Sidang kasus kriminalisasi 11 masyarakat adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore. Foto: Rabul Sawal/Kadera.id
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Halmahera Timur (Haltim) terhadap 11 warga adat Maba Sangaji yang menjadi terdakwa dalam kasus demonstrasi dengan membawa senjata tajam, dinilai tidak berdasar oleh Sajogyo Institute, lembaga riset yang berbasis di Bogor.
Dalam pernyataannya, Sajogyo Institute meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio untuk menyatakan bahwa dakwaan yang diajukan JPU tidak benar dan tidak memenuhi unsur pidana.
Peneliti Sajogyo Institute, Moh Ali Rahangiar, menyampaikan, selama proses persidangan berlangsung, terbukti bahwa dakwaan JPU terhadap 11 terdakwa tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Dakwaan tersebut bertentangan dengan berbagai instrumen hukum, baik nasional maupun internasional, yang menjamin hak-hak warga negara, khususnya masyarakat adat,” kata Moh Ali, melalui dokumen Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada cermat, Selasa, 14 Oktober 2025.
Ia menegaskan, tindakan para terdakwa justru merupakan bentuk pembelaan terhadap tanah adat warisan leluhur mereka. Menurutnya, aksi tersebut adalah bagian dari upaya mempertahankan hak hidup — hak paling fundamental dalam prinsip hak asasi manusia.
“Mereka mempertahankan tanah adat, lingkungan hidup, dan menjalankan kewajiban moral untuk menegakkan keadilan antar-generasi. Ini bukan tindakan kriminal,” tambahnya.
Ali juga menyebutkan ketentuan pidana yang digunakan oleh JPU tidak selaras dengan fakta di lapangan. Ia menilai tidak satu pun perbuatan dari para terdakwa yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP.
“Oleh karena itu, perbuatan mereka tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Bahkan, JPU sendiri tidak memiliki dasar moral dan etis untuk mendakwa para terdakwa atas nama ‘Kebenaran dan Ketuhanan Yang Maha Esa’,” tegasnya.
Ali meminta Majelis Hakim untuk menyatakan dakwaan JPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Ia menekankan perbuatan para terdakwa tidak hanya tidak melawan hukum, tetapi juga dilindungi oleh berbagai regulasi, termasuk: UUD NRI 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM RI.
Atas dasar itu, pihak Sajogyo Institute mendesak agar Majelis Hakim membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan (vrijspraak), atau setidaknya menyatakan mereka lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
“Kami berharap putusan yang diambil mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, dan perlindungan hak asasi manusia,” ujar Ali.
Ia menambahkan, putusan yang adil dalam perkara ini tidak hanya akan memberikan kelegaan bagi para terdakwa, tetapi juga menjadi preseden penting dalam penanganan konflik agraria di Indonesia.
“Ini akan menjadi pijakan penting untuk menjamin penghormatan terhadap hukum adat, menjaga keutuhan sosial masyarakat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” pungkasnya.
Sejumlah staf di RSUD Ir Soekarno Pulau Morotai, Maluku Utara, menyayangkan polemik penyusunan Surat Keputusan…
Kapolres Halmahera Selatan, AKBP Hendra Gunawan, resmi melantik pejabat baru pada jabatan Pamapta Sentra Pelayanan…
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku Utara yang baru dilantik, Sufari, menegaskan komitmennya untuk memberantas praktik…
Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Maluku Utara menetapkan satu orang tersangka dalam kasus…
Sebagai bentuk komitmen terhadap penerapan Good Mining Practice dan mendukung program Keselamatan dan Kesehatan Kerja…
Dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang geosains dan sejalan dengan program Kementerian…