Perspektif

Pili Torang Pe Orang

Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]*

 

Inti buku Relasi Kwasa, Politik Identitas, dan Modal Sosial (M. Rahmi Husen, 2025) ada pada bab 3 dan 4. Dalam terma antropologi bahasa, di dalam dua bab inilah kita bisa menemukan hal-hal emik-“sesuatu (apa) yang ada di sana”-tentang tiga frasa dalam judul buku ini.

BUKU ini adalah “kata lain” dari sebuah disertasi, parafrasa atau tulis ulang dengan cara lain dari riset yang dilakukan penulisnya untuk mencapai derajat Doktor, dan hal-hal emik sebagai temuan riset tersebut ada dalam eksplanasi sepanjang bab 3 dan 4. Hal-hal emik tersebut begitu banyak, saling berkelindan, dan membentuk jejaring makna dalam praktik demokrasi pemilihan kepala daerah di Maluku Utara.

Dari sekian eksplanasi atas temuan riset tersebut, mari kita turunkan suatu teks yang saya sebut sebagai emik, atau dalam bahasa epistemologi riset, suatu yang evidence based, suatu oleh-oleh atau cinderamata dari lapang. Dalam sudut pandang studi teks, apa yang dikemukakan oleh salah satu informan dalam riset ini, sesungguhnya adalah simpai yang menautkan relasi kuasa, politik identitas, dan modal sosial dalam buku ini. Mari kita turunkan secara lengkap teks pada halaman 73-74.

Saat memilih, itu luar biasa: Harus Pilih, Harus Pilih, Harus Pilih Kitong Pe Orang (Harus Pilih, Harus Pilih, Harus Pilih, Orang Kita). Menurut ISK, slogan itu masih kental. Sampai hari ini, menurutnya, ia melihat itu masid ada.

Secara tekstual, informan ini mengatakan dua hal, apa yang dia pikirkan sebagai penyokong salah satu calon kepala daerah dan sekaligus (dia) juga ingin menangkap alam pikir para pemilik suara.

Bahasa adalah salah satu contoh dari semesta teks, dan menurut Noam Chomsky dalam buku lawasnya Language and Mind (1968), bahasa adalah the mirror of the mind, bahasa adalah cermin pikir. Apa yang tampil dalam ucapan adalah gambaran atau pantulan dari alam pikir orang, la, ucapan itu, pada dasarnya adalah transformasi dari alam pikir dan ekspektasi pengucapnya.

Frasa lokal seperti pilih torang pe orang dalam riuh rendah pilkada adalah evidensi linguistik nyata dari gambaran tentang politik identitas. Menariknya, frasa ini tidak hanya diglorifikasi para penyokong calon tetapi juga berooerasi pada ucapan individu atau kelompok yang punya relasi primordial atau punya ranji genealogis berkaitan dengan siapa yang akan dan harus mereka pilih sebagai pemimpin.

Secara linguistik pula, makna frasa pilih torang pe orang dapat ditemukan penjelasan linguistik. Dengan pronomina torang, bahasa Melayu Ternate memang menyatukan persona pertama jamak inklusif dan eksklusif seperti we (‘kami/kita’) dalam bahasa Inggris dan nahnu (‘kami/kita’) dalam bahasa Arab. Torang adalah kami dan kita.

Berbeda dengan bahasa Indonesia yang memisahkan persona pertama jamak inklusif, kita, dan persona pertama jamak eksklusif, kami. Pemisahan ini pun terjadi pada sejumlah bahasa lokal di Maluku Utara, seperti ngom (kami) dan ngone (kita) untuk bahasa Ternate dan Tidore serta bahasa Taba/Makeang Timur am (kami) dan tit (kita).

Inklusivitas kita dan eksklusivitas kami disatukan dalam bahasa Melayu Ternate: torang. Diperlukan konteks percakapan untuk memahami torang dalam bahasa Melayu Ternate sebagai ‘kami’ dan kita sebagaimana juga we dan nahnu dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Tetapi, dalam semesta pilkada, torang dalam pili torang pe orang lebih dimaksudkan sebagai ajakan ke dalam kelompok sendiri, semacam kekelompokan ke dalam berkaitan dengan relasi primordial atau genealogi calon yang ditawarkan. Torang pe orang adalah orang yang segenealogi kampung dan etnik.’

Pada keadaan ini, penyokong–bahasa teknisnya tim sukses–dan pemilik suara, pada hakikatnya sama-sama mengamalkan politik identitas, dua-duanya setali tiga uang, meskipun bisa jadi masing-masing punya kepentingan yang berbeda.

Frasa lain yang setara dengan torang pe orang adalah ana kampong. Secara sederhana, seperti kata Chomsky yang saya kutip di awal tulisan, bahasa adalah cermin pikiran, semangat memilih torang pe orang atau memilih ana kampong mencerminkan alam pikir tentang memilih pemimpin. Kalau sudah begini, pada aras yang sangat purba dan tradisional, pilkada sudah mirip-mirip memilih pemimpin kampung atau lebih ekstrim lagi memilih pemimpin suku.

