Aktivitas pertambangan di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate akan meluncurkan buku Halmahera Jangan Dijual pada Sabtu, 14 Juni 2025, di Pandopo Benteng Oranje, Kota Ternate.
Peluncuran buku karangan 18 jurnalis di Maluku Utara ini menjadi bagian upaya membangun narasi tandingan terhadap masifnya ekspansi industri tambang nikel di Pulau Halmahera.
Acara peluncuran akan dikemas dalam bentuk diskusi terbuka, menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, jurnalis, hingga warga desa yang tinggal di kawasan lingkar tambang.
Buku Halmahera Jangan Dijual merupakan catatan 18 jurnalis dari berbagai daerah di Maluku Utara. Isinya, mengungkap dampak sosial, ekologis, dan struktural dari aktivitas industri tambang nikel Halmahera.
Ketua AJI Ternate, Yunita Kaunar, menyebut buku ini sebagai dokumentasi penting yang memuat fakta lapangan tentang perubahan drastis yang dialami masyarakat di kawasan tambang.
“Buku ini menjadi bukti bahwa masyarakat di lingkar tambang menghadapi tekanan luar biasa terhadap ruang hidup dan sumber daya alam mereka,” ujarnya.
Menurut data yang dihimpun AJI Ternate, terdapat sedikitnya 58 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Provinsi Maluku Utara, dengan total luasan mencapai 262.743 hektare. Pulau Halmahera menjadi pusat utama operasi pertambangan, dengan dua perusahaan besar sebagai pemain dominan: PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan PT Harita Nickel.
Di Halmahera sendiri, terdapat 28 izin tambang nikel, dengan konsentrasi tertinggi di Kabupaten Halmahera Tengah. Luas konsesi tambang di kabupaten ini mencapai 106.039 hektare, hampir setengah dari total luas administratifnya sebesar 227.683 hektare.
“Artinya, hampir separuh wilayah kabupaten telah dikapling untuk kepentingan industri tambang. Ini menggambarkan betapa besar tekanan terhadap ruang hidup masyarakat dan keberlanjutan ekosistem lokal,” tambah Yunita.
Data dari Global Forest Watch mencatat, sepanjang 2001 hingga 2022, Kabupaten Halmahera Tengah kehilangan sekitar 26.100 hektare tutupan hutan. Sementara itu, Halmahera Timur kehilangan hingga 56.300 hektare. Kehilangan tutupan hutan ini berkaitan erat dengan pembukaan lahan tambang, pembangunan infrastruktur industri, dan aktivitas penunjang lainnya.
Kerusakan ekologis yang ditimbulkan mencakup penurunan kualitas air, pencemaran udara, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga meningkatnya risiko bencana ekologis seperti banjir dan longsor. Tak hanya itu, struktur sosial dan ekonomi masyarakat juga ikut terdampak.
“Warga desa yang dulunya hidup dari pertanian dan perikanan kini terpinggirkan. Mereka kehilangan tanah, akses terhadap sumber daya, bahkan mengalami kriminalisasi saat mempertahankan hak-haknya,” jelas Yunita.
Ia menegaskan, isu tambang nikel di Halmahera bukan semata soal ekonomi atau investasi, melainkan telah menjadi krisis multidimensi.
“Ini menyangkut kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketimpangan struktural yang semakin dalam,” tutup Yunita.
Sebanyak 128 siswa resmi memulai Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Tahun Anggaran 2025–2026 di Sekolah Polisi…
Kapolres Halmahera Utara, AKBP Erlickson Pasaribu, mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh…
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Maluku Utara cetusan pemerintahan Prabowo Subianto, dinilai gagal dijalankan…
Ratusan warga Kota Tobelo di Halmahera Utara, Maluku Utara, mengungsi ke kawasan daratan tinggi untuk…
Anggota DPD RI, Hasby Yusuf, menegaskan pentingnya sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan sebagai upaya merawat jati…
Sejumlah Polisi Wanita (Polwan) dari Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Maluku Utara menggelar patroli dan…