Perspektif

Pentingnya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia dalam HAKI

Penulis: Dafri Samsudin (0702624008) Mahasiswa S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia

INDONESIA sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau memiliki kekayaan budaya dan biodiversitas yang sangat tinggi. Kekayaan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga berupa pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge/TK) yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat. Pengetahuan ini mencakup praktik pertanian lokal, pengobatan herbal, teknik kerajinan, pengelolaan alam, hingga ekspresi budaya.

Namun, pengetahuan tradisional Indonesia menghadapi ancaman serius, baik dari eksploitasi tanpa izin (biopiracy), marginalisasi dalam sistem hukum modern, maupun pelunturan akibat globalisasi budaya. Dalam konteks ini, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional dalam kerangka Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi isu yang sangat mendesak. Perlindungan bukan hanya diperlukan untuk menjaga martabat komunitas adat, tetapi juga untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adil.

a. Nilai Strategis Pengetahuan Tradisional

Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai historis dan budaya, tetapi juga nilai ekonomi yang sangat besar. Banyak industri global saat ini memperoleh manfaat langsung dari eksplorasi pengetahuan lokal, termasuk industri farmasi, kosmetik, makanan, dan pertanian. Jika tidak dilindungi secara hukum dan kelembagaan, pengetahuan tradisional Indonesia dapat menjadi komoditas bebas yang diklaim pihak asing, sementara masyarakat asal kehilangan haknya sebagai pemilik sah.

Dalam banyak kasus, masyarakat adat tidak memiliki kekuatan hukum maupun pengetahuan prosedural untuk menuntut perlindungan. Lemahnya literasi hukum,
ketiadaan dokumentasi tertulis, serta ketidaksetaraan akses ke sistem hukum membuat posisi mereka sangat rentan. Oleh karena itu, perlindungan pengetahuan tradisional tidak bisa hanya berbasis hukum formal, tetapi harus dikombinasikan dengan pendampingan, dokumentasi partisipatif, dan pengakuan kultural secara menyeluruh.

Konsep yang ditawarkan oleh Wynberg, Schroeder, dan Chennells mengenai akses dan pembagian manfaat (Access and Benefit Sharing/ABS) layak diadopsi oleh Indonesia dalam bentuk undang-undang nasional. Misalnya, jika sebuah perusahaan kosmetik mengambil inspirasi dari ramuan minyak kelapa masyarakat Papua untuk produk perawatan kulit, maka perusahaan tersebut wajib:

1. Mendapat persetujuan dari komunitas adat secara transparan;

2. Menyepakati kontrak pembagian keuntungan (royalti, pelatihan, investasi lokal);

3. Mengakui sumber asal dalam publikasi dan merek dagang.

Skema ini juga membuka ruang bagi masyarakat adat untuk tidak hanya menjadi objek perlindungan, tetapi juga pelaku ekonomi kreatif yang memanfaatkan pengetahuan leluhur secara legal dan berkelanjutan.

b. Kesenjangan HAKI dan Karakteristik TK

Pengetahuan tradisional berbeda dari inovasi modern. Ia tidak diciptakan oleh individu, melainkan oleh komunitas dalam waktu yang panjang. Sifatnya kolektif, komunal, tidak terdokumentasi secara formal, dan terikat dengan lingkungan alam dan budaya setempat. Namun, sistem HAKI yang berlaku saat ini lebih menekankan pada aspek individual, kebaruan (novelty), dan masa perlindungan terbatas.

Sebagaimana dijelaskan oleh Graham Dutfield (2000), sistem HAKI internasional memiliki kecenderungan bias terhadap inovasi-individu dan perdagangan global. Ia mengemukakan teori keadilan distribusi dalam kekayaan intelektual, yaitu bahwa sistem hukum harus memberikan hak kolektif kepada masyarakat adat serta memastikan distribusi manfaat yang adil ketika pengetahuan mereka digunakan oleh pihak luar.

Salah satu contoh eksploitasi pengetahuan tradisional adalah paten penggunaan kunyit oleh University of Mississippi Medical Center, yang akhirnya dibatalkan karena
terbukti sudah menjadi bagian dari praktik pengobatan tradisional India selama ratusan tahun. Ini menunjukkan bagaimana komunitas adat bisa kehilangan hak atas TK karena tidak terdokumentasi dalam format hukum modern.

Anil Gupta (2004) menegaskan bahwa pendekatan perlindungan TK tidak bisa disamakan dengan inovasi modern. Dalam teori koeksistensi sistem pengetahuan, ia menuntut adanya pengakuan kesetaraan antara sistem pengetahuan ilmiah dan lokal.

c. Perlindungan Sui Generis dan Hak Tradisional

Karena tidak cocok dengan sistem HAKI konvensional, banyak pakar mendorong pendekatan Sui Generis, yaitu sistem hukum tersendiri yang disesuaikan dengan karakteristik pengetahuan tradisional. Uma Suthersanen (2006) menyatakan bahwa perlindungan ini relevan karena mampu mencerminkan nilai kolektivitas, kesinambungan antar generasi, dan spiritualitas.

Posey dan Dutfield (1996) mengembangkan konsep Traditional Resource Rights (TRRs) hak komunitas atas sumber daya genetik dan pengetahuan lokal sebagai satu kesatuan. Hak ini mencakup elemen fisik seperti tanaman dan hewan, serta pengetahuan dan praktik adat yang melekat padanya.

d. Pembelajaran dari Praktik Internasional

Beberapa negara telah mengembangkan model perlindungan TK berbasis Sui Generis yang bisa dijadikan acuan oleh Indonesia:

1. India – Traditional Knowledge Digital Library India membentuk TKDL sebagai basis data digital pengobatan Ayurveda, Unani, dan Siddha untuk mencegah paten oleh asing. India berhasil menggugurkan puluhan paten di Eropa dan AS karena pengetahuan itu telah menjadi warisan leluhur.

