Foto penulis
Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib
TIGA Mei 1817. Catat tanggal itu baik-baik. Itu adalah tanggal paling penting sekaligus paling getir, sebuah penanda penundukan dalam sejarah politik Maluku Kie Raha. Hari itu, dua mahkota besar, Kesultanan Ternate dan Tidore, secara resmi meneken Kontrak Politik (Politiek Contract), dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang baru kembali. Peristiwa itu, sesungguhnya, bukan sekadar kesepakatan diplomatik; ia adalah penghinaan kolektif yang dilegalisasi.
Lokasinya bukan sembarangan yakni Benteng Oranje, tembok kekuasaan kolonial yang menjulang kaku di tengah pulau Ternate. Oranje, yang seolah mengejek kejayaan masa lalu, adalah simbol hegemoni Eropa atas jalur rempah dunia.
Di bawah bayang-bayang tembok batu itu, perjanjian tersebut ditandatangani, menandai tunduknya kedaulatan kesultanan kepada kekuasaan asing, untuk kali pertama secara formal, legal, dan tak terbantahkan. Sebuah babak baru dimulai: kedaulatan dibeli murah, dengan harga ancaman dan janji palsu, dan dicatat rapi dalam akta kolonial Belanda.
Konteks Ketakutan Belanda
Mari kita bedah konteksnya. Kontrak politik ini, harus dipahami, bukan muncul dari kekosongan diplomasi. Ini adalah penaklukan lewat pena, setelah Belanda menyadari senjata saja tidak cukup untuk meredam perlawanan rakyat kepulauan.
Konteksnya panas dan kritis. Wilayah Maluku baru saja diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda pasca Konvensi London 1814. Pemerintah kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Godert van der Capellen, kembali dengan mentalitas ‘pemilik lama’ yang menuntut kepatuhan total. Namun, mereka kembali ke wilayah yang sudah terlanjur muak. Dan puncaknya terjadi pada April 1817, tepat sebelum kontrak ini diteken, terjadi pemberontakan Pattimura meletus dahsyat di Maluku Tengah. Wibawa Belanda di Ambon dan sekitarnya hancur lebur.
Belanda berada dalam posisi yang sangat genting. Mereka harus segera dan dengan cara apapun menegakkan kembali wibawa kolonial yang sempat goyah, sekaligus mengamankan sumber rempah utama: kepulauan Maluku Utara. Daripada mengerahkan armada besar-besaran, mereka memilih jalan yang lebih licik: mengikat para sultan dalam kontrak yang sepihak, sangat subordinatif, dan secara hukum mengikat tangan raja. Kontrak ini adalah jurus pamungkas Belanda untuk membangun tembok legal di sekeliling wilayah mereka, memastikan tidak ada lagi ‘Pattimura’ versi utara.
Dari pihak Belanda, penandatangan kontrak tersebut adalah sosok yang membawa wibawa tertinggi, Godert van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, didampingi oleh Johan David Carel de Sitter, Residen Belanda di Ternate. Kehadiran Capellen secara langsung menunjukkan betapa penting dan mendesaknya pengamanan kepulauan Maluku Kie Raha dalam strategi kolonial. Ini bukan urusan biasa, ini adalah urusan negara yang memastikan perut Den Haag tetap kenyang.
Dari pihak Ternate dan Tidore, hadir Sultan Muhammad Ali dari Ternate dan Sultan Muhammad Tahir dari Tidore. Mereka adalah dua penguasa yang terperangkap. Sejarawan sering melabeli mereka sebagai penurut, namun kita harus melihatnya sebagai penguasa yang saat itu tidak punya banyak pilihan selain menerima isi kontrak demi menyelamatkan rakyat mereka (dan mungkin, juga singgasana) dari kehancuran total di bawah mesin perang Belanda. Tekanan ekonomi, ancaman monopoli rempah yang telah berlangsung turun-temurun dan tekanan militer, membuat mereka berdiri di ambang jurang. Pilihan mereka hanyalah tunduk atau ditundukkan. Mereka memilih tunduk.
Penyanderaan Diplomatik Berdalih Persekutuan
Isi kontrak itu, jika dibaca hari ini, terasa seperti surat penghambaan yang dibungkus bahasa hukum diplomatik. Pertama, Pasal Kedaulatan: Sultan mengakui kedaulatan tertinggi Belanda (opperbestuur), berjanji setia dan tunduk sepenuhnya.
Secara efektif, ini adalah penghapusan kedaulatan. Kekuasaan sultan berubah dari yang berdaulat menjadi mandat. Kedua, Pasal Politik Luar Negeri: Kesultanan tidak boleh menjalin hubungan politik, dagang, atau diplomatik dengan pihak manapun—kecuali Belanda. Bahkan dilarang untuk surat-menyurat dengan bangsa lain tanpa izin eksplisit. Ternate dan Tidore langsung dipaksa menjadi entitas terisolasi, hanya boleh bicara dengan satu bos: Den Haag melalui Batavia.
Ketiga, Pasal Suksesi: Ini adalah pukulan telak bagi martabat dinasti. Urusan suksesi takhta harus disetujui oleh Gubernur Jenderal. Belanda secara resmi menancapkan jari mereka ke dalam dapur politik istana, memastikan hanya orang-orang yang pro-Belanda yang akan naik takhta.