Berdasarkan cermin pikiran tentang memilih pemimpin yang ada dalam alam pikir pemilih sebagai pemilik daulat itulah, maka para penyokong dan elite (baca: partai dan calon pemimpin) menggunakan segala daya: jejaring, model kampanye, biaya politik (cost of politics), bahkan politik uang (money politics) untuk menyukseskan calon pemimpin yang diusung.

Pada beberapa eksemplar dalam tradisi pilkada, para penyokong dan elite mencari, mengelola, dan mengompromikan alam pikir pemilik suara sebadai daulat dalam menawarkan pasangan calon pemimpin yang ditawarkan. Polanya nyaris mirip pada hampir semua pilkada di Maluku Utara (dan Indonesia), mengombinasikan elite calon berdasarkan kecakapan-kecerdasaran, elektabilitas, rekam jejak karya dan moral, serta keasalan komunitas keetnikan dan keagamaan. Jadi, semacam jalan kompromistis. Tujuannya satu: meraup suara sebanyak-banyaknya.

Ada satu yang menarik dari perubahan yang terjadi, setidaknya pada pilkada terakhir yang baru kita jalani tahun lalu. Tampilan pili torang pe orang dan ana kampong tidak lagi sebagai relasi genealogi keasalan tetapi juga telah bergerak ke suatu kerangka primordial baru. Tidak hanya sekampung dalam definsi keetnikan, tetapi torang pe orang telah memasukkan kategori sosial dalam semesta masyarakat urban: pertemanan (sekolah dan kerja), rekan bisnis, kebirmanan (neigberhood) masyarakat kota, relasi kekolegaan dalam profesi dan berbagai organisasi sosial, dan paguyuban orang-orang kota.

Ini satu tanda penting kemajuan dalam demokrasi pilkada. Tetapi jangan lupa atau abai untuk satu sisi lain. Fakta tentang tidak tegasnya batas-batas ongkos politik (cost of politics) dan politik uang (money politics) dalam praktik pilkada, membuat kita perlu menyusun ulang jawaban-jawaban atas pertanyaan: Apakah pilkada kita setakat ini sudah benar-benar demokratis dalam segala spektrumnya?

Buku Relasi Kuasa, Politik Identitas, dan Modal Sosial yang ditulis M. Rahmi “Juned” Husen menyodorkan sejumlah fakta emik dari kancah (field) pilkada Halsel dan Sula sebagai eksemplar yang membuka kemungkinan sejumlah jawaban atas segala sengkarut pemilihan pemimpin dalam pilkada Malut.

——

*Penulis merupakan Profesor Antropolinguistik Universitas Khairun


  1. Tulisan ini disampaikan pada Peluncuran dan Berkah Buku Pontinan, dan Modal Sosial Dr. M. Rahmi Husen, M.Si, di Ballroom Hotel Bula Ternate, 26 Jun 2023.
  2. Disclaimer: Tulisan ini belum tuntas dan belum diedit dengan baik. Setelah menyerap pandangan dalam bedah buku ini, tulisan ini perlu menambah catatan perluasan, meskipun belum tentu rampung.
cermat

Recent Posts

Kapolda Maluku Utara Kunjungi Polres Halut, Tekankan Profesionalisme dan Integritas Anggota

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku Utara, Irjen Pol. Waris Agono, melaksanakan kunjungan kerja ke Polres…

22 menit ago

Polairud Imbau Warga di Taliabu Waspada Cuaca Ekstrem

Polisi Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Taliabu memberi imbauan waspada untuk masyarakat imbas cuaca…

14 jam ago

Soal Laporan Pengancaman terhadap Anggota DPRD Taliabu di Medsos, Polisi: Masih Pengaduan

Polres Pulau Taliabu menyebut bahwa dugaan kasus pengancaman dan pencemaran nama baik yang dialami Ketua…

15 jam ago

BKD Morotai Tunggu Putusan BKN untuk Umumkan Hasil PPPK Tahap Kedua

Hasil seleksi PPPK tahap kedua di Pulau Morotai, Maluku Utara, masih belum diumumkan oleh Badan…

16 jam ago

Gelar Safety Riding and Driving Demi Kurangi Kecelakaan di Area Tambang Halteng

Satuan Lalu Lintas (Sat Lantas) Polres Halmahera Tengah (Halteng) menggelar kegiatan safety riding and driving…

17 jam ago

Polisi di Morotai Dipecat karena Nikahi 3 Perempuan, Kapolda: Sudah PTDH dan Jadi Atensi

Oknum anggota Polres Pulau Morotai, berinisial MR, resmi diberhentikan tidak dengan hormat atau PTDH buntut…

17 jam ago