Perspektif

Collapse, 11 Parhesia, dan Warisan Kolonial

Oleh: Wawan Ilyas*

Ketika Roem Topatimasang meneliti etnografi di kawasan Maluku, jendela pemahaman kita mengenai orang-orang Maluku jadi lebih terbuka. Kita sedang memahami diri kita sendiri. Membaca dan memahami buku “Orang-orang Kalah; Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat” merupakan sebuah tamparan keras. Orang-orang di kawasan Maluku adalah korban-korban pembangunan paling lama, yang paling terhegemonik sejak zaman penjajahan Portugis hingga terciptanya negara Indonesia Modern.

Orang Modole, salah satu suku bangsa di kawasan ini, Halmahera (Utara), mengalami terpaan silih berganti dari kekuatan-kekuatan penjajahan. Portugis merubah struktur sosial, Belanda merampas hak beragama dan kepemilikan komunal atas tanah, kesultanan Ternate memaksakan tata kepemimpinan adat berbasis Islam, dan negara Indonesia modern ikut menyingkirkan mereka dari habitat alamiahnya. Orang Modole dalam perjalanan sejarahnya terombang-ambing dalam narasi dan transformasi hegemonik berbasis agama dari awal Portugis yang membawa Khatolik, berlanjut ke Belanda yang Protestan, dan dianeksasi Kesultanan Ternate yang berlandaskan Islam.

Tiga kekuatan besar dalam periode sejarah itu, mengeroyok sistem kebertahanan hidup masyarakat tempatan, sekaligus mengafirmasi manusia Maluku masa kini, bahwa  orang Maluku, di satu sisi sebagai bangsa yang memiliki tata krama dan adat sendiri, punya peradaban menjaga tanah yang adi luhung, punya budaya yang beragam, punya solidaritas komunal yang sangat kokoh.

Namun paradoks di sisi lainnya. Kultur kolonial dan setelah terbentuknya negara modern Indonesia, orang-orang Maluku termasuk kumpulan suku bangsa yang paling cepat terbakar amarah, gampang diadudomba (Devide et Impera), mudah terprovokasi, dan secara politik paling gila hormat, penjilat jabatan dan gampang menjadi masyarakat pelupa. Tak ingin belajar keras dari peristiwa masa lalu. Pendeknya, orang Maluku paling sering “menerima” untuk diusir dari kosmologi kehidupan atas nama negara, politik, dan proyek pembangunan nasional. NKRI hadir memperkuat legasi politik perampasan, penghilangan akar sejarah lokal, alih-alih mengakui eksistensi masyarakat adat dan Tanah Ulayat di Maluku melalui putusan tertinggi hukum: Mahkamah Konstitusi.

Abad 21 menjadi fase paling mencekam, dimana “panggung depan dan belakang kehidupan” orang Maluku, dimainkan semuanya oleh negara. Negara di depan membawa aparat dan hukum, investor asing perusak lingkungan di belakang atas izin negara. Dalam satu tarikan pendulum, negara/investor mempekerjakan orang Maluku, sekaligus menjauhkan dari sumber kehidupan alamiah, membuka ruang intimidasi secara hukum bagi siapa saja yang berani lain arah. Lebih ganas, lebih halus, lebih licik, lebih kejam dari Portugis dan Belanda dulu.

Siklus eksploitasi dan hegemonik kira-kira terjalin macam ini: negara mengangkat warga lokal sebagai penguasa daerah (gubernur/bupati), investor mempekerjakan warga lokal dengan status rendahan (buruh), negara dan investor sama-sama berkekuatan militer/aparat, dengan jaminan perlindungan hukum, warga lokal yang memprotes akan dihadang aparat negara, dan investor tetap jalankan operasi penghancuran lingkungan karena dilegitimasi negara. Dalam siklus ini, warga lokal sepenuhnya berada dalam kondisi dilematis, di-konflik-kan secara berkala karena sama-sama terhegemonik. Satu bagian menerima hadirnya perusahaan karena kebutuhan yang dipaksakan, bagian lainnya menolak, dalam arti ingin menjaga siklus ekologi Halmahera yang hari-hari ini semakin menyesakkan dada. Siklus inilah yang membuat warga lokal tidak pernah benar-benar meraih kedaulatan atas tanah adat, karena solidaritas komunal yang dulunya menjadi basis relasi sosial tercerai-berai oleh peta konsesi dan relasi ekonomi-politik negara-investor-penguasa daerah-buruh dari warga lokal”.

