*Oleh: Rinto Taib
“Ternate itu di mana om? NTT? NTB?,” pertanyaan seorang pengunjung wanita paruh baya yang ditemani seorang anak laki-laki berusia sekitar 11 tahun tatkala membaca papan nama stand expo bertuliskan “Ternate” saat Kongres VI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) pada 18-22 September 2024 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Mendengar pertanyaan tersebut, seketika saya tersadar bahwa benar adanya nama Ternate bukanlah sekadar nama sebuah kota di Provinsi Maluku Utara semata melainkan nama sebuah desa di kecamatan Alor Barat Laut Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Meski demikian, saya merasa bingung sendiri, sebuah desa yang diberi nama oleh para pendakwah Islam di era kejayaan Sultan Baabullah dari Kesultanan Ternate ketika syiar agama Islam di NTT tersebut yang saat ini menjadi jauh lebih dikenal oleh sang wanita tersebut daripada negeri asal para para penyebar pesan dari langit ketika itu.
Pertanyaan wanita itu tentu bukanlah hal baru bagi para perantau ketika disebutkan nama daerah asalnya dari Ternate maka seringkali ditanya seolah berada di daerah di luar provinsi Maluku Utara.
Kendati banyak pula orang kita yang mengetahui bahwa Ternate ditulis dalam catatan sejarah bangsa Indonesia sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara yang pernah berjaya di masa lalu sebagai negeri asal rempah dan juga epos kepahlawanan para sultannya seperti Sultan Baabullah yang mampu mengusir Portugis hingga angkat kaki tanpa syarat untuk kembali ke negaranya ketika itu.
Sebagai sebuah negara bangsa yang terdiri dari pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke maka kita hingga saat ini belum sepenuhnya masyarakatnya saling memahami potensi geografis, sejarah sosial dan keanekaragaman hayati, pusaka dan warisan budaya bangsa dari deretan kepulauan yang berjejer menyambung menjadi satu bernama Indonesia.
Pada konteks ini maka berbagai upaya pemajuan kebudayaan sebagaimana amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menjadi mutlak terus dihidupkan termasuk melalui event-event bernuansa kebudayaan sebagai upaya merawat Kebinekaan dan meruwet keindonesiaan.
Sekadar diketahui Kota Ternate merupakan salah satu kota yang turut serta ikut sebagai deklarator jejaring kota-kota pusaka di Indonesia yang kemudian disebut Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) pada masa kepemimpinan Wali kota Ternate, Drs. Syamsir Andili pada tahun 2008 di kota Surakarta / Solo ketika sang Wali kotanya dijabat oleh Ir. Joko Widodo (Jokowi).
Tentu beban tugas dari jejaring ini akan semakin dituntut untuk lebih berdampak bagi para anggotanya yang tersebar di setiap daerah Kota dan Kabupaten di seluruh indonesia. Terlebih ditengah transformasi perubahan sosial budaya yang sulit untuk kita hindari, selain itu juga berbagai persoalan ekologi, kebudayaan dan pembangunan yang semakin menuntut diselesaikan secara cepat dan tepat.
Selain disrupsi yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat modern, perubahan orientasi nilai budaya yang menjebak kita serta dinamika tatanan dunia global yang berpotensi mengancam eksistensi warisan budaya bangsa di generasi yang akan datang jika kita abai dan kehilangan akan mata angin kebudayaan kita.
Penulis merupakan Kepala Museum Sejarah Kota Ternate, Maluku Utara.