Satu Orang Dua Status: Sultan dan Gubernur

Catatan atas “Kebutaan Sejarah” Mirzan Salim

Foto penulis

Oleh: Irfan Ahmad*

 

Komentar Mirzan Salim pada laman media sosial Facebook menuai tanggapan netizen, setidaknya dalam medsos tersebut. Komentar pada Senin siang (19/8/2024) itu menggugah hati banyak pihak, terutama kalangan muslim. Tidak sedikit ‘umat’ Sultan yang marah sebab hal ini.

Dalam unggahannya, Mirzan menyebut nama sultan Tidore, H. Husain Alting Sjah, S.E., M.M., dan mengaitkannya dengan isu sara. Tampak jelas, bahwa unggahan itu secara sadar menghasut, memprovokasi, menyebarkan ujaran kebencian terhadap etnis Tidore. Selain itu, ia juga dan merendahkan derajat seorang Sultan.

Kemarahan pendukung Sultan tersebut sangat wajar. Bagaimanapun, Sultan Tidore merupakan pemimpin spritual dianggap memiliki pemahaman baik tentang ajaran agama Islam. Sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar “Amir al-din”, Sultan memiliki kewajiban melindungi dan menjaga kesucian agama Islam dari berbagai praktik yang menyimpang.

Penokohan Sultan Tidore, baik dalam hal agama Islam maupun peran politiknya, oleh berbagai kalangan saat ini bukannya tanpa alasan. Sultan menjadi inspirator atas keberanian rakyat Maluku Utara menyuarakan kepentingannya kepada negara.

Tengoklah, bagaimana Husain Alting Sjah yang berani dan tegas melakukan surat terbuka kepada negara Presiden Jokowi Widodo. Kala itu, Sultan mempertanyakan hal-ihwal kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Jepang untuk mengelola Kabupaten Pulau Morotai, tanpa pengetahuan pemerintah dan masyarakat Morotai.

Dalam hal ini, Sultan Husain Alting Sjah “menunaikan” tugas Gubernur Maluku Utara atau Bupati Morotai yang luput dilakukan oleh mereka. Mengapa? Karena mereka kikuk di bawah kuasa negara. Meski bukan orang Morotai, Sultan berani mengambil risiko itu: berseberangan dengan Pemerintah dalam hal pengelolaan Morotai. Sebagai seorang Sultan, sudah sepatutnya menjalankan amanah para leluhur untuk menjaga negeri ini, bila kebijakan pemerintah tidak menguntungkan rakyat Maluku Utara.

Perilaku Mirzan di medsos disesalkan banyak pihak. Mengetahui latar belakangnya, tak sepantasnya ia melakukan hal itu. Ia seorang “sarjana” dan aktif sebagai ketua di salah satu organisasi di Halmahera Utara. Tapi tingkat pendidikan memang bukan satu-satunya pemandu berperilaku santun, beradab, dan bermartabat dalam kehidupan.

Apapun itu, seharusnya Mirzan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan mengajak berbagai pihak untuk menjaga kedamaian menyongsong pemilu kepala daerah negeri ini. Jangan dipantik lagi kekisruhan yang bisa memicu bangkitnya pengalaman traumatis peristiwa tahun 1999-2000 silam.

Dalam kontestasi politik seperti saat ini, provokasi seringkali terjadi kepada pihak-pihak tertentu yang menjadi lawan politik. Tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu dan memanfaatkan segala macam isu, termasuk isu sara, seperti yang dilakukan Mirzan.

Kepada semua pihak, terutama para pengguna sosial media agar kita sama-sama terus menebarkan hal-hal baik untuk kemajuan Maluku Utara. Tokoh, siapa pun yang menang dalam pemilukada nantinya, sudah pasti putera terbaik Maluku Utara.

Sultan menjadi Gubernur? Kenapa tidak

Baca Juga:  Politik Identitas

Apakah sultan bisa mencalon diri sebagai gubernur? Pertanyaan ini juga dilontarkan dalam unggahan yang saya singgung di awal tulisan ini. Sebetulnya tidak ada masalah jika seorang sultan mencalonkan diri sebagai gubernur, wali kota, bupati, atau presiden sekalipun. Negara tidak melarang itu. Sudah menjadi haknya sebagai warga negara.

Lagi pula, ini bukan pertama kali terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kita hanya kekurangan pengetahuan sejarah saja. Mari sejenak kita lacak ke belakang.