Kekuatan warga semakin melemah dan menjadi jalan mulus bagi dilangsungkannya penjarahan. Yang terjadi bukan “Kesadaran” dan pendidikan politik warga lokal yang dikasih oleh elit negara, melainkan “Kesabaran” politik secara massif. Meskipun siklus kehidupan lokal semakin terancam, namun warga selalu dipaksa untuk bersabar dan selalu menerima, bukan sadar atas kondisi yang melahirkan perlawanan massif atas kerusakan. Meningkatnya IUP dan penerimaan besar-besaran tenaga kerja kasar di Maluku Utara jadi akses utama langkah menghancurkan kebudayaan masyarakat dari dalam. Untuk hari ini, buruh kasar perusahaan di Maluku Utara tidak akan berani melakukan mogok kerja. Apalagi memberontak terhadap perusahaan. Selain karena tidak ada kepemimpinan kolektif dari dalam tubuh buruh terhadap situasi eksploitasi, mereka akan dihubungkan, diintimidasi dengan kebutuhan keluarga di rumah. Melawan artinya bernasib diberhentikan. Pola ini sangat mujarab dipakai perusahaan dan negara untuk mempertahankan proses produksi.

Orang Maluku Utara, jelas adalah “Orang-orang Kalah” di atas kedaulatan tanah adat dan dalam rumah kesultanan Moloku Kie Raha.

Keruntuhan (collapse) Peradaban

Jujur, hati saya terganggu. 11 warga adat Maba Sangaji yang pemberani dan jujur sadar akan keruntuhan lingkungan. Mereka tahu dan sadar, lingkungan merupakan basis material menjaga peradaban masyarakat. Jika lingkungan rusak, seluruh sumber hidup lokal ikut rusak, kebudayaan rusak, pengetahuan lokal merawat alam (hutan, tanah dan laut) bahkan musnah ditelan politik serakah. 11 warga Sangaji sadar, bahwa menjaga lingkungan akan berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar mengancam hidup mereka (negara dan investor). Tetapi 11 orang ini terus bersuara karena hutan dan tanah adalah sumber peradaban terakhir yang mereka punya, tak peduli apa konsekuensinya. Inilah alasan saya menyebut mereka, meminjam Michael Fouchault, sebagai Parhesia: orang yang sudah tahu dan sadar konsekuensi, namun harus tetap berkata jujur, berlawan demi kebenaran, keadilan, dan keberlanjutan hidup anak cucu.

Yang menyedihkan, mereka dikriminalisasi oleh negara. Negara tanpa malu menyebut mereka penjahat dan para pejuang lingkungan ini divonis bersalah oleh pengadilan Negara di Soa Sio, Kota Tidore Kepulauan, dengan pasal menghalangi aktivitas pertambangan PT. Position yang luar biasa kurang ajarnya itu. Sebelum mereka divonis, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, sebagai perwakilan negara di daerah secara publik memfitnah 11 orang ini dengan mengatakan ada perilaku pembakaran mobil polisi oleh pelaku 11 warga. Padahal, tidak satu pun fakta dalam persidangan menyebut atau mengakui ada tindakan tersebut. Bahkan faktanya di lokasi kejadian, tidak ada mobil polisi, termasuk tidak ada bakar-bakaran mobil. Lidah tak bertulang Gubernur Sherly berhasil memoles citra lewat politik populisme memojokkan 11 warga yang berhak atas tanah adat ini. Sebuah vonis tak berdasar hukum. Tapi mengikuti irama oligarki daerah dan penghancuran dan kriminalisasi sepihak yang dilihat sebagai normal.

Saya masih sangat percaya, politik populisme adalah bahaya laten ketika seluruh kekuatan politik berhasil terhegemonik. Daya rusaknya bekerja secara halus, lewat kampanye kesadaran, kebaikan dan kebutuhan akan posisi. Dimana-mana, tidak ada politik populisme yang masih lahir dari rahim rakyat. Semua lahir dari relasi-relasi elitis. Populisme dan fasisme sama secara mendasar. Sama-sama digerakkan oleh elit. Bedanya, fasisme utamakan teror dan kekerasan fisik, sedang populisme kedepankan citra, kampanye kebaikan dan peduli rakyat. Justru bahayanya ketika seluruh langkah populisme berhasil, ia dengan sangat mudah merubah ruang gerak, membangun jejaring ekonomi dan berujung pada model politik dan pemerintahan oligarki-otoriter. Bukankah Jokowi adalah contoh terbaik? Pelan tapi pasti, bagaimana transformasi politik populisme ke model praktek negara oligarki-otoriter?

