Diskusi akhir tahun Jaringan Konservasi Halmahera (JKH) di Kota Weda, Halmahera Tengah. Foto: Isitmewa
Masalah ketersediaan sumber air belakangan mulai mencuat di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, saat perusahaan pertambangan aktif beroperasi. Alih-alih menopang sektor ekonomi, aktivitas tambang justru menyebabkan kerusakan sumber air penyangga hidup warga.
Hal itu mengemuka dalam diskusi akhir tahun bertema “Membangun Ekonomi Berkelanjutan dengan Menjaga Sumber Daya Air di Halmahera Tengah” yang diinisiasi Jaringan Konservasi Halmahera (JKH) di Kota Weda, Halmahera Tengah, Rabu, 18 Desember 2024.
Baca Juga: IWIP Didesak Hentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara, Jadi Alarm Bahaya?
Direktur JKH Ubaidi Abdul Halim mengatakan, kehadiran industri pertambangan bak bencana bagi ekosistem lingkungan. Ia menyebut, sedikitnya 66 izin usaha pertambangan bercokol di Halmahera Tengah menurut data ESDM.
“Sebab utama kerusakan hutan secara brutal di Halmahera Tengah ini berasal dari pertambangan, bahkan air juga mengalami keruh cukup dahsyat. Ada 8 anak sungai yang telah hilang di daerah industri,” ucap Ubaidi.
Ubaidi melihat ada ketimpangan antara kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan yang berujung melahirkan masalah kerusakan lingkungan.
“Kedua hal ini harus berjalan seiring. Kami tidak menolak Investasi, tetapi pengelolaan investasi harus lebih memiliki etika, melihat persoalan sosial lingkungan yang memiliki daya rusak,” tandasnya.
Dia menyebut, Data Global Forest Watch periode 2001-2023 menunjukkan 27, 9 kilo hektar tutupan pohon di Halmahera Tengah terus menyusut, termasuk berdampak pada sumber air warga sekitar.
“Melalui data-data kerusakan di atas, 5 tahun yang akan datang, kita menghadapi tantangan krisis air yang sangat luar biasa,” katanya.
Ubaidi menyarankan perlu adanya rehabilitasi hutan dan penanaman kembali dilakukan pihak perusahaan dan pemerintah, kemudian pengawasan terhadap aktivitas ilegal, peningkatan infrastruktur pengelolaan air (embung, irigasi dll) serta penguatan hukum dan edukasi terhadap masyarakat.
Selanjutnya, Ahmad Abdurrahman, Kepala Badan Pusat Statistik Halmahera Tengah, dalam diskusi tersebut memaparkan, beberapa dekade terakhir pertumbuhan ekonomi di Halmahera Tengah terus melonjak.
Pertumbuhan ekonomi tersebut ditandai dengan masifnya pengelolaan industri pengolahan, pertambangan, penggalian dan perdagangan, setelah sebelumnya ditopang sektor pertanian.
“Halmahera Tengah juga memiliki keistimewaan karena belakangan terus dikunjungi oleh penduduk dari berbagai daerah, padahal daerah seperti Halmahera Selatan dan halmahera Utara juga memiliki industri pertambangan, tetapi data menunjukan bahwa penduduk daerah lain justru lebih memilih mencari hidup di Halmahera Tengah, ini juga menjadi salah satu sebab lajunya pertumbuhan ekonomi,” tutur Ahmad.
Tetapi menurutnya, di tengah laju pertumbuhan ekonomi dipicu pertambangan, dampak negatif pun hadir. “Seperti limbah tambang yang mencemari air sungai di Kota Weda, Weda tengah dan sebagian kecil di Weda Utara,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Badan Adm. Pembangunan Halmahera Tengah, Abubakar Ibrahim mengatakan, sumbangsih laju perekonomian Halmahera Tengah juga didukung dengan dana CSR pertambangan yang memiliki fungsi sosial dan lingkungan.
Menurut Abubakar, program ini merupakan bentuk pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dan harmonisasi lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“Kami pemerintah daerah memiliki komitmen untuk memastikan pengelolaan CSR dan PPM bisa terealisasi secara masif dan tepat sasaran,” jelasnya.
Ia bilang, pemerintah daerah turut mendorong regulasi guna memastikan program PPM perusahaan terealisasi secara maksimal untuk masyarakat. Regulasi ini disusun sebagai dasar hukum masyarakat mendapatkan hak-haknya perihal program tersebut.
“Untuk itulah pemda sekarang jujur bahwa perusahaan cukup menganggap enteng posisi pemerintah daerah, sehingga kami membutuhkan kerja sama dari semua pihak agar bersuara terkait dengan persoalan PPM,” ujarnya.
Kemudian, persoalan lingkungan yang terjadi di Weda Tengah, formatnya harus melalui perusahaan yang sudah beroperasi, dalam hal perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pembagian tugas untuk mengeroyok kerusakan lingkungan dengan membangun saluran-saluran sungai di beberapa titik yang sensitif, ini bisa teratasi dengan mudah, tetapi nyatanya, perusahaan justru abai dengan tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungannya.
Menurutnya, tembok pertahanan halmahera tengah hanya ada pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Ini yang harus diperjuangkan oleh semua kalangan khususnya pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan. Tetapi masalahnya sekarang adalah persoalan perizinan satu pintu dari pusat sehingga membuat pemerintah daerah lemah dalam mengambil kebijakan,” tutupnya.
Penulis: Rian Hidayat
Editor: Rian Hidayat
Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate berpotensi menjemput paksa terdakwa kasus penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran…
Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku Utara dalam waktu dekat akan menggelar…
Tim penyidik Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Ternate menyerahkan tiga anggota Satpol PP, yang…
Bupati Halmahera Utara Piet Hein Babua dan Wakil Bupati Kasman Hi Ahmad, secara resmi melepas…
Dua pemain bintang Malut United, Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, secara resmi melaporkan sejumlah pemilik…
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melantik 31 pejabat struktural…