2. Peru – Law No. 27811 (2002)
Undang – undang ini memberikan hak kepada komunitas adat untuk menyetujui atau menolak pemanfaatan TK mereka, serta meminta kompensasi jika terjadi eksploitasi.

3. Afrika Selatan – Kasus San-Hoodia
Komunitas San berhasil memperoleh royalti dari industri farmasi setelah senyawa dari tanaman Hoodia yang mereka kenal dimanfaatkan secara komersial. Kasus ini menjadi acuan global dalam penerapan prinsip PIC dan ABS.

Indonesia dapat mengadaptasi pendekatan serupa melalui perlindungan berlapis: hukum nasional, basis data digital TK, dan diplomasi internasional melalui WIPO dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

e. TK sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Perlindungan pengetahuan tradisional sangat relevan dalam konteks sustainable development. Banyak TK yang terkait konservasi alam, pertanian organik, obat alami, dan tata kelola air. Pengetahuan ini mendukung solusi lokal dalam menghadapi krisis iklim dan ketahanan pangan.
TK juga dapat menjadi sumber inovasi kreatif dalam era digital, seperti:

• Produk fashion dari motif tenun dan batik daerah;
• Branding kopi lokal berbasis sejarah dan kearifan leluhur;
• Konten digital edukatif tentang mitologi, hukum adat, dan seni ritual.

Namun agar tidak terjadi eksploitasi tanpa kontrol, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM perlu menjadi penghubung antara masyarakat adat dan pasar, sekaligus sebagai penjaga etika dan keadilan distribusi manfaat.

Situasi Indonesia dan Rekomendasi penulis :
Indonesia memang telah menunjukkan komitmen melalui pengakuan TK dalam UU No. 28 Tahun 2014 dan pembangunan database TK. Namun, perlindungan ini masih terbatas dan bersifat dokumentatif, bukan fungsional. Tidak ada jaminan bahwa komunitas pemilik akan menerima manfaat ekonomi atau kontrol hukum penuh.

Agar perlindungan pengetahuan tradisional di Indonesia lebih optimal, penulis mengusulkan:

1. Pembentukan Undang-Undang Khusus Perlindungan TK, yang mengatur
hak kolektif, PIC, dan ABS secara komprehensif.

2. Digitalisasi Pengetahuan Tradisional melalui kerja sama antara komunitas
adat, perguruan tinggi, dan DJKI.

3. Pengembangan Model Komersialisasi Berbasis Komunitas, agar masyarakat adat mendapat nilai ekonomi dari TK mereka secara sah.

4. Diplomasi Internasional untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan TK Indonesia di forum global seperti WIPO, CBD, dan WTO.

5. Integrasi TK dalam Kurikulum dan Penelitian Akademik, guna meningkatkan apresiasi generasi muda terhadap warisan intelektual bangsa. Melindungi pengetahuan tradisional bukan sekadar wacana hukum, melainkan proyek peradaban yang menyangkut hak komunitas atas identitas, kontrol atas masa depan, dan pemulihan ketimpangan kolonial.

Dengan mengadopsi prinsip keadilan distribusi, akses adil, dan pengakuan kolektif, Indonesia tidak hanya melindungi warisan leluhurnya, tetapi juga menjadikannya sebagai modal pembangunan masa depan.

Mahasiswa hukum, akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis harus memandang isu ini sebagai agenda strategis nasional yang berdampak pada ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian budaya. Sudah saatnya Indonesia menjadi pelopor dalam perlindungan pengetahuan tradisional, bukan hanya sebagai penjaga warisan, tetapi pemimpin global dalam keadilan pengetahuan.

cermat

Recent Posts

2 Anggota DPRD Taliabu Fraksi Golkar “Walk Out” saat Rapat Pembentukan Pansus

Dua anggota DPRD fraksi Golkar di Pulau Taliabu, Maluku Utara, memilih walk out saat paripurna…

51 menit ago

Memotret Jejak Kebangsaan di Pulau Hiri

Oleh: Wawan Ilyas*   ORANG-ORANG Hiri sejak lama terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika…

5 jam ago

Pemerintah Tegaskan Cabut Izin Galian C di Ternate yang Langgar Aturan

Pemerintah Kota Ternate, Maluku Utara menegaskan akan mencabut izin penambangan batuan atau galian c yang…

6 jam ago

Wakil Ketua Komisi IV DPR Soroti Minimnya Kontribusi Sektor Perikanan terhadap Pembangunan Nasional

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ir. Panggah Susanto, menyoroti rendahnya kontribusi sektor perikanan terhadap…

14 jam ago

Penjelasan Ahli Soal Curah Hujan Tinggi di Wilayah Malut, Ini Penyebabnya

Maluku Utara menjadi wilayah yang memiliki intensitas curah hujan tinggi beberapa pekan terakhir. Ketua Forum…

18 jam ago

Belasan Sekolah di Morotai Kembali Diaktifkan Usai Vakum

Pemerintah Daerah Pulau Morotai, Maluku Utara, kembali mengaktifkan belasan sekolah yang sempat ditutup. Totalnya terdapat…

1 hari ago