Vonis atas 11 warga Sangaji adalah tahapan sistematis dan terstruktur dari politik populisme negara dalam siklus eksploitasi dan penghancuran kebudayaan. Lihatlah, 11 warga itu tidak mendapat dukungan seperti bagaimana orang-orang Halmahera mendukung Sherly Tjoanda. Terbaru dan tak dapat diterima akal sehat, setelah selesai divonis terpenjara, salah satu terdakwa dari 11 warga Maba ini mendapat perlakuan kekerasan oleh pegawai rutan kelas II Soa Sio pada Senin, 20 Oktober 2025. Inikah yang dimaksud equality before the law? Sesama warga lokal, sesama rakyat, saling serang di bawah hegemoni negara. Hukum berpihak pada negara dan investasi populisme pertambangan. Hukum tidak lagi bermakna melindungi dan membebaskan warga negara.

Kasus ini sungguh mengingatkan fakta sejarah-sejarah di dunia ketika Jared Diamond memberi pelajaran berarti dalam buku “Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban di Dunia.” Salah satu faktor penentu kokoh atau runtuhnya sebuah peradaban adalah lingkungan. Dan hari ini proses peruntuhan peradaban itu terjadi di pelbagai sudut Halmahera. Sungai-sungai tercemar, teluk berubah wajah, hutan dibabat secara brutal,  tanah digali, gunung dicukur rata, laut dikotori merkuri dan limbah perusahaan, udara terganggu lewat debu melahirkan penyakit dan terjadi panas bumi efek rumah kaca. Akibat semua itu, kekayaan biodiversitas tak lagi dihargai dalam cara negara memperlakukan alam. Kita seperti ditiadakan untuk belajar dari sejarah, wajib menerima kenyataan kerusakan secara taken for granted. Pokoknya tak boleh ada tanya. Seolah-olah Tuhan telah mentakdirkan kondisi manusia, alam dan ekosistem Maluku Utara separah ini. Apalagi belajar sejarah penjajahan terhadap Orang-orang Maluku? Tidak ada. Negara semaksimalnya membatasi, orang-orang Maluku harus didepak dari budayanya, dari pengetahuannya, dari sejarahnya, dari ekosistemnya.

Pada kawasan dimana Sultan Nuku pernah memberontak melawan kolonialisme Belanda yang hendak menguasai tanah adat, kini datanglah dan bermukim sudah jajahan gaya baru dengan metode “soft power” ala negara/investor asing. Jajahan itu termanifestasi melalui PT. Position di Halmahera Timur, dengan senjata  pamungkas Pengadilan Soa Sio Tidore hari ini, tempat Nuku mempertahankan hak atas tanah dan martabat orang Maluku.

Warisan Kolonial

Bagi saya, ada dua hal mendasar yang diwariskan para penjajah terhadap orang Maluku: mental dan pengetahuan. Secara mental, harus ada yang dilihat beradab dan baik, selain tidak beradab dan tidak baik/jahat. Investasi pertambangan didatangkan dengan slogan baik, sejahtera, dan membantu ekonomi nasional, sedangkan para penjaga lingkungan dianggap jahat, tidak beradab dan mengganggu, maka mereka harus dihukum dengan cara main oligarki. Relasi dikotomi ini menempatkan para elit pusat, daerah dan pemilik modal sebagai penyelamat hidup rakyat. Labirin penindasan berjalan tanpa kesetaraan berarti. Nilai komunalisme orang Maluku dibabat habis diganti mekanisme-mekanisme kompetisi yang ditentukan dari luar.  Sesungguhnya ini mental kolonial.

Sementara, secara pengetahuan, warga lokal adalah subjek yang butuh diajarkan, dimengertikan dari dunia kehidupan sehari-hari (everyday life). Pandangan dunia orang lokal harus diubah. Mindsetnya harus dirubah mengikuti pemikiran dan pengetahuan dari penjajah. Tentu, ini sangat bermasalah karena dasarnya adalah penghancuran pengetahuan lokal. Dan ini terjadi di Maluku Utara. Orang Tobelo dalam atau O’hongana Manyawa sampai harus keluar menuju lokasi pertambangan mencari makan, karena pengetahuan dan sumber-sumber kehidupan mereka di hutan telah dibabat. Orang Maba Sangaji harus mati-matian berjuang merawat hutan karena PT. Position telah mencemari resources mereka. Pengetahuan yang dipakai dalam ritual adat menjaga hutan pada masyarakat Maba Sangaji dilihat sebagai ancaman terhadap perusahaan. Dan solusinya mereka harus diberhentikan, dipenjarakan. Negara mensabotase proses kultural pada masyarakat setempat. Para pemimpin daerah dari Kapala desa hingga gubernur justru berlagak mengikuti arus utama sistem hirarki pemerintan oligarki ini. Saya lihat ini sangat mengerikan.  Kolonialisme tumbuh subur dalam wujud yang berbeda, masuk hingga ke jantung birokrasi.

