Foto penulis
Oleh: Agus SB*
TULISAN ini dimaksudkan merayakan Hari Buku se-Dunia, 23 April kemarin. Rio de Janeiro, Brasil, ditetapkan Sekjend Unesco sebagai “Ibu Kota Buku Dunia”, sebagai tempat perayaan hari buku dan hak cipta tahun ini, 2025.
Meskipun “Buku” menjadi pusat perayaan sedunia pada di atas, saya melihat eksistensi tak kasat mata satu elemen pokok yang melatari tidak hanya lahirnya sebuah buku, tetapi juga lahirnya “masakan/minuman”, “musik”, dan “lukisan”.
Elemen pokok itu adalah imajinasi, yang bersarang di dalam akalbudi (mind) manusia. Akalbudi memungkinkan setiap manusia terhubung dengan “dunia transenden”, terhubung dengan “dunia luar” tubuh manusia seperti merasakan panas, dingin dan kekerasan objek yang disentuh, dan dengannya pula setiap kita berdialog secara batiniah (silolique). Akalbudi hanya dapat bekerja dengan “bahasa” yang kita pelajari dalam setiap momen pertumbuhan dan perkembangan sebagai manusia.
Dari akalbudi dan kemampuan “bahasa” ini, manusia dapat berimajinasi atau mengimajinasikan sesuatu yang ‘belum wujud tetapi kemungkinan dapat diwujudkan’. Imajinasi memungkinkan membayangkan segala kemungkinan yang mungkin ada, kebalikan dari “fantasi” yang dipahami sebagai khayalan yang tak “mengandung kemungkinan”.
Suburnya kreativitas dimungkinkan oleh kekuatan imajinasi di dalam akalbudi manusia. Kreativitas hanya dapat lahir dari cara berpikir divergen, memikirkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda, yang tidak sama dan tidak umum.
Dengan imajinasi yang kuat, kreativitas menyuburkan dan menghasilkan sedemikian banyak buku yang tak terhitung, sejak masa lampau hingga kini, dan kemungkinan masa depan yang jauh, sebagaimana manusia juga menghasilkan beragam makanan/minuman, musik dan lukisan di dunia ini.
Meskipun keempat jenis hasil kreativitas manusia di atas disuburkan kekuatan’ imajinasi, tetapi ada perbedaan di antara buku, makanan/minuman, musik di satu pihak, dan lukisan di lain pihak. Tidak seperti ketiga hasil kreativitas yang pertama, hingga saat ini tak ada resep bagaimana membuat sebuah lukisan yang “kuat”, yang indah, dan keindahannya dapat diterima lintas batas budaya dan masyarakat.
Apa yang diajarkan di dalam menghasilkan sebuah “lukisan” yang baik dan indah hanyalah semacam pengajaran dasar-dasar melukis, mencampurkan warna cat air atau minyak, barangkali juga pengenalan peralatan dan media melukis. Sementara ketiga yang pertama, untuk menghasilkan buku, masakan/minuman, dan musik, seseorang dituntut melek literasi (kemampuan membaca, berhitung, dan menulis).
Bagaimana menulis buku (dengan beragam genre), meskipun ada di antara para penulis yang mengelak dan mengatakan menulis tidak dapat diajarkan, tetapi prinsip-prinsip dasar dalam menulis harus dan dapat diajarkan.
Demikian halnya, untuk membuat satu jenis masakan /minuman yang enak, takarannya dapat dibuat melalui “coba-coba” atau eksperimen kemudian hasilnya dituangkan dalam bentuk “resep”: mis, takaran sendok makan sekian mg, garam sekian mg, dsb. Demikian halnya, kreativitas dalam menciptakan sebuah musik (lagu dan nada) sejak lama telah “dimudahkan” dengan fasilitas “tanda-tanda nada” dalam bentuk angka dan simbol.
Keempat hasil kreativitas manusia di atas merupakan unsur di antara unsur lainnya dari sebuah peradaban. Keempat unsur peradaban ini diberi “nilai tinggi” secara budaya dalam setiap masyarakat dan peradaban disebabkan kekuatan imajinasi luar biasa yang menghasilkannya, kekuatan yang tidak dimiliki semua orang dalam suatu masyarakat. Apakah imajinasi dapat diajarkan? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini.
