Oleh: *Rahmat R. Souwakil
… Meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal … (WS. Rendra)
Tak selamanya misuh-misuh terdapat pada politik. Sanjungan juga harus dialamatkan pada politik dengan suka dan duka. Sebab hampir semua pola tingkah laku dalam bernegara dan masyarakat dibolehkan dan dilarang melalui prosedur politik. Tanpa politik semuanya kacau!
Maka di “musim politik” 2024, semua orang yang memenuhi syarat konstitusi dan ditopang dengan biaya politik yang baik-besar berjuang merebut suara masyarakat agar bisa mendapatkan kuasa untuk membolehkan-melarang masyarakat lewat produk politik.
Perang partai politik untuk merebut ruang kosong di jalan untuk memasang baliho telah menampilkan hasrat nan besar partai politik untuk merebut kuasa pada Pemilu 2024. Perang baliho tak hanya di jalan, perang juga terjadi antar pendukung partai bertebaran di media sosial.
Perang baliho yang kini bertebaran di jalan tak hanya menyalahi aturan tapi juga merusak pemandangan, yang sebelumnya bebas kini harus dihalangi dengan senyum dan kata-kata manis para (calon) politisi. Dan untuk memajang baliho-stiker para (calon) politisi tersebut membutuhkan biaya politik yang banyak untuk mencetak dan mengerjakan pendukung untuk memasang baliho-stiker tersebut.
Biaya politik berupa “Merah-Biru” (baca: pecahan uang seratus dan lima puluh ribu) harus bisa disediakan agar baliho-stiker bisa terdistribusi dan memenuhi harapan (calon) politisi. Tak ada yang salah dan haram dengan biaya politik yang harus dimiliki calon politisi untuk menggerakkan dan menyampaikan visi-misinya. Sebab roda politik dan distribusi baliho-stiker membutuhkan biaya.
Namun yang jadi soal bukan biaya politik. Tapi politik uang, yang dianggap sebagai suatu kejahatan yang banal, karena dilakukan dari setiap pemilu. Bahkan baru-baru ini viral di media sosial ada pimpinan partai politik melakukan pembagian uang kepada nelayan serta pernyataan petinggi partai politik yang menyuruh masyarakat mengambil uang jika ada yang memberi namun masyarakat harus memilih berdasarkan hati nurani.
Pernyataan dan kegiatan yang berbau ajakan untuk “menikmati” politik uang semakin memperjelas jika politik uang di setiap perhelatan pemilu menjadi suatu kewajaran yang harus ada.
Di tengah politik uang yang dianggap sebagai suatu yang banal, upaya -upaya pencegahan atas politik uang dari partai politik dan penyelanggara pemilu masih jarang didengar-dilihat. Atau jangan-jangan partai politik dan penyelenggara pemilu juga beranggapan politik “Merah-Biru” (baca: politik uang) suatu hal yang banal dan wajar?
Kepercayaan saya pada partai politik dan penyelenggara pemilu masih kuat terkait dengan pencegahan “politik merah-biru”. Politik “merah-biru” kini dianggap sebagai musuh bersama dan harus dihajar secara bersama-sama. Teknik menghajar politik “merah-biru’’ sudah tentu berbeda antara penyelenggara pemilu dan partai politik.
Dengan adanya pengawasan partisipatif yang sering dilakukan Bawaslu yang dilakukan pada masyarakat menjadi usaha penyelanggara pemilu dalam membangun kesadaran masyarakat agar melaporkan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu, termasuk politik uang.
Pengawasan partisipatif merupakan langkah penyelenggara pemilu untuk mengajak masyarakat mejadi mata-telinga Bawaslu di lingkungan masyarakat dalam melawan politik yang mencederai asa-asas pemilu.
Usaha untuk mengajar serangan fajar bukan menjadi pekerjaan nan muda, maka pendidikan politik untuk masyarakat menjadi keharusan partai politik dan dilakukan secara kontinu agar bisa membawa dampak terhadap sikap masyarakat terkait dengan “politik merah-biru”. Bukan sebaliknya pendidikan politik hanya ditujukan untuk merebut suara masyarakat semata.
Kini Bawaslu Republik Indonesia telah memetakan indeks kerawanan pemilu dan provinsi dengan rawan politik uang. Tinggal penyelengara pemilu dan partai politik memaksimalkan kerawanan pemilu yang telah dikemukakan untuk melanjutkan langkah pendidikan politik dan pemberian kesadaran terkait politik “merah-biru” kepada masyarakat.
Memang tak mudah untuk memerangi politik “merah-biru”, tapi akan lebih mudah jika harapan kesejahteraan masyarakat bisa diwujudkan dengan memilih pemimpin yang bersih dan tak menghambur-hambur uang untuk memperoleh kuasa. Tabik.
——
*Penulis bergiat di Serambi Senior PILAS Institut