Komunitas Hopes Kopi (HK) kembali menggelar seri diskusi keempatnya yang bertajuk Dari Scientific Forestry Menuju Tata Kelola Inklusif Hak Masyarakat Adat atas Hutan di Kedai Hopes Kopi yang juga Kediaman Prof. Hariadi di sekitar Kawasan Center for International Forestry Research (CIFOR), Jalan Raya Cifor, Situgede, Kota Bogor.
Diskusi tersebut turut dihadiri pembicara dengan beragam latar belakang, mulai dari Bayu Eka Yulian dari Pusat Studi Agraria IPB, Kiagus M. Iqbal dari Sajogyo Institut, perwakilan HuMa Indonesia Wahidul Halim, serta dihadiri kalangan mahasiswa dengan background keilmuan yang berbeda.
Serial diskusi keempat ini untuk melanjutkan warisan intelektual dalam meneladani laku tindak almarhum Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.
Sebagai pembicara pembuka, Kiagus M. Iqbal perwakilan dari Sajogyo Institut memaparkan, bahwa selama ini kita selalu memandang hutan dengan sudut pandang yang sempit bahkan berbagai kebijakan kehutanan sekarang terlalu mencerminkan perspektif eurosentris.
Ia juga membagikan pengalamannya ketika membersamai dan melihat kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sangat bergantung pada hutan di wilayah mereka.
“Masyarakat di NTT bolak-balik di hutan setiap hari untuk mencari kayu bakar, rumput untuk pakan ternak, tanaman-tanaman obat dan pangan. Selain itu, untuk memelihara hutan peran perempuan sangat banyak. Namun, praktik pemeliharaan hutan oleh negara justru tidak melihat hal itu,” kata Kiagus, Kamis, 15 November 2021.
Kiagus menyebut, terdapat beberapa norma-norma masyarakat adat yang oleh masyarakat adat itu justru upaya untuk melestarikan hutan, namun gagal dilihat oleh negara.
“Bagaimana kearifan masyarakat adat dalam mengelola hutan, tetapi abai oleh perhatian negara,” ungkapnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Agraria Bayu Eka Yulian, mengacu pada buku Prof. Hariadi Kartodihardjo Di Balik Krisis Ekosistem Terdapat Krisis Cara Berpikir menerangkan, kerusakan dan krisis ekosistem merupakan produk dari kesalahan berfikir teknokratik yang menganggap hutan sebagai komoditas dan mengabaikan fungsi sosial dan lingkungan.
Bahkan, kata Bayu, tak jarang hutan didefinisikan oleh para scientific forestry hanya sebagai hutan an sich. Sosok yang akrab disapa Mas Bey tersebut juga menambahkan, mitologi-mitologi yang lahir dan dipraktikkan oleh masyarakat adat adalah upaya mereka menjaga dan melestarikan fungsi ekosistem.
“Bagi masyarakat adat, rusaknya ekosistem–robohnya sebuah pohon – tidak hanya sekadar krisis ekologi yang terjadi, tetapi juga soal hilangnya kebudayaan, adat-istiadat, dan berbagai ritual yang ada di dalamnya, namun dunia kampus selalu memsimplifikasi masyarakat adat dengan pemikiran-pemikiran kampus,” jelasnya.
Selanjutnya, Perkumpulan HuMa Indonesia, Wahidul Halim dalam kesempatannya menjelaskan beberapa poin yang sejauh ini masih menjadi persoalan.
Misalnya, penatapan hutan adat yang masih mengalami kendala, serta masih banyak pekerjaan rumah terutama yang berkaitan dengan teknis penatapan hutan adat yang belum terselesaikan.
“Dan masih rumitnya regulasi soal masyarakat adat, sehingga membutuhkan payung hukum yang betul-betul mengatur soal masyarakat adat,” imbuhnya.
Diskusi yang sempat tertunda karena hujan tersebut, disambut dengan antusiasme dari peserta yang hadir. Berbagai pertanyaan, tanggapan, dan komentar disampaikan. Salah satunya Famila, seorang mahasiswa asal Kalimantan Barat yang menempuh studi di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.
Dalam kesempatannya Familia menyesalkan, bahwa sejauh ini kebanyakan masyarakat adat yang telah mendiami suatu kawasan secara turun-temurun, namun harus tersingkirkan ketika adanya korporasi yang akan mengeksplorasi sumber daya alam di wilayah tersebut.
“Contohnya Kasus Rempang yang beberapa waktu lalu menghiasi jagat media, memperlihatkan bahwa masyarakat adat selalu tersingkirkan ketika berhadapan dengan penguasa maupun pengusaha,” ujar Familia.
Di akhir sesi diskusi, Adam Maulana selaku koordinator kegiatan mengapresiasi kegiatan diskusi yang rutin dilakukan. Ia juga mengharapkan adanya kolaborasi dari berbagai pihak yang ingin menggelar forum-forum diskusi untuk menggaungkan semangat intelektual di kalangan para mahasiswa maupun umum.
Sekadar diketahui, Komunitas Hopes Kopi rutin menyelenggarakan ruang-ruang diskusi sebagai upaya membangun iklim dialektika yang diwarnai nilai inklusif serta keterbukaan pemikiran yang penuh harapan dan optimisme.
Di Hopes Kopi, teman-teman yang berkunjung bisa saling sharing gagasan dan pengetahuan, serta mendapat asupan bergizi bagi tumbuh-kembangnya pemikiran.
Penulis: Muhammad Ilham Yahya