Namun, ketahuilah, ilmu pengetahuan yang diajarkan di dalam pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, pada dasarnya juga dibangun di atas kekuatan imajinasi.
Contoh relatif mudah: pada saat seseorang ingin melakukan sebuah penelitian, ia dapat berpikir mengenai suatu peristiwa atau fenomena yang dapat diamati. Ia bertanya, mengapa fenomena ini dapat hadir, bagaimana ia muncul, dan mengapa kehadirannya tampak seperti itu? Ia membangun anggapan, misalnya, kemungkinan fenomena itu disebabkan oleh pengaruh variabel X. Ia membayangkan (mengimajinasikan), fenomena itu disebabkan oleh X. Jadilah, Pengaruh X terhadap fenomena Y.
Selanjutnya, ia akan membenarkan anggapannya yang dibangun secara imajinatif itu dengan menelusuri dan membaca karya-karya tulis berkenaan dengan fenomena yang ingin diketahuinya melalui penelitian. Bahwa, kemudian anggapan imajinatifnya terbukti atau sebaliknya, terbantah, ia dapat mengubah anggapannya berdasarkan fakta-fakta yang disebut data yang ditemukannya.
Apa yang penting dalam contoh itu adalah kemampuan imajinasinya yang mendorongnya berusaha menemukan penjelasan terhadap fenomena yang ditelitinya. Itulah, atau yang saya kira itulah, imajinasi di dalam kerja-kerja ilmu pengetahuan.
Imajinasi, dengan demikian, harus diasah, seperti seseorang diajari mengenal dan mengeja huruf dan angka, sebagaimana seseorang diajarkan berhitung (tambah, kurang dan perkalian, dst), sebagaimana seseorang diajarkan menyambung huruf-huruf menjadi kata, menyambung kata-kata menjadi kalimat, dst. Ia (imajinasi) merupakan salah satu potensi yang dapat diubah menjadi kekuatan mengagumkan yang dimiliki manusia.
Kekuatan mengagumkan ini dapat digambarkan dengan kasus Sir Isaac Newton, penemu teori Gravitasi. Konon, ia hanya menyaksikan fenomena sederhana yakni, ketika ia memperhatikan buah apel yang jatuh dari pohonnya. Ia berpikir ‘mengapa benda selalu jatuh ke bawah’. Ia kemudian menyadari adanya “gaya tarik menarik antara dua benda yang memiliki massa, yang kemudian dinamakannya “gravitasi”.
Gravitasilah, menurutnya adalah penyebab jatuhnya apel ke bawah, dan planet mengelilingi matahari. Hasil imajinasinya kemudian dirumuskan secara formal menjadi Teori Gravitasi yang menjadi dasar banyak bidang ilmu pengetahuan.
Kekuatan imajinasi, sekali lagi, tidak diragukan sebagai elemen pokok yang bersama elemen kreativitas terbukti telah melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi dan unsur peradaban lainnya seperti buku, masakan/minuman, musik dan lukisan. Akhirnya, karena itu, dunia ini dibangun di atas imajinasi.
Kebalikannya juga dapat terjadi, kemiskinan imajinasi menyebabkan kemiskinan peradaban. Kemiskinan imajinasi di dalam sebuah masyarakat dan kebudayaannya, termasuk mereka yang berkuasa di dalam sebuah birokrasi pemerintahan, hanya melahirkan stagnasi (kemacetan) masyarakat, kebudayaan, dan peradabannya.
Kemiskinan imajinasi berakibat lebih parah daripada “kemiskinan ekonomi”. Pengentasan yang kedua mensyaratkan pengentasan yang pertama (sic!). Dan, studi banding bukan cara pengentasan kemiskinan imajinasi. Sebaliknya, hanya menandakan kemiskinan imajinasi itu sendiri, hanya menghasilkan “peniru”.
—–
*Penulis merupakan pengajar antropologi IAIN Ternate
Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…
Polsek Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, kembali mengungkap praktik pengolahan emas ilegal yang berlokasi…
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Pulau Taliabu, Maluku Utara resmi berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK)…