diupah. Mungkin, demikian.
—–
Penulis merupakan Pengajar Antropologi, IAIN Ternate
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…
Polsek Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, kembali mengungkap praktik pengolahan emas ilegal yang berlokasi…
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pulau Taliabu, Maluku Utara resmi berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK)…
Sejumlah lurah di Ternate, Maluku Utara, hingga saat ini belum menyerahkan data penerima subidi BBM…