Dengan satu pasal ini, silsilah kerajaan secara efektif dikendalikan oleh kepentingan kolonial. Keempat, Pasal Militer dan Keamanan: Kesultanan dilarang memiliki pasukan bersenjata sendiri yang signifikan. Fungsi pertahanan diambil alih Belanda, mengebiri kemampuan Kesultanan untuk melawan, bahkan untuk membela diri. Sultan hanya dibiarkan memiliki pengawal terbatas, sekadar pajangan adat, bukan kekuatan politik.
Kelima, Pasal Ekonomi (Monopoli): Hasil bumi terutama cengkih dan pala harus diserahkan kepada Belanda dengan harga dan sistem monopoli yang mereka tentukan. Kontrak ini mengunci roda ekonomi Maluku Utara, memutus akses mereka ke pasar internasional, dan menjadikan petani serta sultan sebagai pemasok wajib dengan harga yang sangat rendah.
Kontrak itu, dalam istilah hari ini, adalah bentuk penyanderaan diplomatik berdalih persekutuan. Yang lebih ironis adalah betapa sultan tetap memegang gelar, dihormati sebagai simbol adat dan agama, dan parade-parade kebesaran masih diizinkan. Namun, fungsi politik mereka telah berubah total. Mereka bukan lagi pemimpin yang berkuasa penuh, melainkan hanya perpanjangan tangan pemerintah kolonial, bertugas menjaga ketertiban yang menguntungkan Belanda. Kekuatan yang selama ratusan tahun membentuk identitas kepulauan rempah itu dipangkas secara sistematis. Maluku Kie Raha sebesarnya tidak lagi diperintah oleh kolano, melainkan oleh aparatur yang tunduk pada Batavia.
Peristiwa ini menandai titik balik penting dalam relasi antara kerajaan di Maluku Kie Raha dan kolonialisme Eropa. Jika pada abad ke-17 Belanda masih bersiasat dengan model aliansi dan perdagangan yang rumit, maka pada awal abad ke-19, pendekatan mereka berubah total menjadi kontrol langsung dan penghapusan kedaulatan. Kontrak politik seperti yang ditandatangani di Benteng Oranje menjadi senjata hukum yang ampuh untuk menundukkan perlawanan, tanpa perlu mengerahkan banyak prajurit. Hukum dijadikan alat legitimasi penjajahan.
Tragedi Kolektif yang Terlupakan
Hari ini, warisan dari peristiwa 3 Mei 1817 masih terasa, meski tidak disadari. Struktur kekuasaan adat yang sempat dikosongkan, sistem hukum lokal yang digantikan oleh rezim kolonial, hingga peminggiran sejarah Kesultanan dalam narasi nasional semuanya berakar dari kontrak tersebut. Ini adalah tragedi kolektif yang terlupakan.
Ironisnya, banyak generasi muda di Maluku Utara tidak lagi mengenal peristiwa ini secara utuh. Kita lantang mengenang Pattimura, dan memang harus begitu. Tetapi kita sering lupa bahwa pada waktu yang hampir bersamaan, dua Kesultanan tertua di Indonesia Timur sedang dipaksa menandatangani penyerahan kedaulatan secara hukum, dengan tinta hitam di atas kertas Belanda. Pattimura melawan dengan darah; Ternate dan Tidore dipaksa menyerah dengan tanda tangan. Kedua peristiwa itu adalah dua sisi dari penindasan yang sama.
Kini, saat wacana otonomi, pengakuan hak adat, dan rekonstruksi identitas lokal kembali menguat, penting bagi kita untuk kembali membaca peristiwa seperti Kontrak Politik 1817. Itu bukan sekadar catatan sejarah mati, tapi sebuah pelajaran tentang bagaimana kekuasaan bisa dikooptasi secara sistematis dan bagaimana rakyat serta pemimpin lokal sering kali tidak punya banyak ruang untuk menolak.
Sudah saatnya Maluku Utara, menghidupkan kembali ingatan terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dalam pendidikan sejarah kita. Bukan untuk menabur luka lama, tetapi agar kita sadar bahwa kemerdekaan itu mahal, dan kedaulatan tidak pernah datang begitu saja.
Ia harus terus diperjuangkan, diperkuat, dan dipertahankan dari segala bentuk intervensi, bahkan setelah kontrak seperti itu ditandatangani. Jangan biarkan Benteng Oranje menjadi saksi bisu kealpaan kita atas sejarah perampasan martabat. Ingatlah 3 Mei 1817, hari ketika Maluku Utara kehilangan kedaulatannya di atas meja perundingan.
—–
Muhammad Tabrani, seorang praktisi hukum sekaligus pengajar di Unkhair Ternate
Oleh: Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra]* 1 PERTAMA-TAMA, tahniah untuk Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda…
Pekerjaan proyek rekonstruksi bangunan penguat tebing atau pesisir pantai di Desa Cio Gerong-Cio Maloleo, Kecamatan…
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI melakukan kunjungan kerja ke Polda Maluku Utara untuk mendengarkan langsung…
Koalisi Save Sagea kembali menegaskan penolakan terhadap rencana ekspansi perusahaan tambang PT Mining Abadi Indonesia…
Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, resmi membebaskan delapan warga adat Maba…
Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Kememtrian Transmigrasi-Universitas Indonesia (Kementras-UI) bersama Satpol PP dan Damkar Pulau Morotai,…