Sultan Zainal Abidin Sjah, seorang Sultan Tidore periode 1947—1967, juga sekaligus menjadi Gubernur Irian Barat Pertama selama tahun 1956–1962. Hal serupa juga pada Sultan Hamengku Buwono IX yang menjadi menteri di zaman Presiden Soekarno. Hamengku Buwono IX juga menjadi Wakil Presiden di era Presiden Soeharto dengan tetap menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan aktif sebagai sultan terlepas dari Yogyakarta yang diistimewakan oleh negara. Dua contoh ini cukup menjelaskan kebolehan dan keabsahan kedudukan seorang Sultan sekaligus pejabat pemerintahan.

Perlu diketahui lagi, bahwa peran sultan dalam dunia politik bukan seumuran “tauge”. Bahkan sultan dan politik ibarat dua sisi mata uang, suatu hal yang telah berlangsung sejak kurang lebih enam abad lalu.

Kita bisa bayangkan bila negeri (Maluku Utara) ini tanpa sultan. Apakah eksistensi Maluku Utara ini dan harga diri bangsa bisa tetap tegak? Setidaknya dalam masa-masa kolonialisme, dan yang kita nikmati hasil perjuangan dan pengorbanannya pada masa-masa sekarang ini

Jejak dan peran sultan dalam memainkan politik tidak perlu diragukan lagi. Kenangkanlah baik-baik kebesaran Sultan Al Mansur (1512-1526) dan Sultan Khairun Jamil (1535-1570). Kedua sultan ini meninggal secara tragis karena persoalan politik. Sultan Baabullah Datu Syah (1570-1583) yang berhasil mengusir Portugis dan Sultan Muhammad Amiruddin, Nuku (1797–1805) yang harus berjuang lebih kurang 20 tahun menentang Belanda.

Baabullah dan Nuku adalah dua sultan sekaligus politisi sejati dari Maluku Utara yang bisa diteladani karena memiliki nasionalisme dan patriotisme. Kedua sultan ini juga mampu menyatukan rakyat dari berbagai etnik, agama, golongan. Mereka mengajarkan bahwa kekuasaan bukan untuk kelompok bangsawan semata, melainkan untuk kepentingan rakyat saat itu.

Dalam kesultanan, sultan ditempatkan sebagai pemimpin tertinggi yang mengatur pemerintahan dan pemangku “adat se atoran” (aturan adat). Kesultanan sendiri memiliki semacam “value platform” (landasan nilai) yang wajib ditaati oleh sultan. Sebagai pemimpin, seorang sultan harus menjaga “amanah”, yang mengharuskan sultan untuk menyatu dengan rakyat sebagai perwujudan amanah kekuasaan yang diembannya.

Sebab, dalam kekuasaannya, ada amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mempertanggungjawabkan kehidupan rakyat dan seisi alam. Amanah tersebut tersirat dan tersurat dalam sumpah (bobeto) sejak awal ketika seseorang dinobatkan menjadi Sultan.

Peran Sultan dalam politik sebagai pemimpin dalam sistem pemerintahan berbasis monarki Islam, terutama di wilayah-wilayah seperti Asia Tenggara dan Timur Tengah. Dalam konteks politik, kesultanan merupakan bentuk pemerintahan: kekuasaan berada di tangan seorang sultan yang berfungsi sebagai kepala negara dan simbol kedaulatan.

Baca Juga:  Pariwisata dan Budaya Berbasis Ekologi

Peran sultan dalam politik tidak saja di Indonesia, melainkan beberapa negara di Asia Tenggara. Ini dapat ditemukan dalam berbagai sumber ilmiah, misalnya dalam jurnal “Traditional Authority and Modern Governance: The Case of Sultanates in Southeast Asia”. Artikel ini membentangkan bagaimana sultan memainkan peran dalam konteks pemerintahan modern.

Saat ini peran sultan berfungsi sebagai pemimpin agama, yang memberikan tambahan legitimasi. Sultan memegang otoritas untuk menegakkan hukum syariah dan menjaga moralitas publik sesuai dengan ajaran Islam. Ini memberikan legitimasi religius yang kuat dan memposisikan sultan sebagai pemimpin spiritual dan temporal.

Di sisi lain, struktur kekuasaan dan sistem pemerintahan kesultanan sering kali berbasis pada hierarki feodal, di mana sultan berada di puncak, diikuti oleh para bangsawan, pejabat, dan pemimpin lokal yang memiliki tanggung jawab administratif dan militer.

Meskipun begitu, kita harus bedakan ketika sultan sebagai pemimpin tradisional (kesultanan) yang diatur dalam hukum/aturan adat dan sultan sebagai gubernur yang diatur melalui regulasi dan dikontrol oleh negara.

Sekalipun kesultanan berkultur Islam, bukan berarti agama kristen tidak mendapat tempat di Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Bahkan, atas izin para sultan terdahulu, agama Kristen Katolik dan Protestan dapat berkembang di Jazirah Halmahera Utara, Halmahera Barat, dan sampai ke Papua yang dibawa oleh orang Eropa. Sejak dahulu Maluku Utara sangat toleransi dalam beragama. Jadi, jangan kita usik sikap agung dari leluhur ini, dengan memanfaatkan agama untuk kepentingan sesaat, atau sesat!