Warisan kolonial semacam ini merembes bukan saja mengenai persona saja, melainkan melekat kuat dalam sistem kerja kelembagaan dari pusat hingga daerah. Orang Indonesia umumnya memandang bekerja sebagai PNS/lembaga pemerintah/pejabat adalah mulia, terhormat, punya prestise, status sosial, dan mengangkat martabat keluarga. Tidak peduli apakah orang itu cerdas atau tidak, kompatibel atau tidak, peduli dan paham tugas-tugas dasar atau tidak. Selama dia jadi PNS atau sejenisnya, dia akan “dihargai”, dianggap bermartabat, abdi negara, dan dia wajib taat pada pemimpin/atasan. Satu hal yang butuh dipahami dalam-dalam, kategori kerja sebagai PNS justru di dalamnya menyimpan masalah laten, bahwa seburuk apapun pemimpin/atasannya, dia tetap harus taat, hormat dan loyal terhadap pemimpin tersebut. Inilah kenapa kita tidak menemukan para pegawai pemerintah yang berani menentang penyelewengan kekuasaan oleh pemerintahnya sendiri, pusat maupun daerah. Ada PNS yang rela digaji rendah, diperlakukan tidak adil, tapi dia tetap bekerja, tidak akan berani mengkritik atasan atau pemerintah, karena mereka telah dibentuk seperti itu oleh negara.

Ketika mentalitas itu diperkuat dengan paham feodalisme warisan Nusantarake dalam praktek birokrasi modern, tubuh politik bangsa dan mekanisme bernegara semakin buruk. Kebebasan hanya jadi slogan kosong. Atasan adalah segalanya. Tidak boleh di lawan/dikritik meski salah kaprah menerapkan kebijakan publik. Inilah yang memperkuat masalah mentalitas para “civil Servant” selalu takut dan diam sekaligus memperkuat konstruksi wacana di tengah masyarakat bahwa lebih baik kerja di birokrasi pemerintahan dari pada di luar itu.

Kasus pengrusakan lingkungan oleh negara/pemerintah dan PT. Position serta kriminalisasi 11 Warga Maba Sangaji di Maluku Utara menjadi gerbang besar pemahaman kita tentang warisan kolonial yang masih mengendap di jazirah ini. Gubernur Sherly telah memfitnah 11 warga itu, namun tidak satu pun “civil servant” yang menegur, atau meluruskan orang nomor satu di Maluku Utara ini. Semuanya nurut dan loyal, walaupun itu salah. Sistem bernegara dan mental berpemerintahan kita sudah sangat parah di luar batas kewajaran. Dan pengadilan Soa Sio tidak mempertimbangkan sedikit pun mengenai eksistensi tanah adat di Halmahera Timur yang diperjuangkan warga. Beginilah nasib “Orang-orang Kalah” seperti diceritakan Roem.

Negara dan PT. Position adalah sebenar-benarnya penjahat di Halmahera Timur.  Bebaskan Warga Adat Maba Sangaji.


*Wawan Ilyas, adalah Sosiolog muda bermukim di Pulau Hiri, Ternate, pengajar di IAIN Ternate.

cermat

Recent Posts

Cendekiawan Itu Penjaga Akal Budi

Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]* 1 PERTAMA-TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda…

12 jam ago

Progres Baru 60 Persen, Proyek Penguat Tebing di Morselbar Terancam Molor

Pekerjaan proyek rekonstruksi bangunan penguat tebing atau pesisir pantai di Desa Cio Gerong-Cio Maloleo, Kecamatan…

1 hari ago

Kompolnas RI Kunjungi Polda Maluku Utara, Ini yang Dibahas

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI melakukan kunjungan kerja ke Polda Maluku Utara untuk mendengarkan langsung…

1 hari ago

Tolak Tambang PT MAI, Warga Sagea: Kami Menjaga Benteng Ekologi Terakhir

Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia…

2 hari ago

Delapan Warga Adat Maba Sangaji Resmi Bebas dari Rutan Soasio

Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, resmi membebaskan delapan warga adat Maba…

2 hari ago

TEP Kementrans-UI Gelar Sekolah Siaga Bencana, Ratusan Siswa di Morotai Belajar Padamkan Api

Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kememtrian Transmigrasi-Universitas Indonesia (Kementras-UI) bersama Satpol PP dan Damkar Pulau Morotai,…

2 hari ago