Sultan: simbol kedaulatan dan identitas nasional

Sultan sebagai pemimpin di wilayah kesultanannya (saat ini), perannya terutama berpusat pada ritual adat dan keagamaan. Dalam konteks sistem pemerintahan, sultan sebagai pemilik kekuasaan yang absolut, posisinya semakin tergeser sejak era demokratisasi yang berlangsung sejak 1950-an.

Selain itu, adanya pengakuan terhadap negara membuat kekuasaan sultan melebur dalam NKRI. Sementara gubernur memiliki regulasi yang dibuat oleh negara. Undang-undang telah mengatur tentang peran, tugas, dan wewenang Gubernur di Indonesia. Seperti tertuang pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang ini memberikan kerangka hukum untuk pelaksanaan pemerintahan daerah, termasuk peran Gubernur sebagai kepala daerah di tingkat provinsi.

Bergabungnya Maluku Utara ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, NKRI tidak terlepas dari peran sultan. Bahkan, Pembebasan Irian Barat dari cengkeraman kolonialisme adalah bagian dari kerja keras Sultan Zainal Abidin Syah. Itulah kenapa, Presiden Soekarno dua kali mendatangi Maluku Utara untuk bertemu dengan sultan Tidore dan Ternate. Tidak lain adalah aktivasi peran politik para sultan untuk mengusir penjajah dari tanah Papua.

Baca Juga:  RKUHP dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Sampai detik ini sultan diakui oleh negara sebagai simbol kedaulatan dan identitas nasional, terutama dalam konteks penjajahan atau tekanan eksternal. Selain peran politik, sultan juga dianggap sebagai pelindung budaya dan tradisi lokal, yang menjaga dan mempromosikan warisan budaya yang kaya di wilayah kesultanan.

Secara tidak langsung dan tanpa meminta anggaran sepeser pun sultan dan perangkat adatnya telah menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahwa Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi, jika hari-hari ini ada yang bertanya apakah sultan bisa mencalonkan diri atau menjadi gubernur, maka pertanyaan itu menandakan ketidaktahuan seseorang dalam narasi panjang sejarah Maluku Utara. Terlalu sempit dan dangkal cara berpikirnya. Siapapun memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, apalagi memiliki niat yang baik untuk selamatkan Maluku Utara dari keterpurukan, termasuk praktik korupsi berjemaah.

Pemilihan serentak tidak lama lagi dilakukan. Mari kita sama-sama menjaga dan menaburkan pendidikan politik yang baik. Agar demokrasi tumbuh subur dan kuat mengakar menjadi budaya rakyat. Kepada rakyat Maluku Utara, mari kita sama-sama mengambil peran untuk selamatkan Maluku Utara dengan cara menciptakan suasana nyaman dan aman layaknya suasana sebuah peradaban politik yang berbudaya dan berkeadaban, serta mengendalikan diri dari politik SARA dan politik uang atau “politik perut”.

Keberpihakan seseorang, termasuk Mirzam misalnya, kepada bakal calon gubernur Maluku Utara yang dibelanya, sah-sah saja. Namun, sebagaimana semangat yang melandasi tulisan ini, kita menginginkan pemilukada yang damai tanpa provokasi demi kepentingan pihak tertentu. Apalagi jika sampai menyinggung SARA. Jangan!

Perdebatan tentang Sultan Tidore, sebagaimana sultan lainnya di Maluku Utara, yang bisa saja maju sebagai bakal calon gubernur jangan digoreng ke isu lain. Karena selain berhak, sultan dan siapa pun warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk itu, adalah sah dan dijamin UU. Keberpihakan saya, sebagai akademisi, adalah perlunya pelurusan pikiran terkait hal ini, karena segala sesuatu, sebagian besar – jika bukan keseluruhan – bermula sejak dari dalam pikiran.

Pendirian akademik saya sudah menjelaskan duduk perkara ‘kebutaan sejarah’ segelintir pihak atas kedudukan seorang sultan dan peran lainnya di bidang pemerintahan yang dapat dilakukan secara simultan. Dengan kata lain, keberpihakan saya terutama membela pikiran yang benar, bukan memecah-belah masyarakat. Sebaliknya, saya mengajak untuk bersama-sama menciptakan suasana damai dalam proses pemilukada dalam semua tahapan dan jenjangnya.

——

*Penulis merupakan dosen pada program studi Ilmu Sejarah FIB Unkhair & Sekertaris Kota Jakofi, Provinsi Maluku Utara